Selasa, 22 Maret 2016

Guru Inspiratifku, Sepenggal Kenangan




Pagi barulah semenjana teriknya, mentari merangkak perlahan menebarkan senyum. Di hari kamis, 21 mei 2015, jam barulah menunjuk pada kisaran 7.15 wita, dari jendela facebook saya baca, pada dinding akun Andi Novrita Langgara tertulis apa yang dipikirkannya: "Innalillahi wainnailaihirojiun, selamat jalan guruku yang baik, Bapak H.M. Yusuf Hamjal, semoga engkau mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya, al-Fatihah."

Berita ini mengguncang jiwaku, soalnya guru yang dimaksud oleh adik kelas saya di SMA Negeri 1 Bantaeng itu, juga adalah guru saya. Bahkan, bagi saya bukan saja sebagai seorang guru, kadang jadi sahabat, sekaligus menjadi orang tua. Kalau boleh saya katakan, ia adalah seorang guru inspiratif, sesosok guru yang memberi begitu banyak inspirasi bagi segenap siswanya.

Sebenarnya, dua penggalan paragraf di atas adalah catatan saya yang terpendam di akun facebook. Sewaktu warta meninggalnya pak Yusuf Hamjal saya ketahui, saat itu juga saya berusaha menulis catatan. Tapi entah kenapa, barulah dua paragraf itu yang tertulis, tak sanggup rasanya saya menulis lagi. Campur aduk perasaan yang melintas di selasar jiwa saya. Sedih, haru, tangis, sekotahnya menggado-gado di saridiri saya.

Nantilah sepuluh bulan kemudian, pada 22 Maret 2016, barulah saya tergerak untuk melanjutkan catatan ini. Apa pasal yang melatarinya? Pangkalnya pun bertolak dari informasi di facebook, lewat akun Be Smart Coffee, yang akan menyelenggarakan acara nonton bareng, atas film yang berjudul, Freedom Writers, yang direncanakan pada 24 Maret 2016, pukul 19.30 bertempat di kafenya, dengan pembedah Bahrulamsal, sang pegiat literasi dari Paradigma Institute.

Saya yang hampir memastikan diri bakal alpa terhadap momen nonton dan bedah film itu, tentulah mengupayakan sendiri untuk menontonnya. Lalu, saya bukalah koleksi film saya, yang ternyata salah satu film yang belum saya tonton secara mendalam adalah film ini. Dan, benar saja adanya, film ini cukup banyak memberikan perspektif untuk ditilik lebih dalam. Bisa dibedah dengan latar kependidikan dan kepengajaran, tradisi literasi, rasisme dan dunia geng serta idealisme sebagai seorang anak, isteri.

Setelah mengkhusyukkan diri di kedalaman pesan film ini, khususnya yang berkaitan dengan dunia keguruan, saya lantas teringat dengan tulisan seorang scholar dan pembicara inspiratif, Rhenald Kasali , penulis buku Change dan Let’s Change, yang dalam salah satu artikelnya membagi dua jenis guru: guru kurikulum dan guru inspiratif. Menurutnya, guru kurikulum sejenis guru yang berkutat patuh pada petunjuk kurikulum semata, sedangkan guru inspiratif adalah guru yang tidak terikat dengan kekangan kurikulum, namun lebih kreatif dalam menunaikan tugas keguruannya.
 
Pada film ini, sang guru, Erin Gruwel, awalnya mencoba menghadapi siswanya, yang berlatar belakang beragamam ras, permasalahan yang meliliti mereka karena bentukan lingkungan, dengan berusaha menegakkan kurikulum yang ditetapkan oleh sekolah. Namun tak berdaya. Akhirnya, ia berusaha melakukan kreasi, keluar dari kungkungan kurikulum dan mencoba pendekatan baru. Ia berubah menjadi guru inspiratif. Dan, sudah pasti bisa ditebak, bermasalahlah ia dengan pihak sekolah.

Bagi Reynald Khazali, guru yang mengajar sekadar menjalankan tugas-tugas kurikulum, hanyalah akan melahirkan manusia yang berkapasitas manajer. Sementara guru yang mendidik dengan penuh inspirasi, bakal melahirkan pemimpin. Pada situasi bangsa yang terpuruk yang dibutuhkan adalah pemimpin. Sangat mendesak untuk guru lebih mendefinisikan dirinya sebagai guru inspiratif. Guru kurikulum hanyalah mengemban tugas kepengajaran, sementara guru inpiratif adalah menunaikan tugas kependidikan. Pengajaran sekadar memindahkan pengetahuan, pendidikan membentuk karakter.

Teringatlah saya kembali pada sepenggal kenangan, pada seorang guru saya semasa SMA, pak Yusuf Hamjal, yang telah berpulang pada keabadian sepuluh bulan lalu. Saya berani memastikan bahwa beliau adalah guru inspiratif bagi saya dan segenap anak didik yang pernah disentuhnya. Sejatinya beliau adalah guru ekonomi, tapi perhatiannya jauh lebih konsern pada pengembangan kreatifitas dan karakter siswanya. Bagi beliau, tidak ada anak yang nakal, karena semuanya dirangkul, diberinya sentuhan sepenuh jiwa. Saya mengimajinasikan bahwa guru Erin Gruwel setara dengan pak Yusuf Hamjal. Kalau boleh, saya jujur katakan, bahwa hingga detik ini, didikan karakter beliau masih memengaruhi jalan-jalan kehidupan yang saya pilih.
 
Dan, salah satu bukti nyata dari keterikatan inspiratif terhadap beliau adalah pada setiap angkatan saya di SMA menggelar perhelatan reuni angkatan 1985, pastilah beliau selalu hadir, bahkan kehadiran terakhir beliau sudah mulai kurang sehat, tapi selalu saja hadir. Pun bagi kami, rasanya reuni tidak sempurna kalau beliau alpa. Sayang seribu sayang, pada reuni akbar SMAN 1 Bantaeng, 1 September 2016, beliau tidak bisa datang, selamanya tidak mampu datang, karena beliau telah menunggu kami di alam berikutnya, alam keabadian. Memang benar, pak Yusuf Hamjal telah mengalmarhum, raganya sudah tiada, namun jiwanya masih hidup, mengaliri segenap saridiri anak didiknya, paling tidak pada saridiri saya.

0 komentar:

Posting Komentar