Senin, 02 Mei 2016

Terlalu Indah Dilupakan, Terlalu Sedih Dikenangkan


Ini Selasa yang garib. Seharusnya, hari Selasa ini, 03 Mei 2016, sebagaimana beratus Selasa sebelumnya, saya menikmati asupan jiwa, berupa santapan ruhani dari Alwy Rachman, lewat tulisan esainya di Koran Tempo Makassar, pada rubrik “Literasi”. Tapi apa lacur, koran ini telah mengakhiri masa baktinya di Makassar, per 30 April 2016. Benar-benar Selasa yang penuh duka, sedih dan gundah. Waima sebenarnya, sejak Senin kepastian penutupan itu sudah ada, tapi baru Selasa ini terasa tohokannya. Ibaratnya, ini serupa dengan kematian ruhani. Sepenggal syair dari tembang lawas Koes Plus, seperti pada judul tulisan ini, cukup mewakili kedirian saya.
Selasa pagi ini, saya masih menunggu Koran Tempo, seolah seperti biasanya, datang bersamaan dengan koran Kompas, karena memang pengantarnya satu orang saja. Tapi, yang tergeletak di teras hanyalah Kompas, sendirian saja seperti Senin kemarin. Saya lalu duduk-duduk di teras sejenak, membatin, sudah berapa lakon dari laku yang sering saya cicilkan masa, setiap kali membaca terlebih dahulu, satu halaman paling menarik, rubrik “Literasi” Tempo. Sebab, setiap kali Koran Tempo datang, biasanya saya langsung baca rubrik itu di teras. Dan, baca ulang lagi bila sempat di lain tempat.
Sebegitu pentingkah rubrik “Literasi” itu? Bagi saya selaku pegiat literasi, rubrik itu menjadi salah satu penanda akan geliat tradisi literasi, khususnya di kota Makassar. Dalam buku Esai Tanpa Pagar dituliskan, bahwa rubrik ini mulai terbit sejak 11 Februari 2013. Awal kisahnya, dimulai oleh Irmawati Puan Mawar (Imhe Mawar), sebagai wartawan Tempo Makassar, bertemu dengan Shinta Febriany Sjahrir, sutradara dan penyair, di Gedung Kesenian Societiet de Harmonie Makassar. Dan, selanjutnya merapat pula Alwy Rachman, dosen FIB Unhas. Dari sinilah kemudian, lewat telepon-teleponan, tercatat lima orang penulis yang siap menggawangi rubrik ini: Alwy Rachman, Shinta Febriany Sjahrir, Ahyar Anwar (almarhum), Aslan Abidin dan M. Aan Mansyur. Mereka inilah yang bergiliran menulis, dari hari Senin hingga Jumat. Sementara hari sabtu, diisi oleh penulis bebas.
Lewat seorang kawan, Ariyanto Hidayat, saya dapat info tentang adanya rubrik itu. Mungkin ia berpikir bahwa saya perlu mengetahui adanya geliat baru itu. Info ini menjadi penting bagi saya, sebab saat bersamaan, saya lagi kencang-kencangnya menarik tali kendali gerakan literasi di Butta Toa Bantaeng, lewat komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, yang saya dirikan tahun 1 Maret 2010. Maka sejak itu, saya mulai memburu Koran Tempo, meski pekan pertama rubrik “Literasi” terlewatkan. Tapi, saya tetap mencarinya, mengontak penjual ecerannya di perempatan lampu lalulintas. Hingga akhirnya, perburuan saya membuahkan hasil.
Sejak saat itulah, saya setiap hari setia membeli secara eceran. Maklum, saya belum mendapatkan kontak untuk berlangganan. Nantilah tahun 2015 baru saya berlangganan. Yang paling sering menyulitkan waktu belum berlangganan, kala saya berada di daerah, maka saya biasanya minta orang di rumah untuk membelikan, atawa saya simpan memang uang di penjual untuk beberapa hari. Dari sinilah, saya kemudian mulai menghafal jadwal penulis dan hari gilirannya. Termaktublah: Ahyar Anwar (Senin), Alwy Rachman (Selasa), Aslan Abidin (Rabu), M. Aan Mansyur (Kamis) dan Shinta Febriany Sjahrir (Jumat). Adapun hari Sabtu, dipersiapkan untuk para penulis lain. Dan, hari Sabtu ini menjadi hari “rebutan” para penulis, selain penulis tetap.
Seiring dengan perkembangannya, para penulis tetap itu kemudian mempunyai tandem. Jadi tidak lagi setiap pekan harus menulis. Namun, lama kelamaan, para penulis awal itu turun tahta, kecuali Alwy Rachman yang tak tergantikan hingga koran ini ditutup. Saya berasumsi, bahwa makin banyaknya penulis yang berminat dan memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pengasuh rubrik ini, berpengaruh langsung terhadap munculnya banyak penulis esai. Apatah lagi, sejak dibentuknya komunitas Literasi Makassar, lalu membuka Kelas Literasi, tidak sedikit dari jebolan pendidikan menulis ini mengisi rubrik tersebut.
Para penulis tetap yang mendedahkan tulisannya, adalah orang-orang yang memang cukup ternama dalam kepenulisan, khususnya di kota Makassar. Saya sendiri cukup mengenalnya. Dan, makin akrab rasanya ketika komunitas Literasi Makassar menggelar acara Panggung Literasi. Saya menyempatkan hadir, yang waktu itu diadakan di Lantai Dasar Perpustakaan Unhas, saya sudah lupa tanggal persisnya. Waktu itu, saya ingat betul, acara yang dimoderatori oleh Muhary Wahyu Nurba (?) mempersilahkan saya untuk ikut urung pendapat, sebagai pegiat literasi di daerah. Pascasamuh itu, saya makin yakin akan adanya mitra-mitra gerakan yang sama-sama mengusung gerakan literasi, meski dengan artikulasi yang berbeda namun dengan visi yang sama.
Intensitas saya makin merapat dengan para penulis, yang memang sudah kenal sebelumnya, khususnya ketika Ahyar Anwar meninggal. Kami semua kehilangan, baik secara komunal maupun secara individual. Dan, kepergian Ahyar, mengharuskan pengelolah rubrik menetapkan penulis pengganti di hari Senin. Maka muncullah dua orang penulis tetap di hari Senin, sebagai tandem, sejenis “duet maut”, yakni Muhary Wahyu Nurba dan Hendragunawan S. Thayf. Kedua insan ini, bolehlah saya klaim sebagai kawan akrab. Sejumput kisah bagaimana Muhary Wahyu Nurba terlibat di rubrik ini, bisa dibaca pada catatan facebooknya, Senin, 2 Mei 2016, persis 2 hari setelah koran ini ditutup.
Catatan facebooknya Muhary Wahyu Nurba berjudul “Pamit”. Saya membacanya dengan khusyuk, ada getar-getar batin yang mendesak-desak penuh sesak. Dalam ulasannya yang aduhai, saya sepertinya membaca kembali sepucuk esai di “Literasi” Tempo. Dan, beberapa esainya saya merasakan liku-liku kelahirannya. Seperti yang diujarkannya, tatkala Imhe mulai mengingatkan tenggat waktu kirim tulisan, maka terbirit-biritlah ia. Pada kondisi inilah, biasanya ia terdampar di pojok surga saya, ruang baca yang sering disinggahinya. Salah satu kebiasaan baik Muhary Wahyu Nurba, ketika ia datang, tak lupa menenteng beberapa biji kue tradisional, lalu berucap, “ eroki agang anne dumpia “, maksudnya, butuh teman kue ini. Maka wajiblah saya menyiapkan kopi, lalu nenggak bersama. Dari obrolan inilah, terkadang ia langsung pamit, karena sudah menemukan apa yang mau disodorkan ke Imhe Mawar.
Sebenarnya, apa yang membuat saya begitu terterungku pada “Literasi” Tempo ini? Tentulah yang paling pertama selaku penikmat tulisan dari beberapa penulis, baik yang tetap maupun bebas. Sebab, bagi saya tulisan-tulisan itu bak makanan jiwa, dengan asupan gizi tinggi. Bersetianya saya pada gerakan literasi, tidak sedikit karena topangan gizi bacaan tersebut. Selalu ada yang menghentak sehabis membaca tulisan-tulisan itu. Makanya, terkadang saya mengutuk “tanggal merah”, karena sama artinya jiwa saya tidak makan hari itu. Walau sesungguhnya saya juga penyuka hari libur.
Kedua, gara-gara Muhary Wahyu Nurba hijrah ke Lombok -- dan sekarang sudah mengasuh rubrik “Literasi” di Lombok Post -- saya kehilangan lagi seorang pemasok santapan jiwa. Namun, selalu ada yang disodokkan Muhary Wahyu Nurba pada saya agar menulis juga di rubrik itu. Sodokannya memperkuat pendapukan Alwy Rachman, yang saban waktu nyaris tak bertempo, selalu menganjurkan untuk menulis. Dari dua orang penyulut semangat inilah, akhirnya membuat saya takluk untuk berusaha sekuat mungkin untuk menulis di rubrik “Literasi” Tempo.
Akhirnya, 23 Januari 2015 tulisan pertama saya dimuat, dengan judul: “Memberilah dengan Sari Diri”. Sepanjang tahun 2015, saya menulis sebanyak sebelas kali. Tulisan terakhir saya bertitel: "Cinta Kasih: Dari Maulid hingga Natal", 28 Desember 2015. Memasuki tahun 2016, saya jeda kirim tulisan, sebab banyak kesibukan yang menyita energi fisik, mempersiapkan Kelas Inspirasi Bantaeng dan Bantaeng Literasi Festival. Dan, juga akibat dari keharusan setiap pekan untuk menulis di lembaran Kala, sebentuk media bagi Kelas Literasi di Paradigma Institute. Nantilah di penghujung April 2016, saya berencana mengirim tulisan, namun koran ini sudah dinyatakan tutup.
Ketiga, sejak Kelas Literasi di Paradigma Institute di buka tahun lalu, dan sudah masuk angkatan kedua, saya selalu menjadikan esai-esai di “Literasi” Tempo ini sebagai bahan bacaan wajib. Terutama dua buku yang merupakan esai pilihan, Esai Tanpa Pagar dan Ruang Sadar Tak Berpagar. Buku pertama berisi 100 esai dari bebebera orang penulis, sementara buku yang kedua merupakan 61 esai pilihan dari Alwy Rachman. Dan, lebih dari itu, saya menjadikan rubrik ini sebagai sasaran untuk unjuk kemampuan menulis esai. Saya sering mengilustrasikan bahwa menulis di rubrik ini, ibarat dalam dunia sepak bola, seperti bermain di Liga Champion, hanya klub-klub juara, dan para pemain-pemain terseleksi yang bisa main di kompetisi ini. Dengan spirit itu, sudah ada tiga orang yang sempat menulis di rubrik ini, Asran Salam ( 4 esai), Bahrulamsal (3 esai) dan Mauliah Mulkin (3 esai).
Warta penutupan Koran Tempo Makassar, secara samar saya sudah dengar di pekan terakhir bulan April 2016. Lalu secara samar pula, saya kabarkan secara terbatas kepada anak-anak di Kelas Literasi Paradigma Institute pada pertemuan ke-15, Ahad 02 Mei 2016. Mereka tersentak, sebab mereka bakal kehabisan tempat mengambil ilmu tentang menulis esai dan juga akan kehilangan panggung menulis. Ada duka berjamaah, sedih bersama di Kelas Literasi Paradigma Institute, dan juga di komunitas-komunitas literasi lainnya.
Selasa pagi ini, adalah Selasa yang mendung, seteleh saya memastikan semuanya memang nyata akan berakhirnya koran ini. Senyata dengan teriknya surya, saya lalu bersahut-sahutan dengan penulis esai “Literasi” Tempo, yang tak tergantikan, bahkan ikon rubrik ini, Alwy Rachman, di hari Selasa, lewat SMS yang saya layangkan, “ Salam... Kak Alwy, ada yang aneh pada diri saya di Selasa kali ini, bahkan hingga Selasa-Selasa berikutnya. Saya bakal lapar pikiran karena tidak ada lagi asupan jiwa yang setiap Selasa, rutin saya santap dengan khusyuk. Jiwa saya bakal mengerdil karenanya. Pikiran saya mungkin meredup, semendung kota kita yang senantiasa diselimuti awan. Kak Alwy, ini Selasa yang janggal.” Pun, Alwy Rachman balas menyahut dengan secuil pesan, “Saya malah berillusi bahwa ‘selasa ini’, Alwy Rachman masih ada. Ternyata, saya hari ini ‘gugur’.”

0 komentar:

Posting Komentar