Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan
Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang
bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola
modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh
Arsene Wenger – yang digelari Profesor-- pelatih berkebangsaan Perancis,
sesarinya adalah satu-satunya klub yang singgah di hati keluarga kerajaan,
khususnya Sang Ratu. Arsenal sendiri, sedari awalnya merupakan klub sepak bola
yang didirikan oleh para pekerja di pabrik mesiu, meriam milik Kerajaan
Inggris. Dari latar inilah, segenap keluarga kerajaan jatuh cinta.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Arsenal
diartikan sebagai: bangunan permanen
tempat penyimpanan, pembuatan, dan perbaikan senjata, amunisi, dan alat-alat
perang lainnya. Entah takdir apa yang membawa Arsene Wenger ke Arsenal, yang
namanya identik. Bahkan, kalau saja sejarah Arsenal di-delate, bisa-bisa
banyak yang mengira bahwa Arsenal dimiliki oleh Arsene, yah... Arsene Wenger.
Saya sendiri, sejangkau ingatan saya, pernah berasumsi semisal itu. Maklum
saja, saya mulai jatuh cinta pada Arsenal, bersamaan dengan hadirnya Arsene
Wenger di Highbury, markas lama Arsenal.
Tiada sosok yang lebih menderita dari Arsene Wenger,
terutama di waktu kiwari ini. Musim kompetisi 2016, yang sudah menuju senja,
hampir berakhir, sekotah perburuan trofi sisa menyisakan harap pada Liga Primer
Inggris. Piala Champhion sudah lepas, disingkirkan oleh Barcelona, yang menurut
Arsene sendiri adalah sebuah klub dari planet lain. Sebelumnya, klub papan
bawah, Watford mendepak Arsenal dari Piala FA.
Demikian pula, sejak awal musim terpental dari Piala Carling. Trofi Liga
Primer makin sulit diangkat oleh para pemain, pelatih dan ofisial lalu
dirayakan oleh sekaum fans, para gooners. Selisih poin yang cukup jauh dari
pemuncak klasmen, Leciester City, nyaris memustahilkannya. Sebab, perburuan
juara bukan ditentukan sendiri oleh Arsenal, melainkan sejauh mana klub-klub
lain mengalahkan Leciester.
Suara-suara protes dari para fans Arsenal, para gooners,
mulai terbelah. Tidak sedikit yang menginginkan pergantian pelatih-manejer.
Mereka meinginginkan Arsene hengkang dari Emirates Stadium, markas baru
Arsenal. Padahal, selama dilatih oleh Sang Professor, perolehan trofi sudah
terkoleksi sebanyak 3 Liga Primer, 6 FA,
dan 6 Community Shield. Namun, semuanya seolah tak berbekas. Banyak yang
memperkirakan, nasib Arsene bakal menysul Mourinho di Chelsea, dan
pelatih-pelatih lain yang dipecat di musim ini.
Tapi, ada hal yang menarik, salah seorang pemilik saham
terbesar Arsenal, Stan Kroenke, yang mensabdakan: “ Saya tidak membeli Arsenal,
untuk memenangi trofi.” Setidaknya, penabalan ini mengamankan Arsene dari sisi
manajemen klub. Dan, ini pula yang membedakan dengan para gooners, mereka
membeli tiket pertandingan, lalu menuntut trofi.
Kekalahan demi kekalahan, absennya dari perburuan trofi,
bagi sebuah klub sepak bola, termasuk Arsenal, apatah lagi bagi pelatihnya,
ibarat di depan matanya tersedia arsenik, racun. Bubuk racun mesiu sering
dinamai arsenik, yang sesungguhnya merupakan unsur nonlogam dengan nomor atom
33, berlambang AS,dan bobot atom 74,9216. Arsenik ini cukup ampuh sebagai racun
pembunuh seseorang, konon Munir, sang aktivis HAM, mati karena sejenis arsenik.
Kini, pada setiap
pertandingan sisa bagi Arsenal, sang Professor Arsene, di samping mencak-mencak
, berteriak-teriak di pinggir lapangan, sesungguhnya, bersamaan dengan itu,
berondongan arsenik dari para penonton senantiasa siap ditembakkan. Kali ini,
benarlah apa yang pernah diucapkan oleh Yusuf Kalla, kala berkomentar tentang
memimpin sebuah klub sepak bola, “ kalau kita kalah dalam pertandingan, maka
semalam suntuk hingga pagi kita akan dicaci, sebaliknya kalau menang, maka kita
akan berpesta sejak malam sampai pagi. Menang kalah sama saja, sama-sama
capek.”
Meriam London -- julukan lain dari arsenal – dengan mesiu
arseniknya, kali ini menohok langsung sang arsitek, Arsene. Arsenik itu
bunyinya, “Arsene thanks for the memories but it’s time to say goodbye.”
Atawa yang lebih menohok lagi, “Time for change, Arsenal FC not Arsene FC,
#WngerOut.” Kelihatannya kemenangan
yang pernah dipersembahkan Arsene, tinggal menjadi kenangan. Memang prestasi
begitu sulit diraih, tapi kekalahan amat mudah didapat. Waima begitu,
masih ada juga fans yang membentangkan spanduk bertuliskan,” We Trust
Arsene”, termasuk saya, yang mengaminkannya di depan kotak ajaib.
(Lembaran Kala, 27 Maret 2016)
0 komentar:
Posting Komentar