Jumat, 12 Februari 2016

Dari Komunitas ke Institute


Seorang karib, Bahrulamsal, yang saat ini menggawangi Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar, selaku ketua kelasnya, pernah menuturkan hasil risetnya terhadap komunitas baju hitam, masyarakat Kajang Bulukumba. Satu poin penting yang saya ambil, bahwa masyarakat Kajang adalah masyarakat yang berupaya secara gigih menghadapi gelombang modernisasi. Maka, masyarakat Kajang pun membelah diri menjadi dua kelompok. Pertama, yang tetap memilih mempertahankan segala macam warisan tradisinya. Hidup sebagai masyarakat tradisional dengan segala tatanan bermasyarakat yang dianutnya.
 
Kedua, kelompok yang mencoba merespon dan beradaptasi dengan dunia luar. Berusaha hidup sebagaimana masyarakat sekitar pada umumnya. Dan, untuk membedakan keduanya, dibikinlah pagar demarkasi, wilayah adat dan luar adat. Masyarakat Kajang yang bermukim dalam kawasan adat tetap menjujnjung tinggi, memelihara tradisi hidup berkomunitas. Sebagai anutan hidup, rujukan pandangan dunianya, world view, nyaris tidak berubah sejak awal mula. Walakin hasil riset menunjukkan begitu banyak temuan yang bersifat misterius.
 
Sesungguhnya, masyarakat Kajang yang membelah diri seperti itu adalah suatu keharusan untuk tetap bertahan hidup berdasar pada nilai-nilai anutan. Serang kawan, Emha Alahyar (Mahbub), pegiat di Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, mengilustrasikan dengan sangat indah akan realitas itu. Bahwasanya, seekor kupu-kupu, demi kelanjutan generasi harus mengulatkan diri terlebih dahulu, lalu bertahan dalam selimutan kepompong, lalu ketika saatnya tiba, muncullah kupu-kupu yang indah sebagai makhluk baru.
 
Dua pijakan dasar dari kisanak saya itu, mungkin menjadi dasar untuk menjelaskan perkembangan mutakhir dari Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Sebab, di situasi kiwari ini, ada geliat baru yang nampak menghiasi dinamika hidup berkomunitas. Pada usianya yang ke-6, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan mencoba merespon perkembangan yang terjadi di luar komunitas, dengan cara beradaptasi secara mekanistis tapi tetap dengan semangat berkomunitas. Singkatnya, setelah mengulatkan diri, kemudian berkepompong, selanjutnya berkupu-kupu.
 
Maksudnya apa? Sebagaimana telah diketahui, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan yang lahir 1 Maret 2010, dengan tiga pilar: Toko Buku, Institute dan Komunitas telah mengkonsolidasikan diri dengan segenap tradisinya yang berwatak komunitas. Azas utama pengikatnya, kerelawanan (altruisme), solidaritas (setiakawan) dan compassion (welas asih). Azas itulah yang menjadi saridiri komunitas. Dari sinilah peluru-peluru program ditembakkan dalam berbagai macam bentuk kegiatan.
 
Program pelatihan, penerbitan, pagelaran adalah bentuk-bentuk umumnya, yang termanifestasi dalam pelatihan literasi, penerbitan buku, pagelaran seni budaya, ikut mendorong aktivitas komunitas lain yang senafas dengan, diskusi literasi, membuat rumah baca dan mengadvokasi rumah baca, sudut baca dan perpustakaan desa.
 
Kurun perjalanan selama lima tahun, amat banyak ajakan kerjasama dan tawaran program yang dialamatkan kepada Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Sayangnya, ini hanyalah komunitas, yang tidak mempunyai persyaratan-persyaratan formal, layaknya sebuah institusi yang distandarkan oleh pihak luar. Dan, inilah sejenis problem yang menjadi diskursus kurang-lebih setahun, antara adanya keinginan untuk memformalkan komunitas agar bisa bersentuhan langsung dengan pihak luar. Namun, komunitas menyepakati agar komunitas ini sebagaimana saja adanya, sejenis tempat kembali untuk merajut keliaran-keliaran para penyokong komunitas.
 
Walhasil, di usianya yang ke-6, disepekatilah sebuah institusi sebagai sayap untuk menyahuti kepentingan luar itu. Lahirlah Bonthain Institute, sejenis kupu-kupunya Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Maka inilah yang bakal terbang kesana kemari untuk menebar pesona, memberi keindahan, guna menyahuti keinginan berbagai pihak agar para penyokong Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan berkontribusi secara lebih taktis. Ini sejenis toleransi hidup di sebuah negeri yang amat sangat mengutamakan jaminan formalistik. Dan, memang demikianlah adanya, surat-surat kehidupan bermasyarakat sangat urgen untuk menopang peradaban literasi.
 
Saya sendiri ikut mensupport Bonthain Institute selaku badan pendiri. Hanya sampai di situ saja, tidak terlibat dalam urusan teknis, sebab sudah ada personil penanggung jawabnya. Diantaranya bung Rahman Ramlan selaku direkturnya. Saya tetaplah di Komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan selaku CEOnya, yang tetap seperti sediakala, tak punya surat-surat kelengkapan. Biarlah nilai-nilai itu yang menjadi suratan takdir bersama di Komunitas. Seorang kawan langsung nyelutuk penuh kelakar, “ kalau di Kajang ada Ammatoa, maka di Komunitas ada CEO, keduanya menjadi penjaga tradisi”.
 
Bonthain Insiitute, seumpama kupu-kupunya Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, yang saya umumkan pada Milad ke-6 Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan kelahirannya, adalah sejenis hadiah terbagus sebagai persembahan dari Komunitas untuk masyarakat. Agar komunitas dan masyarakat bisa bersinergi, maka diperlukanlah institusi sosial sebagai jembatannya. Jadi, inilah strategi komunitas literasi untuk masyarakat literasi. Bukankah tagline Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan selama ini adalah: Bantaeng Menuju Masyarakat Literasi. Kehadiran Bonthain Institute adalah jawaban strategisnya. Dan, ini bermakna pula, dari komunitas ke institute.
 
Langkah kongkrit pertama dari Bonthain Institute adalah melaksanakan rapat kerja pada tanggal 7 Februari 2016. Menurut informasi -- masih perlu penegasan lagi -- dari direkturnya, bung Rahman Ramlan, waktunya pukul 14.00 bertempat di kisaran markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Lamalaka. Di kawasan Lamalaka ini banyak tempat persamuhan yang bakal memancing lahirnya pikiran-pikiran bernas. Dan, saya tak punya kuasa untuk menentukannya, biarlah para penopangnya yang menentukan lebih jauh tehnisnya.

0 komentar:

Posting Komentar