Aku bukan pengagum mawar // Sebab dia bunga yang manja // Aku pemuja edelweis // Yang hidup sepi di puncak gunung. (Alto Makmuralto)
Adalah Cafe Dialektika, dengan tajuk acara Dialektika Night, sejenis acara rutin di setiap Rabu malam menggelar perhelatan diskusi, pemutaran film ataupun bentuk-bentuk lainnya. Kali ini, tepatnya pada tanggal 11 Mei 2016, menghadirkan seorang pengarang, Alto Makmuralto, untuk membedah buah pikirnya, sebentuk novel yang berjudul Sekuntum Peluru, terbitan Liblitera, 2016.
Mendekati pukul 20.30, hujan tiba-tiba turun tanpa tabik, cukup deras, dingin suasana. Kurang lebih setengah jam kemudian, hujan berlalu, tidak permisi, mungkin balik sembunyi di awan. Saya luput mengintainya, sebab acara bedah novel segera ditabuh gendrang mulainya. Pun, moderator yang sekaligus tekong di Cafe Dialektika, Hasbullah, memberi pengantar akan maksud dari perhelatan ini. Setelahnya, Alto Makmuralto pun membabarkan presentasinya akan karangannya itu.
Menurutnya, novel Sekuntum Peluru ini, sesarinya adalah terbitan ulang atas novel yang berjudul Dua Jempol Untuknya, diterbitkan oleh penerbit Nala Cipta Litera, 2010. Perubahan judul, didasari oleh keinginan agar novel ini lebih bercitarasa “sastra”. Namun, jawaban yang lebih dalam atas perubahan itu tidak diungkapkan dengan tegas, selain daripada ujaran bahwa dua kata itu datang begitu saja, secara tiba-tiba. Terkesan mistis rupanya. Dan, sebelum berjudul Dua Jempol Untuknya, justeru judul awal yang dinisbahkan adalah, Selamat Tinggal Airmata, mencomot bait paling akhir dari puisi dalam novel ini. Tapi, oleh editornya, Muhary Wahyu Nurba mendakukan suatu tawaran judul sebagaimana kemudian, yang dipetik dari pucuk kalimat paling akhir novel ini.
Saya pernah menulis ulasan tentang novel ini, sewaktu masih berjudul Dua Jempol Untuknya. Ulasan itu saya dedahkan bukan sebagai kritik sastra, tetapi tidak lebih dari apresiasi atas kehadiran novel tersebut. Ulasan saya itu berjudul, “Sekali Lagi: Dua Jempol Untuknya”. Barangkali, tak ada salahnya saya nukilkan sepenggal kalimat untuk sekadar menyambung ingatan, bahwa “bagi saya, setelah membaca novel itu, tentu dengan segala kekurangan yang saya miliki, hanya bisa memberikan komentar sebagaimana pada umumnya seorang penikmat, bukan komentar sebagai seorang novelis, ataupun sastrawan. Saya pun sampaikan pada Alto Makmuralto, bahwa bagi generasi mendatang – khususnya bagi kaum urban mahasiswa—yang ingin mengetahui dinamika kehidupan dunia kemahasiswaan-kaum urban tahun 2000-2010, cukup membaca novel ini sebagai salah satu acuan, khususnya di sekitaran wilayah Universitas Negeri Makassar.”
Alto Makmuralto sendiri, mendaur ulang kembali ingatannya akan latar kelahiran novelnya ini. Bahwa sesungguhnya novel Sekuntum Peluru adalah sebuah literatur pribadi. Banyak pengalaman selama menjadi aktifis mahasiswa yang disusupkan pada tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini. Tentu, tidak lepas pula dari unsur fiksi yang mengikatnya. Dan, yang membedakan antara Dua Jempol Untuknya dan Sekuntum Peluru ini, sebab ada “sensor” atas isi yang beresiko ketabuan, namun ketika diterbitkan ulang, semua tabu itu disuguhkan, sebagai misal, pada halaman 17, tentang adegan yang kencing di mesjid.
Amat banyak informasi yang baru saya ketahui, yang sebelumnya tidak saya dapatkan atas novel ini. Di antaranya adalah pendakuan salah seorang sastrawan besar, Ahmad Tohari, yang membubuhkan tiga kata yang bernas, “ novel ini bagus”, yang oleh Alto Makmuralto kemudian dijadikan serupa mantra pelaris, karena dicantumkan pada sampul depan, bersama dengan puisinya yang fenomenal -- sering dikutip banyak orang -- seperti yang saya nukilkan di baris paling awal tulisan ini. Penggalan puisi itu, sering pula menjadi mantra penjinak jiwa, atas orang-orang kasmaran.
Meski saya sudah pernah menuliskan di ulasan saya dulu, tentang nasib novel ini, yang di luar dugaan Alto Makmuralto sendiri, tapi karena ia mengulanginya pada persamuhan diskusi kali ini, maka sebentuk penabalan kembali saya mencatatkan bahwa lewat novel inilah Alto Makmuralto kemudian terpilih menjadi “santri” di Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTRA), yang di asuh oleh para “kiyai”, sastrawan seperti: Ahmad Tohari, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Asma Nadia. Ada pula sastrawan-sastrwan dari Malaysia, Singapura dan Brunei.
Dari hasil mengikuti program MASTRA inilah, Ahmad Tohari menyarankan agar diterbitkan ulang. Dan, sebagai bukti akan kesungguhannya, tertitiplah tiga kata itu, yang bagi saya, atau mungkin juga Alto Makmuralto lebih menyerupai jampi-jampi yang bakal mengangkat bobot novel ini, sebagai bacaan yang layak ditawarkan pada publik. Namun, ada yang masih mengganjal di pikiran Alto Makmuralto, setidaknya ketika ia mengutarakan bahwa sebenarnya, ada satu lagi novelnya, yang masih berkaitan dengan persyaratan ikut di MASTRA, yang ia titeli Sekawan Jaharu. Namun apa daya, hingga kini, novel tersebut belum selesai juga, dan tentu belum terbit. Justeru ada novel lain yang sudah pada tahap perampungan.
Para peserta diskusi malam itu mengapresiasi novel Sekuntum Peluru ini. Baik dalam bentuk tanya, maupun dalam ulasan penegasan atas perbandingannya dengan novel-novel yang lain. Yang pasti, setelah cetakan pertama dengan judul Dua Jempol Untuknya, sesuai dengan tuturan Alto Makmuralto, banyak yang mengapresiasinya. Bahkan, tidak sedikit yang mencarinya. Saya kira, tepatlah kehadiran terbitan ulang ini, walau dengan judul yang berbeda, sebagai upaya jawaban atas masih diminatinya novel ini. Dengan begitu, saya hanya mau bilang, “Dua Jempol untuk Sekuntum Peluru.”
0 komentar:
Posting Komentar