Jumat, 04 Maret 2016

Gerakan Literasi dan Politik



“Di hadapan penguasa, jangan dengar apa yang dikatakannya, tapi dengarlah apa yang tidak dikatakannya.” (Kahlil Gibran)

Sabda Kahlil Gibran, seorang penyair terdepan dari Lebanon, yang saya kutip di atas, bagi saya adalah sejenis password untuk berhadapan dengan para politisi yang ingin meraih kekuasaan. Jujur, saya pertama kali jatuh pikir pada penabalan Gibran itu, tatkala membaca buku, Menegakkan Demokrasi, tahun 1989, ketika masih menjadi aktivis mahasiswa. Dan, dari sepenggal babar buah akal ini pula, saya kemudian makin menyelami syair-syairnya, menyerap pandangan-pandangannya.


Tahun 2016-2017, adalah tahun-tahun politik di kampung halaman saya, Bantaeng. Pilkada akan berlangsung 2017 nanti. Perseteruan para calon bupati bakal seru, soalnya, bupati yang sekarang, Nurdin Abdullah, tidak maju lagi, sebab sudah menjabat dua periode. Sehingga, persilatan politik guna meraih kekuasaan, menjadi orang nomor satu di Bantaeng, dipastikan sangat dinamis, baik secara positif maupun negatif. Saling jegal di antara mereka sangat mungkin, bahkan tidak sedikit kampanye negatif akan muncul. Dan, di atas semua itu, yang tak kalah dahsyattnya, saling klaim pada apa yang mungkin telah dilakukan.
Adalah Gola Gong dalam bukunya, Gempa lietrasi, kurang lebih mengatakan, bahwa gerakan literasi yang paling mutakhir, tatkala gerakan ini ditumpangkan dengan berbagai macam ikon budaya pop. Saya sering mengistlahkannya dengan mem-flashdisk-kan gerakan literasi. Maksudnya, gerakan literasi bisa dicolokkan ke mana saja, asalkan bisa satu frekuensi dalam bergerak. Ibaratnya, apakah medium lain, semisal komputer, laptop, dan gadget lainnya, bisa membaca flashdisk itu.

Selaku pegiat literasi, di masa kiwari ini, saya menyokong kondisi gerakan paling mutakhir. Siapa saja yang berminat untuk terlibat dalam percepatan gerakan ini, bakal bersinggungan, saling bahu membahu. Yang terpenting bagi saya, apakah orang lain pun menganggap gerakan literasi ini penting untuk diusung secara bersama-sama. Sikap ini saya beberkan sebagai upaya klarifikasi awal dan secara terbuka, agar setiap dari diri kita terhindar dari saling klaim atas seringnya muncul asumsi, tunggang menunggangi gerakan literasi.

Khusus di Bantaeng, pusat gerakan literasi yang berbasis komunitas, sering dialamatkan kepada Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang berlebihan, mengingat sejak dini di awal pendiriannya, enam tahun yang lalu, tepatnya 1 Maret 2010, telah mendeklarasikan diri sebagai komunitas gerakan literasi, yang mengimajinasikan bakal terwujudnya masyarakat literasi Bantaeng. Dan, saya sebagai CEO-nya, hingga detik ini, masih setia dengan cita awal itu. Jadi, manakala besok lusa terjadi, khususnya di tahun-tahun politik ini, ada persinggungan dengan para aktor politik, baik yang mengimpikan kursi nomor satu, maupun yang sementara duduk di deretan kursi legislatif, atawa para partisan politik, semuanya itu, tiada lain karena persinggungan gerakan literasi paling mutakhir.

Tulisan ini secara gamblang saya dinikan di kekinian, bukan tanpa latar belakang. Sejak lama, jauh sebelum Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan hadir, saya sudah bergiat secara personal untuk menggawangi gerakan literasi. Pilihan ini aktivitas ini, adalah buah dari sebuah pohon janji untuk kembali ke habitat semula, selaku pegiat sosial. Pasalnya, sebelum Reformasi 1998, sesarinya saya adalah pegiat sosial, ikut merapatkan diri bersama barisan aktivis yang mendorong terjadinya reformasi.

Pascareformasi, saya agak melenceng dari pegiat sosial, karena menceburkan diri ikut mengurus partai politik, menjadi partisan politik, bergabung di Partai Umat Islam (PUI). Oleh pendirinya, Deliar Noer, saya didapuk lewat secarik kertas mandat untuk membentuk kepengurusan partai, wilayah Sulawesi Selatan. Amanah itu saya tunaikan, lalu terpilihlah Syahruddin Parakkasi sebagai Ketua Umum DPW PUI Sul-Sel. Akan tetapi, beliau seorang PNS, maka tampuk pimpinan selaku pelaksana harian kepengurusan, dipundakkan ke saya.

Walhasil, setelah pemilu 1999, Partai Umat Islam tidak memenuhi persentase electoral treshold, hanya meraih 0,25% suara, maka diharuskan membubarkan diri atau melebur dengan partai lain. Deliar Noer memilih membubarkan partai. Dan, saya sendiri ikut dengan sikap Deliar, tidak bergabung ke partai manapun, meski tidak sedikit ajakan dari kawan-kawan politisi dilayangkan ke saya. Sejak saat itu, janji saya dedahkan untuk kembali ke pangkuan habitat awal, pegiat sosial. Mencoba tetap bergiat, lewat perjuangan kultural, yang kemudian saya tetap meyakininya, akan berpengaruh pada dimensi struktural.

Perjuangan struktural, bagi saya masih sangat penting. Sepanjang sang pejuang punya kapasitas dan integritas untuk mewujudkannya. Meraih kekuasaan teramat strategis untuk melakukan perubahan, khususnya mewujudkan masyarakat literasi. Bukankah domain kekuasaan, pemerintah berkewajiban menyiapkan fasilitas, untuk menyangga kebutuhan akan langgengnya tradisi literasi? Membangun dan merawat perpustakaan di seantero negeri adalah domain kekuasaan, tepatnya pemerintah. Mengeluarkan Perda Literasi misalnya, pun amat penting untuk menyokong gerakan literasi.

Singkatnya, ada sebongkah tanya, yang pantas saya ajukan. Adakah para calon bupati yang akan memasuki arena persilatan politik, untuk menjadi bupati Bantaeng, punya sense yang memadai untuk berkoneksi dengan gerakan literasi yang paling mutakhir? Tidak perlu ada jawaban verbal di sini, apatah lagi sekadar onggokan kata-kata, terucap dalam gumpalan janji. Sebab, manakala menjawab, takutnya password saya, yang saya dapatkan dari Kahlil Gibran, tiba-tiba aktif, dan saya tak kuat mengendalikannya.

0 komentar:

Posting Komentar