Sulhan , Puisi, dan Butta Toa
Hari ini, 27 Maret 2015, buku kiriman kak Sulhan Yusuf tiba di rumahku. Buku ini terbang beribu-ribu kilometer dari makassar ke Pulau Biak di Papua. Aku pantas mengucap syukur karena tiga hal.
Pertama, buku ini sedikit mengobati kerinduanku pada kak Sul, demikian ia akrab disapa. Lelaki berkepala plontos ini adalah mentor terbaikku dulu ketika masih menjadi aktifis mahasiswa. Dari tutur dan teladannya aku dulu belajar berorganisasi, bernegoisasi, dan berakulturasi. Bergabung dalam kafilahnya saat itu sukses melejitkan rasa percaya diriku sebagai mahasiswa miskin dari kampung dan kesulitan mencapai IPK tinggi. Meski, disatu titik, perbedaan pemahaman politik diantara kami membuat kami harus berpisah di persimpangan jalan, hingga saat ini, kak Sul tetaplah mentor terbaikku.
Kedua, buku ini mengembalikan ketertarikanku pada puisi. Selama bertahun-tahun terakhir ini, aku malas membaca apalagi menciptakan puisi. Padahal, tanpa bermaksud sombong, sejak masih mahasiswa dulu aku cukup akrab dengan puisi dan karya sastra lainnya. Aku cukup akrab dan bisa menikmati karya-karya Abdul Hadi WM, Danarto, Sutardji Chalzum Bachri, juga terjemahan karya Jalaluddin Rumi, Ali Syariati. Bukan hanya itu, aku juga pernah mengkritik para penulis puisi yang menurutku hanya pandai memainkan kata tapi puisinya tak mampu memantik kesadaran pembacanya untuk menemukan hakekat penciptaannya. Kritik itu dimuat di harian Fajar tanggal 14 Pebruari 1993 dalam bentuk esei berjudul Puisi dan "Puisi". Tulisan itu sebenarnya buah dari kebencianku saat itu pada beberapa teman dari komunitas kesenian di makassar yang jago membuat puisi atau syair yg religius tapi setelah itu asyik masyuk dengan kemaksiatan dan meninggalkan shalat. Selanjutnya,aku tak seberuntung kak Sul dan teman-teman lain yang bisa tetap hidup dalam semangat literasi dan komunitas yg mendukung. Sementara aku harus merantau jauh ke tanah terjauh di timur negeri ini. Sebuah negeri yang masih tertatih mengecilkan angka buta aksara penduduknya. Membaca buku air mata darah ini membuncahkan gairah yang lama terpendam. Diriku ibarat biji yang menyudahi masa dormansinya karena menemukan miliu yang cocok. Meski tak serta merta puisi menjadi menarik,tapi aku sadar betapa banyak ayat-ayat Tuhan yang luput aku renungkan. Begitu banyak pertanda ilahi yang enggan aku tafakkuri. Begitu keringnya sujudku selama ini karena hanya fokus pada kaifiyat dan bacaannya. Alhasil, buku ini menyadarkan bahwa kata bukan sekedar alat komunikasi, tapi juga sarana berkontemplasi.
Ketiga, buku ini menjadi asbab aku bisa beramal karena menurut kak Sul seluruh hasil pembelian buku ini akan didedikasikan untuk aktifitas literasi di bantaeng. Bantaeng adalah tanah kelahiranku, tanah kelahiran ibu, kakek, buyut dan generasi awalnya. Meski jauh dan tak pernah tinggal di bantaeng, pesona tanah ini selalu terasa memanggilku pulang. Pantai, sawah, dan gunungnya tetap jadi pantai, sawah, dan gunung terbaik yg pernah aku lihat dan rasakan. Mungkin sudah saatnya aku berpikir untuk pulang ke Butta Toa, tempat dimana para "antoaku" lahir, hidup, berbakti, dan mati. ( biak, 27 Maret 2015 )
Hari ini, 27 Maret 2015, buku kiriman kak Sulhan Yusuf tiba di rumahku. Buku ini terbang beribu-ribu kilometer dari makassar ke Pulau Biak di Papua. Aku pantas mengucap syukur karena tiga hal.
Pertama, buku ini sedikit mengobati kerinduanku pada kak Sul, demikian ia akrab disapa. Lelaki berkepala plontos ini adalah mentor terbaikku dulu ketika masih menjadi aktifis mahasiswa. Dari tutur dan teladannya aku dulu belajar berorganisasi, bernegoisasi, dan berakulturasi. Bergabung dalam kafilahnya saat itu sukses melejitkan rasa percaya diriku sebagai mahasiswa miskin dari kampung dan kesulitan mencapai IPK tinggi. Meski, disatu titik, perbedaan pemahaman politik diantara kami membuat kami harus berpisah di persimpangan jalan, hingga saat ini, kak Sul tetaplah mentor terbaikku.
Kedua, buku ini mengembalikan ketertarikanku pada puisi. Selama bertahun-tahun terakhir ini, aku malas membaca apalagi menciptakan puisi. Padahal, tanpa bermaksud sombong, sejak masih mahasiswa dulu aku cukup akrab dengan puisi dan karya sastra lainnya. Aku cukup akrab dan bisa menikmati karya-karya Abdul Hadi WM, Danarto, Sutardji Chalzum Bachri, juga terjemahan karya Jalaluddin Rumi, Ali Syariati. Bukan hanya itu, aku juga pernah mengkritik para penulis puisi yang menurutku hanya pandai memainkan kata tapi puisinya tak mampu memantik kesadaran pembacanya untuk menemukan hakekat penciptaannya. Kritik itu dimuat di harian Fajar tanggal 14 Pebruari 1993 dalam bentuk esei berjudul Puisi dan "Puisi". Tulisan itu sebenarnya buah dari kebencianku saat itu pada beberapa teman dari komunitas kesenian di makassar yang jago membuat puisi atau syair yg religius tapi setelah itu asyik masyuk dengan kemaksiatan dan meninggalkan shalat. Selanjutnya,aku tak seberuntung kak Sul dan teman-teman lain yang bisa tetap hidup dalam semangat literasi dan komunitas yg mendukung. Sementara aku harus merantau jauh ke tanah terjauh di timur negeri ini. Sebuah negeri yang masih tertatih mengecilkan angka buta aksara penduduknya. Membaca buku air mata darah ini membuncahkan gairah yang lama terpendam. Diriku ibarat biji yang menyudahi masa dormansinya karena menemukan miliu yang cocok. Meski tak serta merta puisi menjadi menarik,tapi aku sadar betapa banyak ayat-ayat Tuhan yang luput aku renungkan. Begitu banyak pertanda ilahi yang enggan aku tafakkuri. Begitu keringnya sujudku selama ini karena hanya fokus pada kaifiyat dan bacaannya. Alhasil, buku ini menyadarkan bahwa kata bukan sekedar alat komunikasi, tapi juga sarana berkontemplasi.
Ketiga, buku ini menjadi asbab aku bisa beramal karena menurut kak Sul seluruh hasil pembelian buku ini akan didedikasikan untuk aktifitas literasi di bantaeng. Bantaeng adalah tanah kelahiranku, tanah kelahiran ibu, kakek, buyut dan generasi awalnya. Meski jauh dan tak pernah tinggal di bantaeng, pesona tanah ini selalu terasa memanggilku pulang. Pantai, sawah, dan gunungnya tetap jadi pantai, sawah, dan gunung terbaik yg pernah aku lihat dan rasakan. Mungkin sudah saatnya aku berpikir untuk pulang ke Butta Toa, tempat dimana para "antoaku" lahir, hidup, berbakti, dan mati. ( biak, 27 Maret 2015 )
0 komentar:
Posting Komentar