Minggu, 21 September 2014

Putu Setia - Pemimpin

Pemimpin

Kora Tempo-Sabtu, 13 September 2014 | 23:41 WIB
Putu Setia


Apa lagi yang mau ditulis soal Ahok? Semuanya sudah terbuka. Caranya marah, caranya membela diri, intonasi suaranya, gesture tubuhnya saat bicara, semuanya telanjang. Apakah dia pemimpin ideal?

Pemimpin ideal itu tergantung masyarakat yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pas untuk Jakarta. Kekerasan yang jadi watak Jakarta memerlukan pemimpin yang bergaya preman. Kalau marah menggebrak dan tak segan mengajak orang berduel. Di mana ada pemimpin yang mengajak orang berduel?


Ahok berani keras dan mengecam perilaku pejabat yang korup karena ia tahu dirinya bersih. Ia berani menantang karena tahu lawan-lawannya bermasalah. Ada yang pernah dibui dalam kasus korupsi. Ada yang preman suka memalak hak orang. Belajar dari pengalaman gubernur sebelumnya, Jakarta hanya sukses dipimpin gubernur yang juga keras kepala. Ada Ali Sadikin. Dan sekarang Ahok memberi harapan.

Gaya kepemimpinan Ahok pasti tak cocok untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Yogya tak perlu dimarahi dengan menggebrak meja. Jika Sultan HB X kesal, dengan sorot mata tajam sudah membuat "yang disorot" sadar. Sultan tak mungkin mengajak berduel.


Di Bali pun, Ahok pasti tak cocok. Di sini Mangku Pastika, yang mantan jenderal polisi, diterima dengan baik. Berpuluh tahun ia di luar Bali dan tentu melihat ketimpangan lebih jernih, lalu ia datang membangun Bali tanpa ada beban disekat oleh faktor klan-penyakit pemimpin Bali. Pendekatannya kepada masyarakat tepat. Bertutur halus tidak menuding seperti Ahok.


Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, pun punya gaya yang khas. Ia tak segan memungut sampah di jalanan dan bisa marah-marah ketika taman kotanya dirusak gara-gara ada perusahaan yang menggelar promo. Ia meledak seperti Ahok, namun ia bisa meratap seperti Mangku Pastika ketika kedatangan orang-orang malang yang perlu dibantu.


Negeri ini bergerak ke arah yang lebih baik seolah-olah alam ikut menyeleksi pemimpin dan menempatkannya di mana diperlukan. Ridwan Kamil, arsitek yang sudah populer itu, ditempatkan "alam" di Bandung untuk mengembalikan kejayaan Kota Kembang yang dulu asri. Kota Lautan Api yang menyimpan sejarah bangsa harus dikembalikan ke budaya Padjadjaran yang luhur. Ketika ada yang mengejek Kota Bandung di media sosial, Ridwan bisa marah dan melaporkan pemilik akun itu ke polisi. Namun kemarahan Ridwan tak sampai menantang si pemilik akun untuk berduel. Ridwan justru ingin berdialog. Ridwan bukan Ahok.


Ada Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lemah lembut sebagaimana orang Jawa, tetapi tegas tak kepalang tanggung ketika melihat penyimpangan di jembatan timbang. Masih banyak contoh pemimpin yang ternyata pas dengan ritme budaya di mana dia memimpin.


Sayang sekali, kini tertutup pemimpin seperti itu kalau saja RUU Pilkada disahkan DPR pada 25 September nanti. Rakyat dicabut haknya untuk memilih pemimpin yang disediakan alam. Semua pemimpin yang disebutkan di atas, kecuali Sultan HB X, adalah "pemimpin pilihan alam". Ahok yang mendampingi Jokowi sulit terpilih kalau bukan rakyat yang memilihnya. Apalagi Mangku Pastika, tak mungkin menjadi Gubernur jika yang memilihnya anggota DPRD. Pastika diusung Demokrat, dan Bali mayoritas PDI Perjuangan.

Para wakil rakyat membawa demokrasi kita kembali ke Orde Baru, sedikit demi sedikit. Ya, rakyat "keliru" memilih wakilnya, tak mengira kalau wakilnya punya "program terpendam" seperti itu. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono yang dikenang hanya masa-masa akhirnya: hak rakyat untuk memilih pemimpin telah dirampas.

0 komentar:

Posting Komentar