Berulang kali saya dengar tentang legenda-legenda di seputaran sesosok ulama legendaris asal Gowa-Makassar, Syech Yusuf. Tentang keramat-keramatnya maupun sepak terjang kejuangannya dalam melawan kolonial Belanda. Namun, yang selalu terpatri di benak saya adalah legenda beliau yang bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Kekeramatan ini, sudah amat mafhum di masyarakat yang bersuku makassar-bugis. Bahkan, bila pikiran kita melompat, maka salah satu bukti asumsinya, yakni terdapatnya, paling tidak tiga kuburan beliau. Di Afrika Selatan, pulau Jawa dan Gowa.
Sesungguhnya, tidaklah mengherankan. Saya ajukan analogi sederhana saja. Bukankah saat ini, terlalu banyak orang yang bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama? Tengoklah para penceramah di televisi. Para penceramah kondang, yang jadi rebutan beberapa chanel televisi, biasanya menyiarkan penceramah yang sama, pada waktu yang sama, tapi berbeda chanel. Itu semua bisa terjadi, berkat capaian teknologi komunikasi yang makin canggih. Meski tidak persis sama, antara kasus penceramah dan Syech Yusuf, sekali lagi, ini hanya analogi. Fungsi analogi tidak lebih dari upaya memudahkan yang rumit.
Gara-gara legenda kekeramatan Syech Yusuf ini, saya menjadi bulan-bulanan terhadap diri sendiri. Pasalnya, ingin sekali rasanya seperti beliau, bisa berada dalam tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Apa motifnya? Walakin saya ini bukan orang penting, tapi saya suka mementing-mentingkan diri. Suka mencari-cari kesibukan. Sok ingin kesana-kemari. Apatah lagi, bila didapuk untuk menyahuti sebuah persamuhan, perhelatan ataupun acara-acara lainnya, yang waktunya tabrakan. Padahal ingin sekali menyanggupi, untuk berada di setiap acara itu. Berkali-kali saya mencoba mencari guru tarekat yang bisa memenuhi harapan saya ini. Suatu ilmu yang bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Persis semisal Syech Yusuf.
Ambil saja sekadar contoh kesibukan saya akhir pekan ini, Sabtu-Ahad di penghujung Januari 2016. Guna menunjukkan bahwa saya memang butuh ilmunya Syech Yusuf. Pagi masih semenjana teriknya, saya sudah ke terminal Mallengkeri Makassar, cari angkutan umum, mobil langganan saya ke Bantaeng. Tiba di Bantaeng bertepatan dengan tergelincirnya surya, kira-kira setengah satu siang. Baru saja melepas penat, seorang karib dari seberang pulau, tepatnya dari pusat kota metropolitan, Jakarta, menelpon saya, yang tidak sempat saya dengar. Akhirnya, saya telpon balik. Dan, karib saya ini, yang baru saja meraih gelar doktornya, Din Mandar (DR. Syafinuddin Al-Mandari) mewartakan bahwa ia sementara ada di Makassar. Allamak... ini bencana bagi saya.
Mengapa? Soalnya, saya lagi butuh-butuhnya akan karib ini. Saya lagi memburunya untuk minta prolog buat buku yang bakal terbit, Rumahku Duniaku, yang dianggit oleh bu Uli (Mauliah Mulkin). Pastilah bakal tidak ketemu, walau bisa kontak-kontakan. Tapi, bagi saya, tatap muka adalah barang antik yang sangat sulit kita dapat di era serba praktis proses komunukasi. Suaranya, tidaklah mewakili keutuhan ekspressi raut mukanya kalau beliau memberikan wejangan. Di pucuk peromongan, saya berharap pada beliau agar mampir esok hari, Ahad 31 Januari 2016, untuk silaturrahim dengan para murid Kelas Literasi Paradigma Institute. Setelahnya, saya langsung kontak sang ketua kelas, Bahrulamsal, mendapuknya untuk segera berkoneksi dengan beliau mengatur persamuhan.
Saya tinggalkan sejenak dulu cerita yang di Makassar. Saya mau lanjut yang di Bantaeng. Dengan beriring segenap kegalauan pikiran, kecamuk perasaan, saya lalu menuju markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, untuk menuntaskan agenda yang telah dijadwalkan. Sekitar pukul 15.00, sesudah shalat Ashar, ada pak Saenal Asri dan istrinya yang memang amat setia menjaga markas kami. Dan, satu persatu karib datang. Muncullah bung Emha Alahyar, bu Yosi Kifni Chaniago, Dion Syaif Saen dan Bu Atte Shernylia Maladevi. Persamuhan ini membahas persiapan Bantaeng Literasi Festival (BLF) dan Kelas Inspirasi Bantaeng (KI-B). Di selanya, kami menyanyikan lagu happy birthday secara spontan, sebab salah seorang dari kami ulang tahun, bu Atte Shernylia Maladevi. Acara sederhana, namun memadai untuk membahagiakannya, paling tidak dari tutur pendakuannya.
Selepas maghrib, malam minggu mulai mencubit cari perhatian. Selalu saja menawarkan sensasi sebagai malam istimewa. Lalu sensasi itu benar-benar mewujud. Seorang komisioner KPU Bantaeng, Hamzar Hamna merapat ke markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Tidak lama kemudian, seorang mantan anggota DPRD Bantaeng yang kini memangku selaku Kepala Desa Labbo Bantaeng, Sirajuddin Siraj mengada pula. Terjadilah diskusi-diskusi tak bertema, namun menajam pada maraknya perbincangan kandidat bupati Bantaeng, yang kemudian nyerempet pula pada gerakan literasi.
Hasrat baik pun menaungi kami. Sensasi malam Minggu mengajak kami bergeser ke areal kuliner di Pantai Lamalaka Bantaeng, lokasinya memang hanya berdepanan dengan markas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan. Perbincangan makin mengular tak berujung. Dan, di sela-sela perbincangan, Dion Syaif Saen bergantian Hamzar Hamna melantunkan lagu yang disediakan oleh cafe. Andaikan Kau Datang, tembang lawas Koes Plus pun didendangkan oleh Dion Syaif Saen. Ia tahu betul selera saya. Di manapun dan acara apapun, kalau ada unsur nyanyinya dan saya ikut denganya, pastilah lagu ini ditembangkan.
Kira-kira setengah sebelas kami bubar. Sebelum bubar, Kepala Desa Labbo, Sirajuddin Siraj, ke kasir menuntaskan hajatan. Sebelum pisah, saya mengingatkan kembali, pentingnya mencari variasi baru model pengelolaan Perpustakaan Desa Labbo. Mengingat perpustakaan ini adalah perpustakaan garda depan di Bantaeng, sebab menjadi contoh perpustakaan desa secara nasional. Dan, lain lagi Hamzar Hamna, ia mengingatkan saya akan acara esok, Ahad 31 Januari 2016, mengisi materi pelatihan di acaranya BKPRMI Bantaeng. Okedeh...sip, saya mengiyakan.
Matahari enggan menampakkan diri. Lebih mementingkan awan untuk mementaskan keindahannya. Dan, setelah itu, awan menyilakan hujan untuk merintik. Basahlah kota Bantaeng walau seadanya. Sekadar merapatkan debu untuk bersetubuh kembali pada tanah. Tepat pukul 09.00 pagi, saya meluncur menunaikan ajakan Hamzar Hamna semalam. Dengan motor yang dipinjamkannya, saya menempuh perjalanan, menaklukkan tanjakan-tanjakan yang semadya tingginya. Memang lokasi pelatihan kali ini adalah jalan poros menuju ke pegunungan.
Desa Bonto Mate’ne, tepatnya kampung Moroa tempat pelatihan digelar. Saya tiba di lokasi sekitar pukul 09.30. Rupanya, acara pembukaan baru saja dipersiapkan. Saya pun menikmati acara pembukaan. Pelatihan BKPRMI atas Remaja Mesjid se-Moroa ini di buka oleh Kepala Desa. Terus terang, di acara pembukaan, konsentrasi agak terpecah. Betapa tidak, dihadapan saya, ada bosara, yang berisi kue-kue tradisional. Salah satunya adalah apang paranggi, kue kesukaan saya. Kue ini terbikin dari tepung beras ketan dan gula merah. Amboi, nikmatnya... langsung saya sabet setelah protokol menyatakan acara istirahat.
Tepat pukul 10.10, saya didapuk untuk mengantarkan materi pelatihan yang bertajuk: Cara Belajar Dahsyat.
Kandungan materi ini lebih mengarah pada pengenalan cara belajar yang berbasis pada cara kerja otak dan sekaligus menggambarkan kecerdasan majemuk. Peserta yang ikut cukup beragam, mulai dari siswa SLTP, SLTA, Mahasiswa dan Sarjana. Dan, beberapa orang siswa SD yang ikut nguping. Beragamnya jenjang pendidikan peserta, merupakan tantangan tersendiri bagi saya. Bagaimana menerapkan metode pelatihan yang bisa memenuhi hasrat keingintahuan mereka, di situlah letak tantangannya.
Pukul 12.00 siang lewat beberapa menit, presentasi saya selesai. Tapi sebelum saya benar-benar mengakhiri perbincangan, terlebih dahulu saya menghadiahi dua orang peserta yang bertanya dengan buku: Titisan Cinta Leluhur, buah karya bu Atte Shernylia Maladevi. Dan satu lagi saya berikan ke salah seorang peserta yang saya nilai minat bacanya lagi moncer. Penandanya, dia lagi membaca sebuah novel berjudul: Dylan. Saya mengapresiasi semangat bacanya, lalu tak lupa mengajaknya untuk senantiasa bertandang ke Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan.
Sehabis shalat dhuhur, saya diajak oleh panitia untuk makan siang di rumah seorang warga. Nafsu makan saya agak menggila. Di hadapan saya sudah tersaji, kari kepiting, sayur daun ubi dan sambel petai. Sejujurnya, semua jenis makanan itu adalah pantangan saya yang sementara belajar diet atas penyakit asam urat, yang mulai minta kamar di tubuh saya. Asam urat mulai indekos, di lutut dan sesekali ke telapak kaki, lalu bertengger di ujung jari kaki. Karena dia mulai numpang, maka ia pun minta jatah. Dengan memakan semua yang tersaji itu, sama artinya saya telah melunasi jatah yang diminta oleh asam urat. Memang, asam urat ini, sejatinya bakal menjadi sahabat setia saya.
Jelang Ashar, saya pulang ke kota. Istirahat sejenak. Ada niat untuk menikmati senja di Pantai Seruni Bantaeng. Saya pun bergerak ke sana. Tengok sana-sini, cari-cari kawan yang bisa bincang bareng sambil menikmati sajian-sajian kuliner yang menjamur. Saya pun kembali pada kebiasaan saya, mengontak karib yang masih jomblo, Dion Syaif Saen. Ternyata, dia lagi di rumahnya, lagi suntuk dengan arsiran beberapa lukisannya. Saya pun mengarahkan motor ke rumahnya. Hingga hampir pukul 21.00, barulah saya pamit pada Dion Syaif Saen. Selama di mukimnya, saya agak intim berbincang, sesekali saya bacakan puisinya Soni Farid Maulana, sambil memandang tajam pada lukisan-lukisannya, yang kesemuanya lukisan perempuan.
Dari rumah Dion Syaif Saen, saya langsung pulang ke rumah. Oleh saudara saya ditawari makan malam dengan menu ikan tembang. Saya langsung saja mengokekan, tapi saya harus bakar sendiri. Sebuah tantangan yang amat ringan. Setelah makan, duduk-duduk sejenak nonton televisi, akhirnya tertidur hingga subuh. Pasca shalat Subuh, mempersiapkan segala keperluan untuk balik ke Makassar, termasuk mengemas kue ulang tahun pesanan Javid Morteza, yang dibikinkan oleh tantenya. Seperti biasa, pukul 06.00 pada penghujung Subuh, mobil langganan datang menjemput, buat memulangkan ke Makassar.
Sekarang tibalah saya di Makassar. Rupa-rupanya, di akhir pekan ini pada mukimku yang sekaligus sebagai markas Paradigma Institute, tidak sekadar berlangsung Kelas Literasi. Selain kedatangan Din Mandar yang memberi pencerahan di kelas literasi, tak terduga pula ada karib lain, Muhammad Chozin Amirullah, Staf khusus Mendikbud, yang bertandang ke markas, sekaligus mengadakan persamuhan dengan para ibu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Muslimah (FKM) Makassar. Banyak yang diresolusikan oleh persamuhan ini, baik di kelas literasi maupun FKM, yang keduanya tak bisa saya ikuti. Padahal, semuanya menjadi amat penting bagi saya.
Keseringannya saya tidak berada di mukim, sebagai markas Paradigma Institute, padahal banyak acara penting, dan tamu penting yang datang, menyebabkan saya gusar, segusar-gusarnya. Pada titik inilah, urgensi ilmu dari legenda Syech Yusuf mendesak untuk saya miliki, bisa berada pada tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Bukankah saya ingin ada di Bantaeng dengan seabrek agenda acara dan tetap mewujud di mukim untuk mengawal kegiatan-kegiatannya? Benar-benarlah saya butuh ilmu kanuragan ini, bukan untuk mengkeramatkan diri, tapi sebuah jalan keluar dari rasa ingin memenuhi semua kemauan yang terbatas kemampuannya. Inilah realitasnya, karena saya adalah Sulhan Yusuf, bukan Syech Yusuf.
0 komentar:
Posting Komentar