Rabu, 18 Maret 2015

Ismail Ridha

Rasa kantuk sungguh tak tertahankan. Apalagi sejak semalam, tak sedikit pun ada waktu buatku untuk sekedar berbaring. Pasalnya, sepulang dari Bedah Buku, "Dalam Pejaman Mata" yang telah dilaksanakan selepas Isya hingga pukul 23.30, saya langsung masuk kerja dan bertugas hingga pagi.
Tak jauh dari tempat kerja, sekitar pukul 09 pagi, saya menyempatkan singgah di kantor pos Pettarani untuk mengirim pesanan buku seorang kawan asal Kalimantan Timur. Transaksi berlangsung cepat tanpa antri. Sebab memang masih sepi. Lalu, pintu utama yang sepenuhnya terbuat dari kaca itu kembali terbuka. Saya menoleh. Kaget. Ada seorang lelaki masuk.

"Kak Sul?" Begitu saya menyapanya, terperanjat.
"Oh, antum di sini rupanya!" Sahutnya seolah sudah tahu akan bertemu.
"Iye' ustadz. Saya lagi mengirim buku juga!"
Tanpa basa-basi, beliau langsung mengeluarkan sebuah buku dari saku jaket hitamnya, berjudul "AirMataDarah". Sebuah buku yang telah lama saya tunggu-tunggu. Tapi tak pernah sempat menemui beliau. Tiap buka FB dan mendapati buku itu, kaki rasanya tak ingin berhenti terayun untuk segera melangkah ke toko bukunya.

Karenanya, ketika beliau menyodorkan bukunya kepadaku, tak kusiakan. Segera kugeledah tas ranselku berwarna hitam pekat. Mencari pulpen. Minta tanda tangan langsung dan berfoto bareng dengannya. Pertemuan ini, tentu bukanlah suatu kebetulan. Sebab, kuyakin, tak ada akibat yang berasal dari kebetulan-kebetulan itu.
Kami pun berpisah.

Di jalan, tak henti-hentinya senyumku bermekaran. Bahagia, tentu. Tak ingin rasanya saya melewatkan bacaan hasil buah tangan dari seorang yang kharismatik ini. Apalagi rasa kantukku telah terusir. Setiba di rumah, saya langsung mengutak-atik tebaran puisi/sajak yang penuh dengan petuah-petuah hikmah.
Disusun berdasarkan abjad. Di mulai dari huruf A sampai W. Sehingga tak sulit menemukan awalan huruf pada nama Anda ketika mencarinya. Misal, nama saya Ismail Ridha. Saya akan mengambil sajak dengan judul yang berawalan I dan R. Maka kutemukanlah untaian hikmah ini:


#‎Ironi‬
... Hanya karena engkau melempar sebiji garam ke laut, engkau sudah merasa menggarami laut. Sehingga semua rasa asin dari laut itu, seakan hasil jerih payahmu. ... (Hal. 79)
Seharusnya, malulah pada petambak garam, yang telah menghasilkan bermilyar biji garam, tapi tidak pernah merasa menggarami laut. (Hal. 80)


#‎Rintisan‬
... Berangkatlah ke tanah seberang
Jajallah segalanya ...
Bawalah kapak
Tebaslah yang layak
Buatlah tanda ...
Biar orang berikut menambatkan harapan
Pada jalan rintisanmu (hal. 141)

Di sini, saya kok merasa ditelanjangi ya? Tak ada jalan (kebaikan) yang dirintis, malah tak kutahu membawa kapak Haidar, tapi kemudian merasa diri orang yang paling tahu segalanya lalu berpikir sebagai hasil jerih payahnya, sepenuhnya.

Tapi, jangan-jangan nama-nama Anda juga akan dicatutkan dalam judul-judul alfabetis itu yang tak menutup kemungkinan ikut menelanjangi watak Anda. Atau justru, seperti kata kak Alto dalam "Sekapur Sirih"-nya, menjadi kutukan buat Anda. Sebuah kutukan yang lebih angker, lebih ngeri dari kutukan ibu Malin Kundang sekalipun. Sungguh, sebuah bacaan yang layak dijejali. Setidaknya, agar terbebas dari kutukannya, karena tahu diri!
Ismail Ridha
Makassar, 18 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar