Pertandingan ke-38 Liga Primer Inggris di gelar pada tanggal 15
Mei 2016, menandai berakhirnya musim kompetisi 2015-2016. Sebelum pertandangan
ini berlangsung, telah ada juaranya, Leicester. Sejak pertandingan ke-36, setelah
Chelsea VS Tottenham Hostpur meraih hasil imbang, Leciester pun dinyatakan
sebagai juara. Publik sepak bola terhenyak, betapa tidak, klub ini statusnya
sebagai klub promosi kemudian jadi juara. Leicester adalah klub yang tidak kaya
dan tak punya pemain bintang, bakal berlaga di Liga Champion Eropa, yang lebih
banyak diikuti oleh klub-klub kaya dengan para bintangnya. Ini sebuah
keajaiban, semakin menandaskan bahwa bola itu bundar.
Pesta juara didedahkan sedemikian
rupa, pasalnya Leicester harus menunggu waktu selama 132 tahun, sejak klub ini
berdiri untuk menjadi juara. Klub yang dimiliki oleh seorang yang berkebangsaan
Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, yang diarsiteki oleh Claudio Rineri dengan
sejumlah pemain perkasa, sejatinya adalah sekaum pahlawan. Rineri dan para
pemainnya, tiba-tiba membalik asumsi-asumsi paten, bahwa untuk menjadi juara,
klub harus punya banyak duit untuk membeli pemain bintang. Justeru di sinilah
salah satu kekuatan Liecester, sebab mereka yang bertarung bukanlah para bintang,
yang terkadang lebih mengedepankan sinarnya masing-masing. Mereka menjadi
sekawan tim, yang bermain tanpa beban. Benar-benar mereka sebagai pahlawan bagi
klubnya, yang akan dikenang hingga masa yang panjang ke depan.
***
Bilamasa jarum jam sejarah saya putar
ke waktu silam, tepatnya antara tahun 434-454, kita akan tiba pada satu
peristiwa yang hingga kini masih dikenang, sebagai salah satu kejadian penting
di daratan Eropa. Menurut Jhon Man, sejarawan Inggris, dalam bukunya, Attila:
The Barbarian King Who Challenged Rome, menyatakan bahwa dua puluh tahun yang
penting awal abad ke-5, nasib kekaisaran Romawi dan masa depan negeri-negeri
Eropa bergantung pada sepak terjang seorang lelaki barbar. Dialah Attila, raja
bangsa Hun. Kekuasaannya membentang dari sungai Rhine hingga laut hitam, dari Baltik
hingga Balkan. Ditopang kekuatan barbar yang sangat hebat, kekaisarannya segera
menandingi Romawi.
Lebih jauh Jhon Man menukikkan
goresannya, bahwa sejumlah serangan besar melawan Romawi melambungkan reputasi
Attila sebagai sosok penghancur. Namanya menjadi pameo bagi barbarisme. Namun,
yang melekat padanya bukanlah barbarisme belaka. Dia menggenggam kekuasaan juga
berkat karakternya yang mengagumkan serta kecerdasannya memikat jutaan pengikut
setianya. Bangsa Hun menganggapnya setengah dewa, dan suku Gothic serta
kelompok nomadik lainnya memujanya.
***
Leicester di masa kiwari dalam
dunia sepak bola merupakan ancaman bagi klub-klub mapan di Liga Champion Eropa.
Serona di waktu silam, Attila merupakan momok menakutkan bagi para penguasa di
daratan Eropa. Jadi, saya berasumsi, seolah ada kesamaan meski dalam bidang dan
waktu kehidupan yang berbeda. Namun point penting yang ingin saya utarakan
adalah sejumput tanya, apa faktor yang cukup signifikan untuk diajukan sebagai
penyebab keberhasilan itu? Menjadinya para pemain Leicester sebagai pahlawan
bagi klubnya dan kepahlawan Attila bagi bangsa Hun? Banyak asumsi analitik yang
bisa dikedepankan untuk meretas tanya itu.
Pada konteks inilah saya ingin
ajukan sejumput opini dari seorang Joseph Campbell, sesosok sarjana ahli dalam
mitologi, bahwa hadirnya sosok pahlawan (hero), mesti nyata pula
keberadaan seorang pembimbing kebajikan (whise) di sampingnya, selaku
penasehat spiritual bagi sang pahlawan. Faktor keberadaan sang whise
ini, amat menentukan sepak terjang sang hero. Bilasaja para hero dari Leicester
itu hadir atawa Attila selaku hero bagi bangsa Hun, lalu siapa sang whise?
Pemilik Leicester yang dari Thailand adalah sosok yang dekat
dengan para Biksu. Dan, sang Biksu inilah yang terlibat secara mistis dalm
setiap perlagaan klub. Merujuk pada Footyjokes, biksu tersebut
mencipratkan air ke bagian-bagian tertentu di stadion serta membacakan mantra
pada para pemain. Hal itu dimaksudkan agar pemain tampil maksimal di dalam
lapangan. Demikian pula Attila, dipandu oleh kekuatan magic dalam sepak
terjangnya. Dalam Wikipedia dituliskan, Attila adalah orang yang percaya pada
takhayul. Ia percaya bahwa semua keberhasilannya tidak luput dari kedekatannya
dengan ilmu sihir. Oleh karena itu sepanjang hidupnya ia selalu dikelilingi
oleh ahli-ahli sihir. Biksu pada
Leicester dan Penyihir bagi Attila, sesungguhnya adalah sang Whise.
0 komentar:
Posting Komentar