Jumat, 12 Februari 2016

Kembali ke Labbo


Ini sekadar mengadaptasi judul tembang lawas Koes Plus, Kembali ke Jakarta, dengan mengganti Jakarta menjadi Labbo. Apa itu Labbo? Ia hanyalah salah satu desa di Kabupaten Bantaeng. Ya... Desa Labbo, saya kembali ke Labbo, setelah sekian lama tak mengunjunginya, sekitar tiga tahunan. Padahal, desa ini tersimpan rapi di peta batok pikiran saya dan terpahat kuat dalam sudut hati saya. Masih ingat tulisan saya bertahun yang lalu? Tentang desa ini, dengan tajuk: Mari Belajar ke Desa Labbo.
 
Pada tulisan itu, saya membabarkan perkembangan Desa Labbo, khususnya perestasi di bidang literasi, dimana perpustakaan desanya menjadi garda terdepan untuk dijadikan sebagai percontohan perpustakaan desa secara nasional. Dan, perpustakaan desa ini menjadi juara dua lomba perpustakaan desa se provinsi Sulawesi-Selatan. Menurut desas-desus, seharusnya juara satu, tapi ada faktor X yang mengganjalnya. Bagi saya, tidak penting berdebat posisinya, yang terpenting adalah perpustakaan ini masih eksis hingga detik ini.
Kembali ke Labbo, ya... saya kembali lagi atas ajakan kepala desanya yang baru, bung Sirajuddin Siraj. Beliau barulah setahun lebih menjabat. Dan, hubungan saya dengan beliau tergolong dekat, beliau adalah junior saya di organisasi daerah, Koskar PPB dan HMI-MPO Makassar. Seperti juga kepala desa sebelumnya, Subhan Yakub, juga junior saya. Jadi, untuk urusan melibatkan diri dalam membangun perpustakaan desanya bukanlah hal yang rumit.
 
Sesarinya saya menikmati liburan Imlek yang kali ini jatuh pada hari Senin, 8 Februari 2016. Tapi, karena permintaan untuk merevitalisasi kembali perpustakaan desa didapukkan pada saya, maka saya tangguhkan liburan Imlek ini. Saya meluncur ke Labbo, masih pagi sekali, dan sebelum sampai, singgah dulu di Ereng-Ereng, tepatnya di sebuah komunitas literasi, Sudut Baca Al-Syifa. Melakukan silaturrahim, berbincang dengan pengelolah, sambil minum secangkir kopi pahit asli Ereng-Ereng dan sepiring pisang goreng.
 
Sekitar pukul 10.00 pagi, saya sudah tiba di areal kantor Desa Labbo. Saya tidak langsung ke aula pertemuan, melainkan saya menyusup masuk ke gedung perpustakaan Fajar Desa Labbo. Memang demikian adanya, bangunan perpustakaan desa sudah terpisah dari kantor desa. Dulu, waktu pertama sekali saya datang, hampir sepuluh tahun yang silam, masih menyatu dengan bagian kantor desa. Belakangan, di periode kedua Subhan Yakub sebagai kepala desa, ia telah membangun gedung tersendiri. Dalam perpustakaan desa yang saya susupi itu, semuanya masih seperti pada kunjungan saya yang terakhir.
 
Bung Sirajuddin Siraj, sang kepala Desa Labbo, langsung menyambut saya dengan ramah, penuh senyum sumringah. Warga yang hadir pun demikian, menebarkan senyum ke saya sebagai penanda kebersediaan menerima kehadiran saya. Sebagian besar dari warga itu saya kenali, begitu pun sebaliknya, hampir semuanya mengetahui sepak terjang saya selaku pegiat literasi. Seperti yang saya tuturkan, bahwa kehadiran saya di Desa Labbo ini, atas undangan sang kepala desa untuk semakin memperkuat keberadaan perpustakaan desa, yang bakal membuka cabangnya ke enam dusun di wilayah administratif Desa Labbo.
 
Acara kali ini berbentuk pelatihan, dengan tajuk acara: Strategi Pengelolaan Perpustakaan Desa yang Berorientasi Budaya Literasi. Peserta yang hadir, kurang lebih 40an orang dengan latar belakang pustakawan desa, pustakawan SD, MTs dan MA yang ada di wilayah Labbo. Tak ketinggalan pengurus Karang Taruna dan beberapa kaum muda potensial Labbo, yang tergabung dalam berbagai organ kemasyarakatan. Jujur saya tabalkan, bahagia sekali rasanya berbagi pengetahuan dengan mereka, sebab saya menganggap bahwa mereka, para peserta itu adalah para penjaga peradaban yang bermukim di pelosok desa.
 
Hampir empat jam saya habiskan dalam pelatihan itu. Saya senang sekali, karena aparat desa, mulai dari kepala desa dan sekretarisnya, beserta aparatus lainnya ikut mendengarkan. Ini penting, agar nantinya, paska pelatihan banyak yang bisa dikoneksikan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang bakal diputuskan, berkaitan dengan pengembangan Perpustakaan Fajar Desa Labbo. Saya mendedahkan materi sajian, mulai dari filosofi mengapa kita harus punya perpustakaan, isi atau koleksi perpustakaan, hingga program-program kerjanya.
 
Di pucuk acara pelatihan, saya sabdakan pada mereka, bahwa saya bakal datang lagi untuk mewujudkan program-program yang bisa kita tunaikan secara bersama. Sebut saja salah satu program yang akan saya wujudkan, Pelatihan Literasi, yang didalamnya akan memberikan sajian bagaimana membaca sebagai sebuah kebutuhan dan menulis sebagai terapi jiwa. Selain itu, saya juga menjanjikan kepada mereka hendak mendatangkan penulis, berdiskusi dengan pengarang, sambil membedah karya-karya mereka. Dengan begitu, saya berharap perpustakaan Desa Labbo ini selalu menjadi terdepan dalam unjuk tradisi literasi, seperti halnya motor Yamaha, yang selalu menyatakan dirinya terdepan dan semakin di depan.
 
Boleh saja di antara kita ada yang tidak percaya, bakal terwujudnya program-program itu. Namun, bagi saya, ada optimisme yang membuncah. Sebab, kapasitas tradisi literasi kepala desanya lebih dari cukup, ditambah lagi dengan fasilitas yang ada, sumberdaya manusia pengawalnya tersedia, semuanya mendukung proses perwujudan program perpustakaan desa. Apatah lagi, sebagai langkah awal, sang kepala desa telah menambah koleksi buku, melakukan pembelian buku lewat ADD, dan berjanji akan mengucurkan lagi dana untuk meningkatkan fasilitas pendukung perpustakaan.
 
Sekitar pukul 16.00, jelang sore, saya beranjak meninggalkan Desa Labbo. Kabut menampak, hujan rintik-rintik mengiringi kepulangan saya. Dengan motor yang dipinjamkan oleh seorang karib, saya menikmati liukan tikungan jalan penurunan. Banyak yang tersisa dari setiap tapak jalan yang saya lewati, kenangan demi kenangan berhamburan menyeruak, mengingat-ingat tahun-tahun silam, kala merintis tapak-tapak gerakan literasi di Labbo. Hujan yang mengguyur, apatah lagi kalau sekadar merintik, taklah kuat menghapus jejak literasi itu. Jejak literasi yang saya tapakkan, tidaklah seperti daki yang melengket di kulit, begitu mandi hilanglah pula.

0 komentar:

Posting Komentar