Perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF), yang berlangsung pada 18-21 Mei 2016, berpusat di Fort Rotterdam Makassar, menghadirkan begitu banyak penulis, baik dari manca negara maupun dalam negeri. Mereka adalah para bintang acara, yang kerkilau-kilau selama hajatan berlangsung. Banyak mata acara yang disuguhkan, sebagai menu yang ditawarkan buat pengunjung. Dan, salah satunya adalah launching buku, sebuah novel dari Khrisna Pabichara Marewa, berjudul Natisha.
Matahari mulai lelah, ingin pamit, lalu senja mulai menyapa perlahan, tepatnya pukul 15.30 acara bincang novel Natisha dimulai. Pembincangnya, selain sang pengarang, nampak pula Shinta Febriany Sjahrir ikut menyemarakkan diskusi, selaku pembahas atas karya Khrisna Pabichara Marewa. Saya ikut membaurkan diri, bersama ratusan pengkhidmat yang ingin menimba langsung dari sumur kepengarangan dan komentar lantip dari pembahas Natisha.
Kisah pun dimulai. Oleh Khrisna Pabichara Marewa diceritakan proses kreatif dari kelahiran Natisha. Sejatinya, Natisha dikandung dalam rahim ruhaninya selama 11 tahun, yang mengalami dua kali kecelakaan kehilangan naskah awal. Saat pertama, benih Natisha masih dalam bentuk disket, tapi karena basah, menyebabkan komputer tak sudi membacanya. Kali kedua, jabang bayi Natisha lumayan adem dalam kandungan laptop, namun apa lacur, sang laptop digasak maling. Dan, barulah kemudian, ketika energi baru untuk menyelesaikannya mengada, dalam waktu dua bulan saja, rampunglah Natisha.
Khrisna Pabichara Marewa sendiri memaknai novelnya ini sebagai anak ruhaninya. Sehingga, saya pun tergerak untuk mengistilahkannya sebagai bungsu sementara dari anak ruhani yang lain. Tersebutlah kakak kandungnya, Sepatu Dahlan bin Khrisna Pabichara Marewa (2012) dan Surat Dahlan bin Khrisna Pabichara Marewa (2013). Dari paparannya, ada perbedaan antara dua novel sebelumnya, yang berbicara tentang sosok orang lain, sementara Natisha, benar-benar mencerminkan kediriannya. Serupa dengan sari diri kepengarangannya.
Menarik mengajukan perspektif Shinta Febriany Sjahrir, yang membaca novel dalam waktu 4 hari saja, itupun bukan dalam bentuk cetak, menilai bahwa salah satu daya tarik novel ini karena berlatar kisah. Dengan latar belakangnya selaku penulis naskah teater, penyair dan esais, Shinta Febriany Sjahrir memuji jalan cerita yang didedahkan secara berlapis-lapis dalam satu bagian. Sehingga, membacanya pun, kadang maju mundur, bergantung cerita yang dipaparkan. Di atas semua itu, daya tarik yang lain, karena novel ini amat banyak menyodorkan kata-kata arkais, sejenis barang antik yang sudah lama tidak digunakan.
Selaku penyimak diskusi, tentulah saya amat khusyuk mengikutinya. Apatah lagi saya belum membaca novel itu. Dan, nantilah setelah selesai acara baru saya memburunya, membelinya di salah stand pameran buku MIWF. Pascaacara bincang novel, para peserta menyemuti Khrisna Pabichara Marewa, sang pengarang, guna minta tanda tangan dan foto bareng. Saya lalu membatin, ayah ruhani Natisha, benar-benar telah menjadi salah seorang yang bukan saja berkilau laksana bintang, tetapi menyala bersinar layaknya bintang pujaan hati.
Di sela-sela kerumunan pemujanya, barulah saya tahu, ketika Khrisna Pabichara Marewa berujar, “ kak Sulhan Yusuf tak boleh beli buku, harus diberikan, sebab akan menjadi pembincang di Bantaeng.” Saya sungguh-sungguh tak percaya, soalnya saya hanyalah pembaca dan penikmat karya sastra saja, termasuk novel, bukan sebagai orang yang punya kapasitas akademik yang mumpuni mengapresiasi karya sastra. Ada kecamuk di pikiran, juga dumba-dumba di hati. Waima begitu, saya tetap berbahagia, sebab bakal duduk sesanding dengan seorang pengarang yang auranya bakal menghidu aurat saya.
Walhasil, Natisha bersama ayah ruhaninya tiba di Bantaeng, 23 Mei 2016, sebagai wujud dari arakan satelit programnya MIWF, yang dikerjasamakan dengan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan selaku penyelenggara. Bagi saya, kedatangan Khrisna Pabichara Marewa, semaksud dengan membayar janji yang pernah diucapkannya bertahun yang lalu. Saat itu, tahun 2012, Sepatu Dahlan didiskusikan di berbagai tempat, saya bertemu denganya, pada even diskusi gerakan literasi di Pena Hijau Takalar. Saya dan Khrisna Pabichara Marewa, ditunjuk sebagai pembicara. Pertemuan itu membuahkan janji, atas ajakan saya agar suatu saat bertandang ke Bantaeng. Dan, lima tahun kemudian barulah janji itu lunas terbayar, hadir bersama Natisha di Butta Toa-Bantaeng.
Banyak yang tak terduga atas ketandangan Khrisna Pabichara Marewa di Butta Toa. Mulai dari bolehnya kami selaku komunitas literasi, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan menggunakan kembali areal Balla Lompoa Letta, setelah mengalami perbaikan dan dipindahkannya rumah jabatan bupati ke Balla Lompoa Letta. Bahkan, lebih dari itu, kami bisa menggunakannya secara berkelanjutan untuk perhelatan literasi dan budaya. Ini gegara Natisha binti Khrisna Pabichara Marewa menyata di Butta Toa-Bantaeng.
Selain itu, kedatangan penghadir yang ratusan jumlahnya. Dugaan semula, hanyalah puluhan, tapi siang itu, sejak pukul 14.00 hingga jelang Maghrib, para peserta perbincangan tetap setia mengikuti jalannya acara. Penghadir pun beragam latarnya, namun didominasi oleh kaum muda-pelajar. Saya selaku pembincang, lebih banyak larut dalam keharuan akan antusias dari penghadir. Sebab, sekelebat ingatan kembali pada sejumput tabalan sabda, bahwa ketinggian peradaban suatu negeri dapat dilihat pada seberapa banyak karya sastra yang dilahirkan dan sejauh mana apresiasi anak negeri terhadap karya sastra.
Imaji saya lalu melayang, menembus kolong Balla Lompoa Letta, tempat acara disamuhkan, menerobos atapnya, terbang pada impian akan bangkitnya penghayatan akan karya sastra di negeri saya, Butta Toa-Bantaeng. Kehadiran Khrisna Pabichara Marewa dengan putri ruhaninya, Natisha, semakin menguatkan gerakan literasi, yang sudah bertahun lalu terpantik lewat komunitas-komunitas literasi. Kehadirannya, makin meliukkan api literasi dan kecintaan pada karya sastra. Meski bukan indikator penentu, diresponnya Natisha oleh lebih 20 orang, dengan cara memilikinya, sebentuk pemenuhan hasrat akan kecintaan pada karya sastra.
Di pucuk persamuhan, saya berinisiatif memberi penanda pada kehadiran Khrisna Pabichara Marewa di Butta Toa. Saya menyerahkan tiga buah buku kepadanya, serupa karya sastra rintisan yang diterbitkan oleh Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, masing-masing: Titisan Cinta Leluhur dan Djarina, dua novel karangan Atte Shernylia Maladevi, serta AirmMataDarah, sehimpun puisi karangan saya. Pun, tiga buku itu juga, saya hadiahkan pada penerbit yang menerbitkan Natisha. Uluran tangan bersambut, oleh penerbit dibalasnya dengan hadiah novel Natisha. Anggaplah ini sewajah dengan pertukaran tanda bahagia karena bertemu dalam suasana kebatinan, yang membuncah pada penguatan tradisi literasi, untuk hadirnya masyarakat literasi di Butta Toa-Bantaeng.
( Edunews, 29 Mei 2016 )
( Edunews, 29 Mei 2016 )
0 komentar:
Posting Komentar