Senin, 09 Mei 2016

Pernikahanmu, Perlawananmu!


 
Ada tiga momentum kehidupan, sebagai simpai penyimpul dari kemelataan hidup di jagat. Sering diringkas menjadi saat: kelahiran, pernikahan dan kematian. Inilah siklus kehidupan yang bertaut erat satu sama lain, tatkala beredar dalam kenormalan menjalani hidup dan kehidupan. Maka, tidak sedikit insan yang memberikan penanda kuat akan momentum-momentum itu. Bila perlu, dilukis pada kanvas ingatan atawa dipahat di dinding teduhan hati.
 
Kelahiran setiap insan, selalu disertai tangisan lengking sang bayi, bersambut gayut senyum haru nan bahagia, tawa sukaria gembira dari para penanti kehadirannya. Saking monumentalnya kelahiran setiap anak, maka semua Bani Adam, dengan berbagai latar tradisi, maupun budaya digelar sebagai bentuk pementasan akan pentingnya kelahiran. Model penyambutan kelahiran, jumlahnya sama dengan tradisi dan budaya kaum yang eksis di pelataran bumi.
 
Kala pernikahan tiba, sang insan tersenyum bahagia, bersukaria riang gembira. Dan, cara merayakan pernikahan pun beraneka ragam. Yang pasti, pada momentum pernikahan ini, semuanya tersenyum bahagia, tertawa gembira. Pada pernikahan inilah, titik temu antara momen awal berupa kelahiran dan momen akhir berona kematian, bersatu padu dalam kekompakan mengusung tenda keramaian. Pendeknya, baik insan yang menikah, maupun para penyaksi pernikahan semuanya larut dalam lautan sukacita.
 
Bilamasa pucuk kehidupan tiba, kematian menyata, maka yang terjadi adalah kebalikan dari kelahiran. Insan yang wafat, bakal diam bersungging senyum karena bahagia menjadi tamu keabadian. Sebaliknya, para penatap kematian, akan menangisinya. Tertawan dalam kesedihan, kepiluan dan kehilangan. Si mayat yang meninggalkan kesementaraan tersenyum, sementara si hidup yang ditinggalkan menangis sejadi-jadinya.
Sehingga, hidup ini jadinya menjadi sederhana bulatan edarannya. Lahir, nikah dan mati, itulah siklusnya. Dan, di sela-sela kelahiran, pernikahan dan kematian, senyum dan tangis silih berganti menghiasinya. Keduanya bisa saling berhadapan dalam satu momen, ketika kelahiran dan kematian, namun bisa pula hadir bersamaan dalam satu peristiwa, saat pernikahan diwujudkan: hanya senyum sukaria yang mengada.
 
Karenanya, bagi orang-orang tertentu, yang menganggap hidup ini penuh misi kesejatian perjuangan atas idealitas hidup, maka ketiga momentum hidup dan kehidupannya itu, akan dijadikan sebagai arena kontestasi menyatakan pendapat, serupa perlawanan terhadap jalan hidup dan kehidupan yang membusukkan idealitas kehidupan. Saya petik satu saja momen itu, yakni pernikahan. Bisakah peristiwa pernikahan ini dijadikan sebagai arena untuk menunjukkan perlawanan?
 
Tersebutlah tatacara pernikahan yang dipentaskan oleh Nabi Muhammad SAW, tatkala menikahkan putrinya, Fatimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib, yang doanya amat sering dicantumkan pada undangan pernikahan di kekinian. Bagi saya yang terbatas dalam kecanggihan penalaran, menilai bahwa apa yang dipertunjukkan oleh Nabi, adalah sejenis upaya perlawanan terhadap situasi sosial yang begitu hedonis dalam menggelar pesta pernikahan. Hingga masa kiwari ini, masih belum ada tandingannya dalam kesederhanaan pernikahan, padahal Nabi bisa melakukan apa saja, sesuai dengan lakon pernikahan di zaman itu. Wong yang menikahkan adalah pemimpin tertinggi, yang menikah adalah putri terbaik dan putra terpilih.
 
Sejalan dengan itu, pernah pula ada pernikahan yang cukup sederhana, ketika Mohammad Hatta menikah, yang memberikan mahar berupa buku karangannya, Alam Pikiran Yunani, kepada calon isterinya. Yang dilakukan Hatta adalah sejenis interupsi atas situasi sosial, yang hingga kini kita bisa tafsirkan peristiwa pernikahannya itu sebagai jalan juang baginya. Atau, pernah pula di tahun 80-an, sepasang aktifis memilih jalan pernikahannya, dengan menyatakan perkawinanya di pemukiman Kali Code, tempat mengabdinya Romo Mangunwijaya.
 
Demikian juga, dua peristiwa pernikahan yang masih bisa diingat karena menyita perhatian publik. Pertama, ketika RafFi Ahmad dan Nagita Slavina, melakukan pesta pernikahan yang sangat glamour, biayanya mencapai 10,3 milyar, sampai menyerobot ruang publik di TV, dengan paket siaran langsungnya. Kedua, saat pernikahan putra Jokowi, Gibran Rakabuming dan Selvi Ananda, yang begitu sederhana dan bersahaja, padahal bisa melakukan pesta besar-besaran, sebab yang bikin gawe, kosong satunya RI. Bagi saya, peristiwa kedua merupakan tohokan nyata atas peristiwa pertama. Dalam hajatan ada perlawanan terhadap kampanye atas penyuburan hedonisme.
 
Nah, baru-baru ini, tepatnya di hari Ahad, 8 Mei 2016, saya menghadiri pesta pernikahan kawan, Adam Kurniawan dan Ramadhani Arumningtyas di Balai Kartini Bantaeng. Saya kenal keduanya. Dua sejoli ini adalah aktifis, yang sejak mahasiswa sudah sering bersua dengannya. Bagi saya, ini serupa dengan pernikahan ideologis. Maka tak mengherankan, bahkan suatu keharusan manakala gelaran pernikahannya pun sarat dengan muatan ideologis. Sejenis perlawanan atas model-model pesta perkawinan yang hanya mengumbar nilai-nilai hedonisme.
 
Pesta pernikahan kawan saya ini, benar-benar mengusung sebuah konsep alternatif model pesta, yang punya orientasi penumbuhan nilai-nilai kejuangan. Penataan ruang yang amat egaliter, menyebabkan suasana menjadi cair, lebih mirip menghadiri acara pementasan. Sekaum anak muda yang memainkan musik akuistik, yang jauh dari kebisingan, mempersembahkan tembang-tembang yang populis, dengan syair-syair lagu cinta yang jauh dari kenorakan, seperti yang sering kita jumpai dalam pesta-pesta pernikahan dengan iringan electone.
Belum reda rasa takjub saya, tiba-tiba disuguhi pementasan tari tradisional. Saya rada berada di acara bernuansa tradisi. Selain itu, dekat pintu masuk, ada pajangan foto, berbingkai dengan tungkai yang artistik, saya serasa mengunjungi acara pameran foto. Belum lagi menu yang tidak begitu banyak ragamnya, sehingga para tamu akan menyantap dengan khusyuk, setidaknya seperti yang saya rasakan. Padahal, amat banyak pesta yang dibuat, dengan menu yang begitu rupa, seolah pameran kuliner, yang menyebabkan tamu kebingungan sendiri bila terlalu banyak pilihan, yang akhirnya diambil semua sampelnya, lalu disisakan dengan entengnya, sedangkan di luar sana, masih begitu banyak yang butuh makan.
 
Pesta pernikahan kawan saya ini, sebentuk interupsi atas pesta-pesta pernikahan yang hanya mengumbar hedonisme, dan keliaran syhahwat para penghiburnya. Pesta kali ini, amat egaliter, cukup sederhana, namun tetap mengundang senyum, tawa dan bahagia buat khalayak. Karena ini adalah interupsi, maka layak didapuk sebagai upaya perlawanan. Kawan, masamu kini dijepit oleh kelahiran dan kematian, maka jadikanlah: pernikahanmu, perlawananmu!

0 komentar:

Posting Komentar