Rabu, 18 Maret 2015

Atte Shernylia Maladevi

AIR MATA DARAH.
awal mendengar kabar tentang kelahirannya, bahagia tak terhingga.
Seolah menantikan kelahiran anak seorang karib, ya ..anak ruhani yg sudah sekian lama kami nantikan kelahirannya.
Setelah bertemu sang penulis, dengan senyum yg indah dan rasa bahagianya dia menyodorkannya padaku buah hatinya itu, sebuah buku berjudul AIR MATA DARAH.
Dengan mata berbinar karena haru, kuterima dengan penuh kebahagiaan dan rasa bangga. Apalagi langsung mendapatkan tanda tangan penulisnya beserta bonus doa di dalamnya.
Kami di komunitas Boetta Ilmoe merencanakan perhelatan buat si anak baru. Agar kelak kami bisa ingat masa - masa kelahirannya dan sebagai sebuah kebiasaan kami untuk merayakan setiap kelahiran anak ruhani dgn sebuah acara sederhana yang dibalut dengan rasa syukur yang luar biasa kepada Sang Pencipta.
Keberkahan demi keberkahan mengalir dari kelahirannya,
Aku yang dulunya mengalami kemunduran semangat dalam menulis akhirnya terpacu untuk menyelesaikan penulisan sebuah novel yg sdh setahun terbengkalai.
Tidak hanya itu,
Kesempatan pertama untuk membacakannya dalam sebuah perhelatan indah pun akhirnya diberikan padaku.
Ya, pagi itu aku membacakan 2 buah puisi dalam buku AIR MATA DARAH di dalam indahnya kedamaian hutan di Bantaeng.
Puisi berjudul Sampah dan Bumi.
Jelas terbaca maksud sang penulis, dia merunut kejadian demi kejadian yang terjadi dalam waktu yang berbeda.
Kalimat - kalimat yang diramu dalam pengalaman ruhaninya membuat pembaca seolah larut dan tidak jarang membawa akal dan rasa kita mencari tahu akan sosok siapa dan kejadian apa yang bersinggungan dengan kalimat dalam puisi - puisi itu.
Terlihat jelas kepandaian sang penulis dalam meramu katanya. Tidak membosankan dan berselera tinggi.
Kritikan - kritikan nya masuk akal, tidak berlebihan namun tepat pada sasarannya.
Di antara deretan puisi itu, ada 1 puisi yang sangat kuyakini itu untukku. Karena judulnya "titisan cinta leluhur" seperti judul novel pertamaku.
Ya, itulah pribadi sang penulis.. Selalu menghargai karya orang - orang terdekatnya. Selalu punya apresiasi untuk kami yang baru belajar menulis.
Hampir semua puisi bagaikan penanda akan kejadian dan hal - hal yang dialami dalam keseharian.
Dan puisi yang paling aku sukai adalah puisi yang berjudul PENDEKAR.
Disana sang penulis mengurai sosok seorang pendekar yang dibandingkan dengannya yang sangatlah jauh dari sosok pendekar yang di elu- elu kan banyak orang.
Aku mencium kritikan pedas penulisnya namun masih saja kalimatnya penuh etika dan sangat indah dimata dan telinga namun menusuk ke hati yang paling dalam.
Ya, sederhana namun luar biasa
Itulah AIR MATA DARAH
Seperti sosok penulisnya yang sangat jauh dari kesan WAH.
Namun memiliki kepribadian yang Megah buat kami.
Kanda Sulhan Yusuf,
Kami menanti karya - karya selanjutnya.
Salam hangat buat Sang Guru.
Barakallah.
Bantaeng, 17 Maret 2015
Atte Shernylia Maladevi


0 komentar:

Posting Komentar