Rabu, 16 Maret 2016

Gerakan Literasi untuk Mahasiswa



Hujan tiba-tiba saja hadir mengguyur tempat semedi saya, Toko Buku Papirus. Meski sejak pagi, sang hujan sudah memberi isyarat, berupa mendung yang sesekali terik menampak. Kisaran pukul 02.00 siang, tumpahan butir-butir air benar-benar bertubi. Saya menduga, acara yang akan saya sambangi bakal bermasalah, batal karena hujan. Namun di luar sangkaan saya, seorang panitia datang menjemput, pakai motor lengkap jas hujannya. Diboncengnya saya menuju lokasi, pelataran Baruga Pettarani Unhas.

Sesampai di lokasi, hujan makin deras. Saya pun melepas jas hujan, bertemulah saya dengan Sandra Wali– yang pertama kali mengontak untuk mengisi acara -- lalu merapat ke kerumunan peserta yang telah menunggu. Mereka adalah sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam Lingkaran Mahasiswa Bidik Misi Unhas. Awalnya, jumlah mereka kisaran dua puluh orang, namun bertambah dua kali lipat setelah acara dimulai. Didapuknya saya selaku narasumber diskusi, yang bertema : Gerakan Literasi untuk Mahasiswa, per hari Rabu, 16 Maret 2016. Tidak ada acara seremonial, semisal sambutan, langsung saja, seorang mahasiswi bertindak selaku moderator, membacakan curiculum vitae dan mempersilakan saya untuk berbicara.

Sejak tiba di lokasi, hingga saya dipersilahkan bicara, ingatan saya melambung jauh ke masa silam, kira-kira lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saat saya masih jadi aktivis gerakan mahasiswa. Pelataran-pelataran Unhas menjadi salah satu tempat yang sering saya tandangi untuk berdiskusi dengan kaum muda mahasiswa. Dan, ketika memulai pembicaraan, saya pun mengutarakannya kepada mereka akan hal yang saya rasakan saat ini: serasa kembali muda, seperti berpuluh tahun silam, kala aktif menggelandang dari pelataran ke pelataran kampus.

Sesarinya memang, ibarat pemain bola, saya sudah gantung sepatu. Sepuluh tahun terkahir ini, saya sudah menyatakan mundur dari arena gerakan mahasiswa, utamanya selaku narasumber diskusi. Berhubung karena makin banyak junior-junior saya yang lebih progresif pikiranya, amat lantip wawasan pengetahuannya. Saya lebih banyak menggawangi hal-hal kecil yang tumbuh di masyarakat, berupa komunitas-komunitas, khususnya komunitas literasi.

Saya lalu membayangkan diri sendiri, seperti para personil yang tersisa dari band legendaris, Koes Plus, diajak manggung lagi. Tentulah ada gelagat yang paling mungkin bisa muncul, keberjarakan yang lumayan panjang waktunya, selisih lebih dua puluh tahun. Apatah lagi, mereka ini, jikalau dipatronkan pada generation theory,maka mereka adalah generasi Y dan Z, yang tentu sangat jauh berbeda dengan yang sering saya hadapi dulu, yang selisih usianya nyaris sepadan dengan saya, karena sama-sama bergenerasi X. Tentulah saya harus mengadaptasi diri, agar bisa nyambung. Seperti persis dengan tembang-tembang lawas Koes Plus, yang diarasemen ulang, agar diterima oleh telinga generasi kini.

Mulailah saya mendedahkan wacana, tentang urgennya tradisi literasi di kalangan mahasiswa. Tahapan-tahapan kapasistas literasi pun saya ajukan pada mereka, untuk mengenali sejak dini bagi dirinya, sudah pada tahapan mana kapasistas literasinya. Tahapan pertama, suatu posisi yang sekadar mengentaskan diri dari buta huruf dan tuna tulis. Kedua, tahapan literasi seseorang yang berkaitan dengan kepentingan profesinya. Dan ketiga, tahapan paling mutakhir, ketika tradisi literasi seseorang muncul karena kebutuhan jiwa.

Hujan makin meranggas, dingin makin menusuk, tapi saya makin panas, bak kesebelasan Jerman yang seperti mesin diesel, makin lama makin panas. Saya pun makin menguasai panggung, makin komunikatif, leluasa melenggang kangkung, memukau mereka, suntuklah sejadinya, larut dalam berondongan kata-kata yang tertata, berkejaran dengan buncahan butiran hujan yang nirtata. Suara saya mengalahkan hujan, makin ganas pikiran saya, jaket pelindung dingin saya buka, seiring dengan makin terbukanya pikiran mereka. Paling tidak, seperti itu yang saya rabakan.

Penguasaan akan panggung pelataran makin saya jejali, dengan operan-operan gagasan yang pendek tapi menukik. Miriplah kesebelasan Arsenal yang menguasai 70 persen permainan atas lawannya. Saya babarkan di mana letak organ tubuh yang merupakan sentralnya aktivitas literasi seseorang: otak. Saya anjurkan pada mereka untuk meminta tolong pada paman goegle di dunia maya, agar diberi pengetahuan yang komprehensif tentang otak, sebab yang saya utarakan hanyalah sekilas doang. Sepenting yang berselaras saja dengan penjelasan diskusi ini.

Cara kerja otak saya paparkan, fungsi belahan kiri dan kanan. Dan, temuan mutakhir akan kemajemukan kecerdasan, multiple intelegence. Lalu, saya tegaskan pula, bagaimana aktivitas literasi memelihara dan memaksimalkan cara kerja otak, sekaligus menopang tumbuhnya berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Saya tiba pada simpaian argumen, bahwa tradisi literasi akan sangat membantu seorang mahasiswa untuk mencapai puncak-puncak prestasi yang didambakan. Sebab, tradisi literasi telah berfungsi sebagai medium bagi seorang mahasiswa, untuk terhindar dari sekadar mengejar simbol-simbol ilmu, tetapi memburu substansi ilmu.

Akhirnya, hal yang paling tidak bisa saya tolak datang jua, waktu menjukkan pukul 17.30, panggung pelataran mulai mengajukan diri untuk berbenah. Sisa waktu yang hampir tiga puluh menit dipergunakan untuk sesi tanya jawab. Banyak pertanyaan yang mereka ajukan, semisal minimnya minat baca, apalagi menulis, sulitnya mencari wadah untuk menumbuhkan kapasitas literasi, dan, yang tak kalah menariknya, karena mereka meminta di lain waktu agar saya bersedia jumpa lagi.

Setiba di pucuk perhelatan, dua tiga orang awak media kampus, khususnya koran kampus Identitas, meminta wawancara khusus. Apa yang ditanyakan dan jawaban saya, sebaiknya kita tunggu saja ulasan di medianya, yang saya sendiri belum tahu persis kapan waktu pemuatanya. Dan, benar-benar di tubir persamuhan, para peserta menyemuti saya guna berfoto, bergantian, kadang berombongan dan ada pula minta foto berdua saja. Saya merasa seperti selebriti, seorang pemanggung, sepadan personil Koes Plus yang usai konser. Di sela-sela jepretan dan kilatan kamera gadget yang beragam, saya membatin, beginilah kira-kira potretnya, jikalau berada di kitaran generasi Y dan Z, segelombang generasi yang tumbuh bersama limpahan perangkat gadget, sebuah perangkap yang memanjakan.

Usai sesi foto-foto, hujan belum juga reda. Namun, tidaklah menyurutkan tekad untuk segera pulang ke tempat semedi. Jas hujan saya pakai lagi, dibonceng motor oleh yang menjemput tadi. Perjalanan pulang yang cukup singkat, durasi waktunya kisaran sepuluh menit, saya membayangkan rancangan gagasan yang bakal saya muntahkan pada mereka, bilamana permintaan sua menyata. Belum tuntas rancangan itu di pikiran, sudah tiba di depan tempat semedi saya, Toko Buku Papirus. Saya melepas jas hujan, mengiyakan pembonceng yang minta diri. Dan, saya pun kembali bersemedi, seiring rinai hujan yang menghempaskan diri, pada tanah yang setia memeluknya.

0 komentar:

Posting Komentar