Para Pembakar Buku
( Koran Tempo, 12 Maret 2015)
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Apa jadinya kemelataan hidup di bumi ini, jikalau saja umat
manusia tidak memiliki buku? Buku adalah sebentuk benda yang paling berjasa
dalam mengabadikan kumpulan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia inilah
yang membentuk peradaban. Maka jelaslah sudah, buku menjadi pilar penyangga
peradaban. Tidak sedikit suatu peradaban bangkit dan runtuh karena pengaruh
buku, sebab buku mempengaruhi pemikiran manusia, lalu lewat perubahan pemikiran
inilah manusia berubah dari waktu ke waktu. Dan, hingga kini buku masih
merupakan garda terdepan dalam melihat kemajuan peradaban suatu bangsa. Lalu
bagaimana manakala ada sekelompok orang membakar buku?
Selaku pegiat literasi saya sangat gundah akan peristiwa di bulan Januari-Februari
2015, ketika ISIS menjarah dan membakar buku perpustakaan Mosul. Sejumlah
laporan dari Irak utara mengatakan, kelompok militan yang menamakan diri Negara
Islam atau dulu disebut ISIS menargetkan serangan atas perpustakaan di kota
Mosul, Irak. Kantor berita Associated Press, AP mengatakan, kelompok
militan ini membersihkan sekitar dua ribu buku dari perpustakaan pusat Kota
Mosul. Sejumlah saksi mata mengatakan, anggota ISIS membawa pergi buku-buku
bertema filsafat, kebudayaan serta ilmu pengetahuan, tetapi membiarkan
buku-buku teks Islam tetap di atas raknya. Kelompok militan itu akan membakar buku-buku
yang mempromosikan ide-ide sekularisme, arsip surat kabar terbitan pada awal
abad ke-20, peta dan buku-buku peninggalan Kekaisaran Ottoman koleksi buku
hasil sumbangan warga Mosul. Seorang guru besar Sejarah Universitas Mosul, yang
tidak mau disebutkan namanya, mengatakan, diantara buku-buku yang dibakar
adalah arsip penting seputar sejarah kehadiran Gereja ortodoks yang berusia 265
tahun. Kota Mosul, salah-satu kota terbesar di Irak, selalu membanggakan bahwa
kota mereka merupakan kota pendidikan. Di kota ini banyak ditemukan situs
peninggalan Irak kuno dan berdiri banyak perpustakaan.
Sesungguhnya, pembakaran buku dalam dunia Islam bukanlah hal
yang baru. Jauh sebelumnya telah terjadi pembakaran buku dan pemusnahan
perpustakaan. Syaikh Idahram dalam bukunya Sejarah Berdarah Sekte
Salafi Wahabi, menguntai kalimat-kalimat; Selama Salafi Wahabi berkuasa di
Jazirah Arab, sudah terlalu banyak perpustakaan Islam yang mereka
bumi-hanguskan dan mereka bakar buku-bukunya, seperti pembakaran kitab-kitab
para ulama klasik ketika mereka memasuki kota Makkah. Di antara buku-buku yang
dibakar itu adalah kitab Dalail al-Khairat, Raudh ar-Rayyahin,
buku-buku mantiq, tasawuf, akidah, dan lainnya, yang tidak sejalan dengan
ajaran mereka. Inilah musibah besar ilmiah yang terjadi untuk ke sekian kalinya
menimpa umat Islam.
Lebih dalam lagi Idahram menukikkan penanya, di antara kasus pembakaran buku-buku, yang paling fenomenal adalah pembakaran buku-buku yang ada di perpustakaan Maktabah Arabiyyah di Makkah al-Mukarramah. Perpustakaan ini termasuk perpustakaan yang paling berharga dan paling bernilai historis. Bagaimana tidak, sedikitnya ada 60.000 buku langka dan sekitar 40.000 masih berupa manuskrip yang sebagiannya adalah hasil diktean dari baginda Nabi Saw kepada para sahabatnya, sebagian lagi dari Khulafaur Rasyidin yang empat, dan para sahabat Nabi lainnya. Di antara buku-buku dan manuskrip itu, banyak yang masih berupa kulit kijang, tulang belulang, pelepah pohon, pahatan, dan lempengan-lempengan tanah. Pada 1224 H, kembali terjadi musibah besar dalam hal warisan ilmu para ulama as-salaf ash-shalih. Tentara Salafi Wahhabi yang dipimpin oleh Ibnu Qamala melenyapkan perpustakaan Hadhramaut tanpa bekas, dengan membakar dan memberangus gedung beserta ribuan kitab-kitab yang ada di dalamnya. Kejadian tersebut mirip dengan penyerangan yang dilakukan Hulagu Khan terhadap perpustakaan yang ada di Baghdad.
Sejarah pembakaran buku di dunia, mulai dari zaman klasik hingga masa kiwari ini, sangat lugas paparan dari Fernando Baez. Melalui bukunya, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, disimpulkan bahwa bibliosida (penghancuran buku) dilakukan karena motif-motif ideologis dari masing-masing pengusung ideologi. Sehingga pergolakan sosial, yang mengusung ideologi tertentu, cukup berpeluang untuk membumi hanguskan anasir-anasir ideologi yang ditentangnya. Dan, biasanya buku dan perpustakaanlah sebagai sasaran empuk, sebab di sanalah pengetahuan ideologis itu tersimpat dan terawat.
Padahal menurut Ziauddin Sardar, seorang cendekiawan Muslim asal Pakistan menuturkan, tidak lebih dari seratus tahun setelah kedatangan Islam, industri buku maju pesat sedemikian, sehingga kaum Muslim menjadi ahl al-kitab dalam pengertian sebenar-benarnya kata itu. Karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bila pada dua abad berikutnya, industri buku tersebar sampai ke setiap pelosok dunia Muslim. Perpustakaan-perpustakaan (baik yang milik kerjaan, yang milik umum, yang berkoleksi khusus, maupun yang milik pribadi), took-toko buku (baik yang kecil, di lingkungan mesjid, maupun yang besar, di pusat kota-kota besar dan pojok-pojok tertentu dalam bazaar-bazar), dan insane-insan buku (para penulis, penerjemah, penyalin [copier], pelengkap naskah [illuminator], pustakawan, penjual buku dan kolektor buku) : kesemua peradaban Muslim berkisar di sekitar buku. Peradaban Islam adalah peradaban buku, demikian kira-kira maksud penegasan Sardar.
Menjadi anehlah manakala ada sekelompok yang mengaku Muslim, ingin mendirikan Daulah Islamiyah, tentu bermaksud pula menjayakan peradaban Islam, tetapi salah satu agenda terdepannya adalah membakar perpustakaan, memusnahkan buku-buku yang berisi perjalanan panjang pengetahuan umat manusia, hanya karena tidak selaras dengan paham keagamaan yang mau diterapkan. Mereka membakar buku, menghancurkan perpustakaan, berarti meruntuhkan pilar penyangga peradaban. Membakar buku sama artinya membakar pengetahuan. Padahal, selayaknya pengetahuan bukan untuk dibakar, melainkan untuk didialogkan agar lahir lagi pengetahuan baru.
0 komentar:
Posting Komentar