NASKAH MONOLOG AIR MATA
DARAH
Penulis Naskah :
Dion Syaif Saen
Pemeran :
Atte Shernylia Maladevi
Sutradara :
Yudhi Asman Pasauri
Musik Pengiring :
Ashok Komplen, Irsan Komplen
SIN
I
(Sambil
menatap slide, dia menahan sesak akan kejadian – kejadian yang seolah
memaksanya untuk bicara agar semua orang tahu tentang apa yang sedang
berkecamuk dalam dirinya)
(Sesaat
setelah proses penayangan slide)
Ini
hari apa?
Ini
pertanda apa? (bertanya ke penonton) apakah aku masih ingat akan kejadian
memilukan di masa lalu?(mencoba bertanya pada dirinya sendiri)
Sepertinya………sepertinya,
aku sudah mulai lupa semuanya. Yang tersisa hanya sepenggal tubuh
leluhur…itupun hanyalah simbol belaka. Beserta sedikit ukiran – ukiran zaman
yang sudah semakin dipudarkan pula.
Apa
nama peradaban ini?
Tolong
bantu aku untuk mengingatnya, agar aku bisa mengabarkan pada kisanak yang juga
sudah lupa akan tanah bertuah ini.
Apa
nama hari ini? untuk apa kita sama – sama berada di hari ini?
Cukupkah
hanya dengan melagukan dan mendentingkan lagu gugur bunga, lalu kita menangis
haru bersama?
Tolong
ingatkan aku, bantu aku untuk menyelesaikan kebuntuan ini. kebuntuan akan nama
dan jargon yang semakin disuburkan sementara mengaburkan sesuatu yang lain.
(Duduk,
sambil menggosok kedua matanya seolah ada yang menghalangi pandangannya)
Ada
apa dengan mataku ini? ada apa dengan kedua bola mataku ini? bukankah aku telah
banyak menyaksikan kejadian – kejadian di masa lalu, dan kemudian tiba – tiba
aku hadir di sini tanpa tahu - menahu tentang hari ini.
Ini
yang membuatku sangsi pada diriku sendiri, dan juga membuatku sedikit gengsi
untuk mengakuinya.
Ada
apa dengan mataku ini? kenapa pujian – pujian itu sulit untuk aku cerna,
mengapa pujian – pujian itu sulit untuk aku tatap?
Sementara
telah lebih dari sewindu lamanya aku menyaksikan sekumpulan ilalang mematung
sepi, mereka hadir hanya sebagai pembeda yang selalu dibedakan.
Apakah
harus aku manjakan pula kedua bola mataku ini? sementara ribuan mata
memandangku nanar, ribuan mata memandangku tanpa mengerling sedikitpun seolah
menelanjangiku.
Mereka
menatapku dengan penuh kecemasan akan keterbatasannya yang kemudian akan
menjadi petaka hidupnya.
Ada
yang hilang mimpinya, ada yang dijamah kemudian dilupakan begutu saja. Seolah
diberikan ruang kemudian dipuja. Itupun dengan pemujaan yang jauh dari kesan
pemujaan keramat.
(Mencoba
memperkuat pernyataannya )
Atau
mungkin mending kita sama – sama menangis, agar kalian tahu betapa pahitnya air
mata dan perihnya luka yang berdarah dan mengangah
(Berjalan
dan kemudian menemukan kertas penuh darah)
Ini
apa? Ini darah milik siapa?
Untukmu?
Bukan… tentu saja bukan untukmu, karena ini untukku yang telah lama kering
dengan air mata.
Ini
darah yang sama dengan darahmu, darah ini adalah darah yang sama dengan darah
yang mengalir di setiap lintasan nadi kehidupan. Kejujurannya sama dengan
kejujuran nilai – nilai luhur para pendahulu kita.
Lalu
mengapa yang tertinggal saat ini hanyalah nalar dan logika kelas tinggi, nalar dan logika kelas elite
yang suka pamer.
Hahahaha..
Ini
hari apa? Ini zaman apa? (sambil tertawa sinis)
SIN
II
(Berdiri
dengan tegak sambil bertanya dengan penuh rasa khawatir)
Pantaskah
kita tumbuh bagai ilalang yang mematung sepi? Tanpa kejelasan, tanpa komitmen
yang bisa dijadikan penyanggah kehidupan yang sudah mulai kerontang ini, tanpa
sepoi angina…… dan tanpa kau tengoooookkkkk lagiiiiiii.
Dan
kemudian kisahmu akan terbit dalam halaman koran ternama, dalam artikel –
artikel hebat, namaku kau tulis saja di sudut paling bawah dengan hururf –
huruf kecil, lalu kubiarkan namamu yang terpampang jelas dan nyata dengan
tulisan HURUF – HURUF KAPITAL yang TEBAL.
Dan
dunia akan bersorak memujamu, lalu kami dis sini akan ditindih beban berat akan
nama besarmu beserta ko..lo..ni..mu..
Atau
mending begini saja, sejak kecil… semenjak kami kanak – kanak, kau giring kami
ke tempat sunatan massal, lalu kau sunat kami beramai – ramai. Setelah itu kau
suruhlah kami ikut lomba lari dan menunggui kami di garis finish. Dan kau
berikan kami sebuah tepukan beserta sebiji permen untuk bersama. (sambil
tertawa miris)
Hufftttttt…
tenanglah diri..tenanglah (mencoba menenangkan diri)
Biarkan
hari bergeser melipat rapi kebuasan, biarkan mereka memenjarakan pengetahuan,
biarkan mereka mengerdilkan nilai, biarkan…biarkanlah..
Sebab
kenapa? Sebab bagiku mereka hanyalah akan terbang mengepak bagaikan balon
sabun, yang sebentar lagi akan hancur oleh RE TO RI KA dan TE O RI besar yang
mereka buat sendiri
SIN
III
(tiba
– tiba menatap tajam ke penonton dan bertanya)
Apa
? apa katamu? Coba ulangi lagi ! (memasang telinganya dengan baik seolah ingin
mendengar apa yang dikatakan penonton)
Kalian
masih saja bertanya ini hari apa.. kalian masih saja bertanya ini pertanda apa?
Dengan
lantang kukatakan bahwa hari ini adalah hari berkabung akan runtuhnya
PENGETAHUAN.
(sambil
menunjuk slide) lihat ini…. lihat ini pertandanya.
Masihkah
kalian punya mata ? masihkan kalian punya rasa ?
Masihkah
kalian punya sedikit rasa khawatir ? jika tidak, maka akulah orang yang pertama
kali akan mengatakan bahwa KETIDAKWARASAN
ini sudah menjadi virus.
Virus
yang telah membuat kita lupa akan kebiasaan – kebiasaan bersinergi dengan alam.
Kebiasaan – kebiasaan bercengkrama dengan cakrawala, bersinergi dengan alam,
dan kebiasaan – kebiasaan memunguti ranting demi ranting pengetahuan.
Bukan
dengan memilih diam dan sama – sama menangis dengan mengeluarkan AIR MATA
DARAH.
SIN
IV
(dengan
nada yang mempertegas)
Ya
… AIR MATA DARAH, karena air mata bening sudah tidak ada, air mata bening sudah
kering, air mata bening sudah habis (dengan penuh haru dan menangis menatap
kedua tangannya)
Yang
tersisa hanyalah kekuasaan yang berhamba, pertanda KE PU CA TAN SEJARAH.
Lalu
apa pilihan kita?
Aku
memilih menghiasi kepucatan itu dengan manik – manik ide dan cerita dalam
setiap tegukan kopi yang kuminum di beranda literasi.
Seberapa
dekatkah kita dengan dunia baca ? seberapa sukakah kita dengan dunia sastra ?
dunia menulis ?
Apa
yang kelak akan kita wariskan pada anak cucu kita?
Jangan
hanya membangun raga yang indah dengan fisik yang tinggi menjulang, sementara
bangunan jiwa kita lupakan. Bangunan jiwa anak cucu kita tidak terpinggirkan.
Alangkah eloknya jika jiwa mereka dibangun dengan nilai – nilai luhur para
leluhur yang harus dilestarikan dan dipertahankan di tanah bertuah ini.
Peradaban
ini sudah lama, peradaban ini sudah tua dan hampir punah. Seiring dengan
runtuhnya ingatan kita tentang pau – pau turiolo yang termuat dalam kitab LONTARA
BILANG.
(sambil
diiringi pukulan gendang TUNRUNG TALLU)
Dikisahkan
percakapan To Manurunga dengan tujuh Kare yang pada saat itu tengah melamar To
Manurunga menjadi Karaeng Bantaeng
To
Manurunga berkata : “Ero’ja nuangka’ anjari KARAENG, mingka I nakke pa anging
na I kau leko’ kayu, I nakke pa je’ne’ massolong na I kau sampara mamanyu’”
Ni
ta’goki kananna To Manurunga ri Kare Bissampole, na na paumi : “Kutarima Pa’pala’nu,
mingka kualleko pammajiki tangkualleko pangngodi, kualleko tambara’
tangkualleko racung.
Lalu
tersungkurlah Kare Bissampole sambil berlutut ke tanah, di tariknya SELE’ nya
sambil berkata “ inne kanangku lanjari sabbi riallo ri boko, I nai ampilari
kananna I nakke ka iareka I kau. Na punna I kau inne cappa’na sele’ ku
a’ribbaki mange ri kau, na punna I nakke, inne cappa’na sele’ku a’ribbaki
antama’ mange ri nakke”
Tamat
………………….