Entah siapa
awalnya yang memberi nama gedung itu dengan nama Pertiwi. Yang pasti, makna
pertiwi adalah berarti bumi. Mungkin makasud si pemberi nama dimaksudkan agar
gedung itu membumi bagi masyarakat, atawa tempat masyarakat membumikan maksud
dan tujuaannya.
Gedung Pertiwi
Bantaeng, terletak bersebelahan dengan rumah jabatan Bupati Bantaeng. Selama
ini, Gedung Pertiwi memang berfungsi sebagai tempat hajatan, membumikan maksud
dan tujuan masyarakat Bantaeng. Pernah
dipakai sebagai tempat resepsi
perkawaninan, tapi belakangan lebih berfungsi sebagai tempat pertemuan,
seminar-diskusi-lokakarya-konfrensi dan pementasan bagi organ-organ
kemasyarakatan, khususnya organ-kounitas kaum muda Bantaeng.
Namun gedung itu
kini beralih fungsi. Oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng disulap menjadi Ruang
Pamer Investasi. Awalnya, saya biasa saja menanggapinya. Nanti setelah saya
sampaikan pada seorang kawan pegiat literasi-seni-sastra, Dion Saef Saen
barulah saya serius memikirkannya. Apa pasal? Ketika berita ini kuutarakan pada
Dion, sejenak ia tertegun, menghela nafas lalu menarik nafas panjang, dan
matanya berkaca-kaca. Ada bening kristal yang ingin menyembul keluar dari
kelopak matanya, tapi malu, hingga hanya meleleh saja. Air matanya meleleh,
sedih tak terkira, galau tak terduga.
Saat itu juga
kuajak Dion mencari udara segar. Meski malam itu agak sejuk, tapi dalam jiwa
ada panas yang menggeliat. Maka kuajaklah ke tempatnya Daeng Sido, warung
sarabba legendaris, telah ada sejak tahun 1972, guna minum sarabba, biar hawa
sejuk dan jiwa panas melarut dalam sedapnya seruputan demi seruputan sarabba.
Malam itu, tidak ada perbincangan serius dengan gedung itu, saya takut
melarutkan Dion dalam kesedihan yang berlipat-lipat.
Saya membatin,
lebih baik masalah gedung ini kuobrolkan dengan Daeng Litere, siapa tau ada
terobosan-terobosan pemikiran yang lebih mendalam, tinimbang larut dalam sedih.
Tiga hari
kemudian, saya bertandang ke mukimnya Daeng Litere. Saya pilih waktu sore, agar
perbincangan lebih santai, dan tak mengapa jikalau saja berlanjut hingga larut
malam. Toh, memang kebiasaanku dengan Daeng litere, makin suntuk makin dalam
pula kualitas perbincangan.
Basa-basi pun
mengawali percakapanku dengan Daeng Litere, dan dalam sekejap suguhan kopi
hitam khas Bantaeng, kopi Banyorang-Ereng-Ereng pun sudah ikut tersaji.
Awalnya, saya amat gelisah untuk mengutarakan maksud kedatanganku untuk
berbincang tentang Gedung Pertiwi. Saya takut, jangan-jangan Daeng Litere sama
saja rasanya dengan Dion. Betul saja dugaanku. Matanya berkaca-kaca menahan
kegalauan. Sepertinya Daeng Litere kehilangan yang amat berarti baginya. Lalu
saya pun bertanya tentang nasib para pengguna gedung itu.
Tutur-tutur
bergetar keluar dari ucapannya. “ Bagiku gedung itu, bukan saja sebongkah bangunan.
Bangunan yang sejenis itu mudah ditemukan bahkan segera bisa dibangun kalau ada
kemauan. Tapi bukan di situ duduk soalnya. Pasal yang paling memengaruhiku
adalah akan kemana lagi kaum muda untuk menambatkan asanya untuk mengembangkan
diri, jikalau tempat untuk membumikan maksud idealnya hilang begitu saja?”
Setelah terdiam,
jedah beberapa saat, Daeng Litere melanjutkan tuturnya, “Berapa banyak agenda
yang telah terealisir, yang diwujudkan oleh kaum muda kita, rumusan-rumasan
cerdas untuk negerinya dan juga pementasan-pementasan seni dan karya sastra
yang mengasah kepekaan sosial-budaya anak negeri. Cukuplah tidak adanya gedung
kesenian, pusat kebudayaan atau sejenis museum menjadi luka tersendiri bagi
negeri yang abai terhadap nasib kebudayaannya. Jangan tambah lagi luka yang
telah menganga ini.”
Sore makin
terdesak, senja makin menua, malam bersiap menyambut, magrib pun tiba,
perbincangan mesti jedah. Saya pamit dulu, pulang ke rumah, tunaikan kewajiban
magrib, namun sebelumnya saya katakan pada Daeng Litere bahwa nanti malam
obrolan dilanjutkan, tempatnya di beranda Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Ia
pun mengiyakan ajakanku.
Malam makin
mengental, sekental jiwaku yang menggebu karena ingin segera menikmati
perbincangan dengan Daeng Litere. Tidak terlalu lama saya menunggu di beranda
Boetta Ilmoe, Daeng Litere muncul setepat janji yang kami tunaikan. Sebelum
perbincangan dimulai, Daeng Litere sudah mengajukan ‘proposal” pada saya, agar
disediakan kopi dan tentu seperangkat laptop, guna memutar lagu-lagu
kesayangannya, tembang-tembang lawas Koes Plus.
Sereput demi
seruput kopi kami nikmati, alunan tembang-tembang lawas mengiringi khusyuknya
perbincangan. Dan, tiba-tiba saja Daeng Litere meluncurkan kalimat-kalimatnya.
“Pengalihan fungsi gedung memang sepenuhnya di tangan Pemerintah, apalagi kalau
itu adalah asetnya. Namun selayaknya dipertimbangkan pula alternatif apa yang
harus diberikan sebagai jalan keluar dari rasa kehilangan masyarakat yang
sering menggunakannya.”
Saya lalu
menimpali, bukankah ada beberapa gedung yang bisa dipakai sebagai pengganti?
Semisal: Balai Kartini, Kantor BAZ, Aula Koperasi Beringin dan Gedung Korpri.
Namun menurut Daeng Litere, semua gedung itu tidak merepresentasikan Gedung
Pertiwi. Baginya, Gedung pertiwi adalah “tempatnya sederhana. Terjangkau
sewanya, strategis tempatnya, dan mudah diformat sesuai kebutuhan acara. Tidak
terlalu luas atau pun sempit.” Ujar Daeng Litere.
Sesekali
perbincangan kami ngelantur tak karuan, selingan canda apalagi. Namun, ada
pernyataan Daeng Litere yang menohokku. “Aku yakin ada hikmah di balik
pengalihan fungsi gedung itu. Siapa tau dengan cara inilah pemerintah akan
menyiapkan alternatif. Sebuah tempat atawa pusat kegiatan, yang memang
betul-betul menjadi sentrum aktifitas berkebudayaan. Dimana gedung itu bukan
saja sekadar tempat diskusi, seminar atau pementasan, tapi .... sekali lagi
sebagai pusat kebudayaan.”
Saya paham sekali
jikalau Daeng Litere sudah begini gaya tuturnya, dalam lubuk pikirannya,
sesungguhnya Ia sementara menyindir, dengan menancapkan harapan yang begitu
besar. Begitulah caranya menghibur kegundahan. Saya pun hanya sanggup berkata
amin...amin.. amin...dan wallahualam.
Senin, 22 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar