Dalam AirMataDarah Ada Pelajaran Diri
Beberapa hari yang lalu, kala hujan turun sekali deras. Makassar-Tamalanrea, di Toko Buku Papirus, Saya sengaja berkunjung ke sana. Lama rasanya tak melihat tempat itu. Tempat yang banyak menyimpan kenangan; perjumpaan dengan orang-orang baru, pemikiran baru. Tempat yang sederhana, namun memiliki sejuta semangat perihal peradaban literasi tetap abadi. Papirus, lama rasanya saya tak mencium aroma tumpuk buku-bukunya. Papirus, di situ saya beberapa tahun pernah menggantungkan hidup secara ekonomi. Papirus, pemiliknya Sulhan Yusuf adalah bos yang tak berlagak bos, karena lebih banyak menjadi guru, sahabat dan inspirasi hidup bagi saya.
Pada beberapa hari yang lalu itu, saya berkunjung ke sana dengan membawa kelipatan rindu. Yang pertama, rindu sebagimana kenangan-kenangannya. Yang kedua, rindu segera mendapatkan buku yang ditulis oleh sang pemilik Papirus; Sulhan Yusuf, bos yang tak berlagak bos itu. Dari Samata—Gowa, setelah menulusuri jalan-jalan yang padat dan bising deru mesin. Sekitar pukul 14.30 Wita, saya tiba di Papirus. Kak Sul (begitulah kami memanggilnya) menyambutku dengan senyum khasnya—tulus tanpa pretensi. Sebelum saya duduk, karena rindu ingin cepat melihat dan membaca bukunya, lalu saya meminta ke kak Sul untuk memberikan secepatnya—seperti orang yang memaksa—ke saya.
AirMataDarah begitulah judulnya, seketika sudah berada ditangan saya. AirMataDarah adalah sekumpulan puisi kak Sul. Jika ada yang bertanya mengapa AirMataDarah? Dalam buku itu, tak ada petunjuk yang jelas perihal tersebut. Satu-satunya petunjuk tentang judul AirMataDarah bahwa ia adalah salah satu puisi dalam buku tersebut. Buku AirMataDarah tidak hanya sekadar sekumpulan puisi, tapi bagi saya—jika tak terburu-buru menyimpulkan—adalah sekumpulan rekaman hidup; intelektual, spirirtual, sosial, budaya, politik dalam pelampauan ruang waktu.
AirMataDarah, dengan jumlah seratus tiga puisi, mengingatkanku pada sekumpulan puisi Muhammad Iqbal yang berjudul Asrar-i-Khudi. Dalam Asrar-I-Khudi, Muhammad Iqbal menjelaskan pandangan filsafatnya tentang diri pribadi dengan segala dimensinya. Apakah ada kesamaan AirMataDarah dan Asrar-I-Khudi? Entahlah, tapi AirMataDarah juga banyak bercerita tentang diri pribadi dengan segala dimensinya. Untuk satu contoh puisi pada AirMataDarah yang berjudul “DIRI” (hlm;61) di sana kita bisa menemukan bait-bait tentang pelajaran diri yang tertemukan:
“Usaikan dulu tentang pelajaran diri, kemudian
mulai belajar tentang yang lainnya. Sebab, insan
yang telah selesai belajar tentang dirinya, akan lebih
mudah mempelajari sesuatu yang beredar di luar diri”
Pada bait ini, sepertinya kak Sul memberikan kompas tentang diri bahwa tak ada pengenalan pada makrokosmos (alam semesta) tanpa sejak awal tak menyelesaikan pelajaran mikrokosmos (diri). Lalu di mana kita semestinya belajar menyelesaikan diri, Pada bait ke dua di situ kak Sul menjawab di sana; di sekolah kehidupan.
“Aku baru saja menyaksikan insan yang telah
menempu perjalanan,berproses untuk
menyelesaikan satu mata pelajaran tentang diri
di sekolah kehidupan”
Lalu sekolah kehidupan itu di mana? Kak Sul kemudian memberikan jawabanya pada bait berikutnya;
“Mata pelajaran diri, sumbernya boleh dari mana
Saja. Pola tingkah laku sosial, budaya, politik di
sekitar, bisa menjadi literaturnya. Sinar matahari,
cahaya rembulan, hembusan angin, desiran ombak,
aneka ragam tumbuhan dan binatang, akan dapat
mendukung proses itu”
Kemudian, kak Sul memberikan penanda kepada kita seperti apakah insan itu yang telah menyelesaikan pelajaran diri itu pada bait selanjutnya;
“Penanda insan yang telah selesai belajar tentang
Dirinya, insan akan selalu melihat dirinya pada
cermin diri makhluk lain. Tidak lagi bicara tentang
dirinya sendiri, tetapi selalu membincang keagunan
diri lain”
Pada bait terakhir, di sini sebuah konklusi perihal pelajaran diri yang telaj “selesai”. Saya seperti menemukan konklusi diri yang sama dengan apa yang pernah diutarakan oleh Muhammad Iqbal pada puisinya yang berjudul “Alam Semesta dan Kekuatan Diri”;
“Bila ke-pribadi-an bangkit mengatasi kesadaran
Diwujudkannya dunia ide dan pikiran sejati
Ratusan alam akan melingkup dalam intisarinya
Mewujudkan dirimu melahirkan yang bukan pribadimu”
Pada akhirnya, inilah pembacaan saya. Mungkin saja bagi pembaca yang lain menemukan yang lain pula. Ada teori yang pernah berbilang bahwa memang kita tidak pernah benar-benar bisa menangkap maksud pengarang seutuhnya. Kita tidak bisa menemukan makna sejati dalam artian makna pengarang pada teks yang tulisnya. Sebenarnya, apa yang saya tulis di atas yang mencoba mengurai salah satu puisi kak Sulhan Yusuf hanya sebatas penghampiran makna—kalau tak mau menyebutnya memproduksi makna sendiri....
Samata;
Dini hari, setelah pada senja hujan turun
Dingin tak terhindarkan
Untuk sang guru
Sang Inspirator
Sulhan Yusuf.
Makassar, 16 Maret 2015
Asran Salam
Beberapa hari yang lalu, kala hujan turun sekali deras. Makassar-Tamalanrea, di Toko Buku Papirus, Saya sengaja berkunjung ke sana. Lama rasanya tak melihat tempat itu. Tempat yang banyak menyimpan kenangan; perjumpaan dengan orang-orang baru, pemikiran baru. Tempat yang sederhana, namun memiliki sejuta semangat perihal peradaban literasi tetap abadi. Papirus, lama rasanya saya tak mencium aroma tumpuk buku-bukunya. Papirus, di situ saya beberapa tahun pernah menggantungkan hidup secara ekonomi. Papirus, pemiliknya Sulhan Yusuf adalah bos yang tak berlagak bos, karena lebih banyak menjadi guru, sahabat dan inspirasi hidup bagi saya.
Pada beberapa hari yang lalu itu, saya berkunjung ke sana dengan membawa kelipatan rindu. Yang pertama, rindu sebagimana kenangan-kenangannya. Yang kedua, rindu segera mendapatkan buku yang ditulis oleh sang pemilik Papirus; Sulhan Yusuf, bos yang tak berlagak bos itu. Dari Samata—Gowa, setelah menulusuri jalan-jalan yang padat dan bising deru mesin. Sekitar pukul 14.30 Wita, saya tiba di Papirus. Kak Sul (begitulah kami memanggilnya) menyambutku dengan senyum khasnya—tulus tanpa pretensi. Sebelum saya duduk, karena rindu ingin cepat melihat dan membaca bukunya, lalu saya meminta ke kak Sul untuk memberikan secepatnya—seperti orang yang memaksa—ke saya.
AirMataDarah begitulah judulnya, seketika sudah berada ditangan saya. AirMataDarah adalah sekumpulan puisi kak Sul. Jika ada yang bertanya mengapa AirMataDarah? Dalam buku itu, tak ada petunjuk yang jelas perihal tersebut. Satu-satunya petunjuk tentang judul AirMataDarah bahwa ia adalah salah satu puisi dalam buku tersebut. Buku AirMataDarah tidak hanya sekadar sekumpulan puisi, tapi bagi saya—jika tak terburu-buru menyimpulkan—adalah sekumpulan rekaman hidup; intelektual, spirirtual, sosial, budaya, politik dalam pelampauan ruang waktu.
AirMataDarah, dengan jumlah seratus tiga puisi, mengingatkanku pada sekumpulan puisi Muhammad Iqbal yang berjudul Asrar-i-Khudi. Dalam Asrar-I-Khudi, Muhammad Iqbal menjelaskan pandangan filsafatnya tentang diri pribadi dengan segala dimensinya. Apakah ada kesamaan AirMataDarah dan Asrar-I-Khudi? Entahlah, tapi AirMataDarah juga banyak bercerita tentang diri pribadi dengan segala dimensinya. Untuk satu contoh puisi pada AirMataDarah yang berjudul “DIRI” (hlm;61) di sana kita bisa menemukan bait-bait tentang pelajaran diri yang tertemukan:
“Usaikan dulu tentang pelajaran diri, kemudian
mulai belajar tentang yang lainnya. Sebab, insan
yang telah selesai belajar tentang dirinya, akan lebih
mudah mempelajari sesuatu yang beredar di luar diri”
Pada bait ini, sepertinya kak Sul memberikan kompas tentang diri bahwa tak ada pengenalan pada makrokosmos (alam semesta) tanpa sejak awal tak menyelesaikan pelajaran mikrokosmos (diri). Lalu di mana kita semestinya belajar menyelesaikan diri, Pada bait ke dua di situ kak Sul menjawab di sana; di sekolah kehidupan.
“Aku baru saja menyaksikan insan yang telah
menempu perjalanan,berproses untuk
menyelesaikan satu mata pelajaran tentang diri
di sekolah kehidupan”
Lalu sekolah kehidupan itu di mana? Kak Sul kemudian memberikan jawabanya pada bait berikutnya;
“Mata pelajaran diri, sumbernya boleh dari mana
Saja. Pola tingkah laku sosial, budaya, politik di
sekitar, bisa menjadi literaturnya. Sinar matahari,
cahaya rembulan, hembusan angin, desiran ombak,
aneka ragam tumbuhan dan binatang, akan dapat
mendukung proses itu”
Kemudian, kak Sul memberikan penanda kepada kita seperti apakah insan itu yang telah menyelesaikan pelajaran diri itu pada bait selanjutnya;
“Penanda insan yang telah selesai belajar tentang
Dirinya, insan akan selalu melihat dirinya pada
cermin diri makhluk lain. Tidak lagi bicara tentang
dirinya sendiri, tetapi selalu membincang keagunan
diri lain”
Pada bait terakhir, di sini sebuah konklusi perihal pelajaran diri yang telaj “selesai”. Saya seperti menemukan konklusi diri yang sama dengan apa yang pernah diutarakan oleh Muhammad Iqbal pada puisinya yang berjudul “Alam Semesta dan Kekuatan Diri”;
“Bila ke-pribadi-an bangkit mengatasi kesadaran
Diwujudkannya dunia ide dan pikiran sejati
Ratusan alam akan melingkup dalam intisarinya
Mewujudkan dirimu melahirkan yang bukan pribadimu”
Pada akhirnya, inilah pembacaan saya. Mungkin saja bagi pembaca yang lain menemukan yang lain pula. Ada teori yang pernah berbilang bahwa memang kita tidak pernah benar-benar bisa menangkap maksud pengarang seutuhnya. Kita tidak bisa menemukan makna sejati dalam artian makna pengarang pada teks yang tulisnya. Sebenarnya, apa yang saya tulis di atas yang mencoba mengurai salah satu puisi kak Sulhan Yusuf hanya sebatas penghampiran makna—kalau tak mau menyebutnya memproduksi makna sendiri....
Samata;
Dini hari, setelah pada senja hujan turun
Dingin tak terhindarkan
Untuk sang guru
Sang Inspirator
Sulhan Yusuf.
Makassar, 16 Maret 2015
Asran Salam
0 komentar:
Posting Komentar