Kamis, 10 Maret 2016

Taju’, Buku dan Hadiah




Sehari setelah peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT), 9 Maret 2016. Pagi bergegas menuju terik, saya disambangi oleh seorang karib, Tajuddin Noer, yang sering saya sapa bung Taju’, di Papirus Tokobuku Dan Komunitas, tempat rutin saya mengais nafkah. Kehadirannya penuh berkah, menunaikan janjinya menghadiahkan saya sebuah buku yang sudah lama saya nanti, Mazhab Ibnu Arabi. Sebuah buku yang ditulis oleh Sayyed Ahmad fazeli, diterjemahkan oleh seorang karib yang lain, Ust. Muhammad Nur Jabir.
Bahagia rasanya, bertubi keriangan menghidu diri.


Sedianya buku itu, mungkin saya sudah dapatkan di tepat pada hari Gerhana, tapi saya tidak buka toko pada hari itu. Pasalnya, bertepatan pula dengan hari raya Nyepi, yang merupakan hari istimewa, menyambut tahun baru Saka, bagi umat Hindu di Indonesia. Tindakan saya meliburkan diri, merupakan sebentuk penghargaan terhadap umat Hindu, yang memilih menyepi pada hari itu. Dan, ini terkait pula dengan kebijakan saya terhadap diri sendiri, untuk meliburkan diri, jeda mengais nafkah, bila bertepatan dengan libur nasional dan hari Ahad. Sejenis upaya memanjakan diri, di tengah sulitnya menyepi dalam keramaian.


Jujur saya tabalkan, hadiah buku dari Taju’ ini adalah pemberian yang sudah sekian kalinya. Ada kebiasaan barunya, khususnya buat saya, tatkala Taju’ membeli sebuah buku dan buku itu belum saya punya, maka biasanya beliau menawarkan pada saya atau saya minta jatah juga. Memang, saban waktu, salah satu tempat nongkrongnya adalah di Papirus Tokobuku Dan Komunitas, kala berada di Makassar. Saya menyebut tempat kerja ini, sebagai ruang semedi. Jadi, taklah perlu kaget, jikalau suatu saat, ada yang menanyakan di mana saya. lalu menyahut di tempat semedi, itu berarti lagi ngais nafkah.


Sependek ingatan saya, bila Taju’ bertandang ke tempat semedi saya, tiada lain perbincangan itu pada seputar buku-buku, lalu merembes pada karya-karya semisal, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Sa’adi, Fakhruddin Attar, Muhammad Iqbal, Annemarie Schimmel, dll. Pokoknya, yang bertautan dengan tema spiritualitas, jalan-jalan keruhanian yang tertuang dalam karya sastra, khususnya puisi. Persamuhan kami yang demikian, bukan isapan jempol, sebab sejatinya memang, Taju’ adalah sesosok yang suka menuliskan buah akalnya lewat puisi-puisi pada akun facebook-nya.


Saking produktifnya menulis puisi di dunia maya, sehingga di bulan Desember pada pucuk tahun 2015, telah lahir anak ruhaninya, berupa satu buku puisi, yang berjudul Ziarah Cinta, terbitan Liblitera. Dan, melihat produktifitasnya dalam menulis, yang hingga kini masih berlangsung, bukan hal yang mustahil, tapi suatu keniscayaan, buku-buku yang sejenis bakal lahir lagi.


Ihwal terbitnya buku Ziarah Cinta ini, tak ada salahnya kalau saya cerita sedikit bocorannya. Setelah buku puisi saya, AirMataDarah, terbit pada bulan Februari 2015, saya lebih leluasa memprovokasi setiap orang, khususnya para karib saya, untuk mengikuti jejak yang saya telah lakukan. Dan, salah seorang karib yang termakan provokasi itu adalah Taju’. Saya ceritakan proses penerbitannya yang relatif mudah untuk dilakukan. Namun, dari sekian argumen yang saya ajukan, yang paling mungkin memengaruhinya adalah akan berlipat gandanya pahala yang bakal dituai. Meski saya tahu persis, Taju’ bukanlah tipologi insan yang suka berburu pahala.


Saya amat percaya bahwa Taju’ adalah seorang yang suka menggunakan akalnya. Dan, saya sangat terlatih menghadapi orang yang punya banyak akal itu dengan akal-akalan. Maksudnya, mencari argumen penjelas agar seolah-olah akal menerimanya. Saya lalu jelaskan, coba hitung, berapa jumlah uang infak yang sering disedekahkan selama setahun. taksiran saya pada Taju’, paling sedikit sepuluh juta rupiah, bahkan bisa lebih untuk orang yang seperti beliau. Lalu saya tohokkan lagi argumen, bagaimana kalau uang yang sebesar itu, dipakai untuk menerbitkan buku, yang merupakan kumpulan puisi yang bertebaran begitu banyak di akun facebooknya.


Lalu, dengan sedikit mimik meyakinkan, saya desakkan pendapat, bahwa kalau uang infak itu hanya bermanfaat secara konvensional, disedekahkan begitu saja, dan tidak ada jejak peradabannya, tak mengabadi untuk kemanusiaan. Tapi, kalau dipakai untuk menerbitkan, lalu buku itu dibaca oleh begitu banyak orang, apatah lagi kalau disedekahkan pula, amboi, betapa dahsyatnya efek yang bakal ditimbulkan. Buku itu bisa mencerahkan orang yang membacanya, dan lebih dari itu, akan mengabadikan pengarangnya. Dan, saya kira, lewat buku Taju’, keduanya akan menyata; mencerahkan dan mengabadi.


Jadi, tidaklah perlu heran sejadi-jadinya, manakala suatu waktu nanti, ada orang yang diberi hadiah buku karanganya Taju’, semua itu tiada lain sebagai wujud dari misi three in one: pahala sedekah, pencerahan dan keabadian. Dari pengakuan Taju’, akan efek yang ditimbulkan oleh buku karangannya, begitu banyak yang tak terduga. Letupan-letupan kebahagian tiada henti bertamu padanya. Mulai dari orang yang heran akan kemampuannya dalam menulis, makin banyaknya perkawanan yang meluberi akunnya, dan tentu saja beberapa inbox yang meminta untuk diziarahi dengan cinta.


Taju’ dan buku, sepanjang perkariban saya dengannya, sepengetahuan saya, bukanlah hal yang baru. Sejak saya masih aktif di dunia gerakan mahasiswa, Taju’ sudah tergolong mahasiswa yang punya tradisi literasi yang memadai. Saya teringat tahun 90-an, waktu saya mulai membuka usaha Toko Buku Paradigma Ilmu, salah seorang konsumer yang telaten beli buku adalah Taju’. Saya belum memeriksa koleksi bukunya saat ini, tetapi perkiraan saya, pastilah sudah ribuan jumlahnya. Apatah lagi, hingga kini masih aktif menambah koleksinya, ditambah lagi dengan pasangannya, Rasmiati Yasin, juga maniak buku. Jadilah keluarga ini sebagai keluarga yang telah mencetak sepetak surga di rumahnya.


Sembari menanti terbitnya buku berikut dari Taju’, saya amat yakin bahwa Taju’ takkan bosan untuk selalu menengok saya di tempat semedi, sebuah ruang mengais nafkah dan sebagai tempat singgahnya pula para karib yang lain, kala ingin jeda dari rutinitas. Tiada hari yang lebih indah, bilamana ditandangi oleh begitu banyak karib di tempat semedi. Bagi kebanyakan pejalan di jalan-jalan keruhanian, tempat semedi adalah sesuatu yang sunyi, senyap dan sepi. Walakin, bagi saya, makin ramai makin elok, sebab dari sinilah saya menyicil kebahagiaan. Paling tidak, wujud kebahagiaan itu sudah menyata, ketika Taju’ dengan segala kerelaan hatinya, mendapukku hadiah, berupa sebuah buku.

0 komentar:

Posting Komentar