Selasa, 31 Maret 2015

DION-MONOLOG



NASKAH MONOLOG AIR MATA DARAH
Penulis Naskah       : Dion Syaif Saen
Pemeran                 : Atte Shernylia Maladevi
Sutradara              : Yudhi Asman Pasauri
Musik Pengiring      : Ashok Komplen, Irsan Komplen

SIN I
(Sambil menatap slide, dia menahan sesak akan kejadian – kejadian yang seolah memaksanya untuk bicara agar semua orang tahu tentang apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya)
(Sesaat setelah proses penayangan slide)
Ini hari apa?
Ini pertanda apa? (bertanya ke penonton) apakah aku masih ingat akan kejadian memilukan di masa lalu?(mencoba bertanya pada dirinya sendiri)
Sepertinya………sepertinya, aku sudah mulai lupa semuanya. Yang tersisa hanya sepenggal tubuh leluhur…itupun hanyalah simbol belaka. Beserta sedikit ukiran – ukiran zaman yang sudah semakin dipudarkan pula. 
Apa nama peradaban ini?
Tolong bantu aku untuk mengingatnya, agar aku bisa mengabarkan pada kisanak yang juga sudah lupa akan tanah bertuah ini.
Apa nama hari ini? untuk apa kita sama – sama berada di hari ini?
Cukupkah hanya dengan melagukan dan mendentingkan lagu gugur bunga, lalu kita menangis haru bersama?
Tolong ingatkan aku, bantu aku untuk menyelesaikan kebuntuan ini. kebuntuan akan nama dan jargon yang semakin disuburkan sementara mengaburkan sesuatu yang lain.
(Duduk, sambil menggosok kedua matanya seolah ada yang menghalangi pandangannya)
Ada apa dengan mataku ini? ada apa dengan kedua bola mataku ini? bukankah aku telah banyak menyaksikan kejadian – kejadian di masa lalu, dan kemudian tiba – tiba aku hadir di sini tanpa tahu - menahu tentang hari ini.
Ini yang membuatku sangsi pada diriku sendiri, dan juga membuatku sedikit gengsi untuk mengakuinya.
Ada apa dengan mataku ini? kenapa pujian – pujian itu sulit untuk aku cerna, mengapa pujian – pujian itu sulit untuk aku tatap?
Sementara telah lebih dari sewindu lamanya aku menyaksikan sekumpulan ilalang mematung sepi, mereka hadir hanya sebagai pembeda yang selalu dibedakan.
Apakah harus aku manjakan pula kedua bola mataku ini? sementara ribuan mata memandangku nanar, ribuan mata memandangku tanpa mengerling sedikitpun seolah menelanjangiku.
Mereka menatapku dengan penuh kecemasan akan keterbatasannya yang kemudian akan menjadi petaka hidupnya.
Ada yang hilang mimpinya, ada yang dijamah kemudian dilupakan begutu saja. Seolah diberikan ruang kemudian dipuja. Itupun dengan pemujaan yang jauh dari kesan pemujaan keramat.
(Mencoba memperkuat pernyataannya )
Atau mungkin mending kita sama – sama menangis, agar kalian tahu betapa pahitnya air mata dan perihnya luka yang berdarah dan mengangah
(Berjalan dan kemudian menemukan kertas penuh darah)
Ini apa? Ini darah milik siapa?
Untukmu? Bukan… tentu saja bukan untukmu, karena ini untukku yang telah lama kering dengan air mata.
Ini darah yang sama dengan darahmu, darah ini adalah darah yang sama dengan darah yang mengalir di setiap lintasan nadi kehidupan. Kejujurannya sama dengan kejujuran nilai – nilai luhur para pendahulu kita.
Lalu mengapa yang tertinggal saat ini hanyalah nalar dan logika  kelas tinggi, nalar dan logika kelas elite yang suka pamer.
Hahahaha..
Ini hari apa? Ini zaman apa? (sambil tertawa sinis)

SIN II
(Berdiri dengan tegak sambil bertanya dengan penuh rasa khawatir)
Pantaskah kita tumbuh bagai ilalang yang mematung sepi? Tanpa kejelasan, tanpa komitmen yang bisa dijadikan penyanggah kehidupan yang sudah mulai kerontang ini, tanpa sepoi angina…… dan tanpa kau tengoooookkkkk lagiiiiiii.
Dan kemudian kisahmu akan terbit dalam halaman koran ternama, dalam artikel – artikel hebat, namaku kau tulis saja di sudut paling bawah dengan hururf – huruf kecil, lalu kubiarkan namamu yang terpampang jelas dan nyata dengan tulisan HURUF – HURUF KAPITAL yang TEBAL.
Dan dunia akan bersorak memujamu, lalu kami dis sini akan ditindih beban berat akan nama besarmu beserta ko..lo..ni..mu..
Atau mending begini saja, sejak kecil… semenjak kami kanak – kanak, kau giring kami ke tempat sunatan massal, lalu kau sunat kami beramai – ramai. Setelah itu kau suruhlah kami ikut lomba lari dan menunggui kami di garis finish. Dan kau berikan kami sebuah tepukan beserta sebiji permen untuk bersama. (sambil tertawa miris)
Hufftttttt… tenanglah diri..tenanglah (mencoba menenangkan diri)
Biarkan hari bergeser melipat rapi kebuasan, biarkan mereka memenjarakan pengetahuan, biarkan mereka mengerdilkan nilai, biarkan…biarkanlah..
Sebab kenapa? Sebab bagiku mereka hanyalah akan terbang mengepak bagaikan balon sabun, yang sebentar lagi akan hancur oleh RE TO RI KA dan TE O RI besar yang mereka buat sendiri

SIN III
(tiba – tiba menatap tajam ke penonton dan bertanya)
Apa ? apa katamu? Coba ulangi lagi ! (memasang telinganya dengan baik seolah ingin mendengar apa yang dikatakan penonton)
Kalian masih saja bertanya ini hari apa.. kalian masih saja bertanya ini pertanda apa?
Dengan lantang kukatakan bahwa hari ini adalah hari berkabung akan runtuhnya PENGETAHUAN.
(sambil menunjuk slide) lihat ini…. lihat ini pertandanya.
Masihkah kalian punya mata ? masihkan kalian punya rasa ?
Masihkah kalian punya sedikit rasa khawatir ? jika tidak, maka akulah orang yang pertama kali akan mengatakan bahwa KETIDAKWARASAN  ini sudah menjadi virus.
Virus yang telah membuat kita lupa akan kebiasaan – kebiasaan bersinergi dengan alam. Kebiasaan – kebiasaan bercengkrama dengan cakrawala, bersinergi dengan alam, dan kebiasaan – kebiasaan memunguti ranting demi ranting pengetahuan.
Bukan dengan memilih diam dan sama – sama menangis dengan mengeluarkan AIR MATA DARAH.

SIN IV
(dengan nada yang mempertegas)
Ya … AIR MATA DARAH, karena air mata bening sudah tidak ada, air mata bening sudah kering, air mata bening sudah habis (dengan penuh haru dan menangis menatap kedua tangannya)
Yang tersisa hanyalah kekuasaan yang berhamba, pertanda KE PU CA TAN SEJARAH.
Lalu apa pilihan kita?
Aku memilih menghiasi kepucatan itu dengan manik – manik ide dan cerita dalam setiap tegukan kopi yang kuminum di beranda literasi.
Seberapa dekatkah kita dengan dunia baca ? seberapa sukakah kita dengan dunia sastra ? dunia menulis ?
Apa yang kelak akan kita wariskan pada anak cucu kita?
Jangan hanya membangun raga yang indah dengan fisik yang tinggi menjulang, sementara bangunan jiwa kita lupakan. Bangunan jiwa anak cucu kita tidak terpinggirkan. Alangkah eloknya jika jiwa mereka dibangun dengan nilai – nilai luhur para leluhur yang harus dilestarikan dan dipertahankan di tanah bertuah ini.
Peradaban ini sudah lama, peradaban ini sudah tua dan hampir punah. Seiring dengan runtuhnya ingatan kita tentang pau – pau turiolo yang termuat dalam kitab LONTARA BILANG.
(sambil diiringi pukulan gendang TUNRUNG TALLU)
Dikisahkan percakapan To Manurunga dengan tujuh Kare yang pada saat itu tengah melamar To Manurunga menjadi Karaeng Bantaeng
To Manurunga berkata : “Ero’ja nuangka’ anjari KARAENG, mingka I nakke pa anging na I kau leko’ kayu, I nakke pa je’ne’ massolong na I kau sampara mamanyu’”
Ni ta’goki kananna To Manurunga ri Kare Bissampole, na na paumi : “Kutarima Pa’pala’nu, mingka kualleko pammajiki tangkualleko pangngodi, kualleko tambara’ tangkualleko racung.
Lalu tersungkurlah Kare Bissampole sambil berlutut ke tanah, di tariknya SELE’ nya sambil berkata “ inne kanangku lanjari sabbi riallo ri boko, I nai ampilari kananna I nakke ka iareka I kau. Na punna I kau inne cappa’na sele’ ku a’ribbaki mange ri kau, na punna I nakke, inne cappa’na sele’ku a’ribbaki antama’ mange ri nakke”

Tamat ………………….

0 komentar:

Posting Komentar