Jumat, 27 Mei 2016

Bu Lies dan Kelas Inspirasi


 
Usai sudah perhelatan Kelas Inspirasi Bantaeng (KI-B) jilid III digelar, yang Hari Inspirasinya terwujud pada Rabu, 25 Mei 2016, di 10 sekolah, pada 8 kecamatan di Bantaeng. Perayaan pun layak untuk dipestakan, dan bentuknya amat sederhana, menggelar sejenis acara refleksi di Tribun Pantai Seruni, atas apa yang telah dilakukan selama pelaksanaan KI-Bantaeng ini. Bagi saya, selaku Koordinator KI-Bantaeng merangkap KI-Sulawesi Selatan, perayaan ini serupa dengan hari lebaran. Ini lebarannya para sukarelawan KI-Bantaeng.
 
Seabrek catatan penting untuk dituliskan, sebagai penanda akan torehan peristiwa garib ini. Soalnya, KI-Bantaeng, hanya mampu menggelarnya sekali setahun. Dan tahun 2016 adalah tahun ketiga. Bolehlah saya tabalkan, bahwa perjalanan peristiwa ini, yang memangsa waktu kurang lebih tiga bulan, penuh dengan kejutan-kejutan. Baik kejutan itu menyenangkan maupun menyebalkan. Tetapi, justeru di situlah indahnya proses perjalanan akan suatu even. Terkadang, proses jauh lebih menarik dari hasil yang dicapai. Sebab, dalam proseslah sari diri setiap orang yang terlibat, khususnya para sukarelawan menemukan lahan tempaannya yang paling orisinil.
 
Sekadar peramsalan, sejatinya para sukarelawan KI-Bantaeng adalah sebuah tim. Bila saya ibaratkan sebagai tim sepak bola, yang siap bertanding, mulai dari pertandingan paling awal hingga final. Tentulah tidak bisa dihindari, adanya pemain yang hanya bisa bermain pada beberapa pertandingan, lalu cedera, tapi ikut lagi bermaian di pertandingan berikutnya. Ada juga, yang hanya main satu pertandingan, lalu dibelit cedera berkepanjangan. Pun, nampak pula bisa bermain di pertandingan final, tapi karena akumulasi kartu kuning, terlebih lagi dapat kartu merah sehingga tak boleh menyepak bola. Tapi, bagi saya, semuanya berkontribusi sehingga sukses menggelar pertandingan final, dan juara pula.
 
Pada setiap pertandingan, pastilah banyak kejutannya, bisa menegangkan segenap tim, walakin ujungnya sorak-sorai pun diumbar. Kadang pula, ada pertandingan kalah telat, pun terjadi di kandang sendiri. Tapi berbalas pula, di pertandingan tandang berikutnya, hujan gol di kandang lawan menderas, menyebabkan kiper lawan malas memungut bola, karena terlalu sering menghadap ke jala gawang. Makin dekat pada kompetisi berakhir, desakan kejutan pun bertubi-tubi. Ketegangan mewarnai rona wajah, tercermin pada raut muka yang terkadang membisu diam.
 
Demikianlah, jelang dua pertandingan terakhir, tiba-tiba saja ada kejutan. Stadion yang semulanya mau dipakai bertanding, dinyatakan tak boleh dipakai karena ada hajatan para petinggi, yang punya kuasa atas stadion itu. Tentulah pemindahan tempat bertanding itu menuai resiko bagi tim. Mulai dari strategi bermain, bentuk lapangan yang berbeda sebelumnya, psikologi para pendukung, akan memengaruhi jalannya pertandingan. Maka tidaklah mengherankan jikalau bentuk permaianan awal yang dirancang, mengalami perombakan, pengadaptasian agar pertandingan tetap berjalan.
 
Seperti itu pulah suasana yang dialami para sukarelawan KI-Bantaeng. Tempat briefing yang semula direncanakan akan ditempatkan di Balai Kartini, dan sudah dapat izin, tiba-tiba saja harus pindah ke Ruang Pola Bupati Bantaeng. Alasan diminta pindah lokasi, sebab akan dipakai oleh Pemda Bantaeng untuk acara Isra’ Mi’raj, sekaligus pelepasan Tim Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Gegara perpindahan ini, mengikutkan resiko yang tak sedikit. Mulai dari keharusan memberi tahu undangan yang ratusan orang, hingga perlengkapan kesuksesan acara yang dirancang untuk digunakan di Balai Kartini, pun ikut berantakan. Sebab, acara briefing ini membutuhkan ruang yang luas, bukan sekadar menampung orang yang ratusan. Sementara, Ruang Pola Bupati bukan berarti tidak memuat ratusan orang, tetapi bentuk ruangan itu diformat sebagai ruang rapat, yang kursi dan mejanya permanen posisinya.
 
Akibatnya, tidak bisa dihindari. Banyak laku yang sebenarnya tidak menjadi masalah di Balai kartini, menjadi masalah besar di Ruang Pola Bupati. Baik bagi para sukarelawan maupun penanggung jawab ruangan itu. Mulai dari administrasi yang tidak komunikatif atas perpindahan itu, antar jajaran di Pemda, maupun akibat yang ditimbulkan oleh para sukarelawan yang dianggap oleh pengelola sebagai ketidakwajaran. Dan, akibat dari semua itu, karena menyisakan buntut persoalan. Dengan kuasa yang dimiliki oleh pengelola, seenaknya saja menimpakan semua kesalahan itu pada KI-Bantaeng, terkhusus Ketua Panitia, yang mendapat cercaan yang berlebihan.
 
Seharusnya, bila kami melakukan pelanggaran atas penggunaan Ruang Pola itu, surati kami untuk bertanggungjawab secara formal, karena kami masuk secara formal. Itulah gunanya formalitas, bukan mencerca person tertentu. Saya selaku Koordinator KI-Bantaeng, masih sanggup untuk mempertanggungjawabkannya. Sebab, tercercanya seorang relawan panitia di KI-Bantaeng, sama saja mencerca secara keseluruhan.
 
Tibalah pada pertandingan final, Hari Inspirasi. Sejak sore hari, para sukarelawan yang ratusan orang itu, mulai berkemas untuk hadir di 10 Sekolah yang didapuk selaku tempat menginspirasi. Dari berbagai macam profesi, ada: Pengusaha, TNI, Polisi, Dokter dan Tenaga Kesehatan, Penulis, Pustakawan, Dosen-Guru, PNS, Politisi, dll. menghamburkan diri berdasarkan timnya di setiap sekolah. Saking militannya para relawan, nampak tim tertentu yang lokasinya di gunung nan terpencil, memilih bermalam di lokasi, agar esoknya tidak telat tiba disekolah.
 
Mungkin bagi sebagaian orang, kegiatan ini tiadalah arti. Bahkan, cibiran ikut terlontar. Tetapi bagi kami, itu hanya kejutan belaka, sebentuk kejutan yang menyebalkan, yang bakal berbalas dengan kejutan yang menyenangkan. Bagi kami, para sukarelawan, hadirnya sesosok profesional di hadapan anak didik, yang amat jarang menemukenali profesi tersebut, akan menjadi keajaiban. Sejenis epifani, yang bakal memantik cita-cita mereka. Sebab, beragamnya kaum profesional hadir, sama saja menyampaikan kepada mereka bahwa dalam kemelataan di dunia ini, begitu banyak jalan-jalan hidup untuk kehidupan.
 
Bayangkanlah, diri kita saat ini, yang usia sekolah dasar, punya cita-cita dan tentulah masih abstrak penuh tanda tanya. Tetiba ada sosok yang hadir di depan kita, mengkonkritkan yang abstrak itu, berbicara tentang perjalanan dirinya, mulai kesulitan, kesungguhan dan kerja keras, serta kejujuran untuk mencapainya. Pastilah, hanya nilai-nilai ideal dari profesi itu yang disampaikan. Dan, itu artinya memberikan nilai-nilai awal untuk membangun karakter seorang anak didik, yang dinubuatkan dalam cita-cita yang diimajinasikan.
Dengan begitu, segenap sukarelawan dari berbagai profesi, kehadirannya tak ternilai dengan ukuran apapun. Sebab, menjadi pemantik dari nyala api untuk membakar sesuatu, jauh lebih bernilai tinimbang dari api yang membakar itu. Soalnya, adanya api cita-cita yang bakal menyata, karena ada yang memantiknya. Sukarelawan telah menjadi pemantik cita-cita.
 
Kali ini, pada penyelenggaraan KI-Bantaeng jilid III, salah satu sukarelawan pengajarnya adalah Bu Lies Fachruddin, yang dikenal pula sebagai isteri Pak Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng. Kehadirannya selaku sukarelawan pengajar, sebenarnya adalah menunaikan janji yang ditabalkannya, sewaktu tim bersilaturrahim, bertemu mengkonfirmasi akan adanya KI-Bantaeng tahun 2016. Bu Lies Fachruddin hadir, tidak selaku pejabat atau isteri pejabat, melainkan hadir sebagai sukarelawan pengajar yang berprofesi selaku dosen. Saya pun yang bertemu di lokasi sekolahnya, SD Inpres Jagong, menyapanya selaku seorang sukarelawan. Ibaratnya, beliau adalah salah seorang pemain yang ikut bertanding di pertandingan final, dan ikut mencetak bola.

0 komentar:

Posting Komentar