Senin, 22 September 2014

DAENG LITERE (3): GEDUNG PERTIWI

Entah siapa awalnya yang memberi nama gedung itu dengan nama Pertiwi. Yang pasti, makna pertiwi adalah berarti bumi. Mungkin makasud si pemberi nama dimaksudkan agar gedung itu membumi bagi masyarakat, atawa tempat masyarakat membumikan maksud dan tujuaannya.

Gedung Pertiwi Bantaeng, terletak bersebelahan dengan rumah jabatan Bupati Bantaeng. Selama ini, Gedung Pertiwi memang berfungsi sebagai tempat hajatan, membumikan maksud dan tujuan masyarakat Bantaeng. Pernah  dipakai  sebagai tempat resepsi perkawaninan, tapi belakangan lebih berfungsi sebagai tempat pertemuan, seminar-diskusi-lokakarya-konfrensi dan pementasan bagi organ-organ kemasyarakatan, khususnya organ-kounitas kaum muda Bantaeng.

Namun gedung itu kini beralih fungsi. Oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng disulap menjadi Ruang Pamer Investasi. Awalnya, saya biasa saja menanggapinya. Nanti setelah saya sampaikan pada seorang kawan pegiat literasi-seni-sastra, Dion Saef Saen barulah saya serius memikirkannya. Apa pasal? Ketika berita ini kuutarakan pada Dion, sejenak ia tertegun, menghela nafas lalu menarik nafas panjang, dan matanya berkaca-kaca. Ada bening kristal yang ingin menyembul keluar dari kelopak matanya, tapi malu, hingga hanya meleleh saja. Air matanya meleleh, sedih tak terkira, galau tak terduga.

Saat itu juga kuajak Dion mencari udara segar. Meski malam itu agak sejuk, tapi dalam jiwa ada panas yang menggeliat. Maka kuajaklah ke tempatnya Daeng Sido, warung sarabba legendaris, telah ada sejak tahun 1972, guna minum sarabba, biar hawa sejuk dan jiwa panas melarut dalam sedapnya seruputan demi seruputan sarabba. Malam itu, tidak ada perbincangan serius dengan gedung itu, saya takut melarutkan Dion dalam kesedihan yang berlipat-lipat.

Saya membatin, lebih baik masalah gedung ini kuobrolkan dengan Daeng Litere, siapa tau ada terobosan-terobosan pemikiran yang lebih mendalam, tinimbang larut dalam sedih.

Tiga hari kemudian, saya bertandang ke mukimnya Daeng Litere. Saya pilih waktu sore, agar perbincangan lebih santai, dan tak mengapa jikalau saja berlanjut hingga larut malam. Toh, memang kebiasaanku dengan Daeng litere, makin suntuk makin dalam pula kualitas perbincangan.

Basa-basi pun mengawali percakapanku dengan Daeng Litere, dan dalam sekejap suguhan kopi hitam khas Bantaeng, kopi Banyorang-Ereng-Ereng pun sudah ikut tersaji. Awalnya, saya amat gelisah untuk mengutarakan maksud kedatanganku untuk berbincang tentang Gedung Pertiwi. Saya takut, jangan-jangan Daeng Litere sama saja rasanya dengan Dion. Betul saja dugaanku. Matanya berkaca-kaca menahan kegalauan. Sepertinya Daeng Litere kehilangan yang amat berarti baginya. Lalu saya pun bertanya tentang nasib para pengguna gedung itu.

Tutur-tutur bergetar keluar dari ucapannya. “ Bagiku gedung itu, bukan saja sebongkah bangunan. Bangunan yang sejenis itu mudah ditemukan bahkan segera bisa dibangun kalau ada kemauan. Tapi bukan di situ duduk soalnya. Pasal yang paling memengaruhiku adalah akan kemana lagi kaum muda untuk menambatkan asanya untuk mengembangkan diri, jikalau tempat untuk membumikan maksud idealnya hilang begitu saja?”

Setelah terdiam, jedah beberapa saat, Daeng Litere melanjutkan tuturnya, “Berapa banyak agenda yang telah terealisir, yang diwujudkan oleh kaum muda kita, rumusan-rumasan cerdas untuk negerinya dan juga pementasan-pementasan seni dan karya sastra yang mengasah kepekaan sosial-budaya anak negeri. Cukuplah tidak adanya gedung kesenian, pusat kebudayaan atau sejenis museum menjadi luka tersendiri bagi negeri yang abai terhadap nasib kebudayaannya. Jangan tambah lagi luka yang telah menganga ini.”

Sore makin terdesak, senja makin menua, malam bersiap menyambut, magrib pun tiba, perbincangan mesti jedah. Saya pamit dulu, pulang ke rumah, tunaikan kewajiban magrib, namun sebelumnya saya katakan pada Daeng Litere bahwa nanti malam obrolan dilanjutkan, tempatnya di beranda Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Ia pun mengiyakan ajakanku.

Malam makin mengental, sekental jiwaku yang menggebu karena ingin segera menikmati perbincangan dengan Daeng Litere. Tidak terlalu lama saya menunggu di beranda Boetta Ilmoe, Daeng Litere muncul setepat janji yang kami tunaikan. Sebelum perbincangan dimulai, Daeng Litere sudah mengajukan ‘proposal” pada saya, agar disediakan kopi dan tentu seperangkat laptop, guna memutar lagu-lagu kesayangannya, tembang-tembang lawas Koes Plus.

Sereput demi seruput kopi kami nikmati, alunan tembang-tembang lawas mengiringi khusyuknya perbincangan. Dan, tiba-tiba saja Daeng Litere meluncurkan kalimat-kalimatnya. “Pengalihan fungsi gedung memang sepenuhnya di tangan Pemerintah, apalagi kalau itu adalah asetnya. Namun selayaknya dipertimbangkan pula alternatif apa yang harus diberikan sebagai jalan keluar dari rasa kehilangan masyarakat yang sering menggunakannya.”

Saya lalu menimpali, bukankah ada beberapa gedung yang bisa dipakai sebagai pengganti? Semisal: Balai Kartini, Kantor BAZ, Aula Koperasi Beringin dan Gedung Korpri. Namun menurut Daeng Litere, semua gedung itu tidak merepresentasikan Gedung Pertiwi. Baginya, Gedung pertiwi adalah “tempatnya sederhana. Terjangkau sewanya, strategis tempatnya, dan mudah diformat sesuai kebutuhan acara. Tidak terlalu luas atau pun sempit.” Ujar Daeng Litere.

Sesekali perbincangan kami ngelantur tak karuan, selingan canda apalagi. Namun, ada pernyataan Daeng Litere yang menohokku. “Aku yakin ada hikmah di balik pengalihan fungsi gedung itu. Siapa tau dengan cara inilah pemerintah akan menyiapkan alternatif. Sebuah tempat atawa pusat kegiatan, yang memang betul-betul menjadi sentrum aktifitas berkebudayaan. Dimana gedung itu bukan saja sekadar tempat diskusi, seminar atau pementasan, tapi .... sekali lagi sebagai pusat kebudayaan.”

Saya paham sekali jikalau Daeng Litere sudah begini gaya tuturnya, dalam lubuk pikirannya, sesungguhnya Ia sementara menyindir, dengan menancapkan harapan yang begitu besar. Begitulah caranya menghibur kegundahan. Saya pun hanya sanggup berkata amin...amin.. amin...dan wallahualam.

0 komentar:

Posting Komentar