Dari uminya Javid terlontar jawaban, prihal persediaan kopi yang makin menipis. Pada toples kopi yang sempat saya intip, memang sudah hampir mendekati dasar pantat toples. Berarti, besok kopi mungkin akan habis. Bagi saya, dan juga beberapa orang di rumah, ini sejenis "gempa" manakala persediaan kopi habis dan belum ada pasokan dari kampung. Memang sedianya akhir pekan ini aku mau ke Bantaeng, menuntaskan beberapa urusan, tapi urusan yang paling penting untuk saya bawa ke sana belum tuntas, maka saya surutkan hajat dan entah berapa hari ke depan baru bisa terwujud.
Memang ada masalah sedikit sebulan terakhir ini di rumah. Pasalnya, berjebah waktu yang lalu, aku hanya peminum tunggal kopi. Belakangan, mulai ada saingan. Uminya Javid mulai ikut menikmati kopi, nyaris sama dengan saya. Yang lebih dahsyat lagi, putri pertama saya pun sudah mulai menikmati kopi, bahkan nyaris lebih kental dari kopi saya. Ini benar-benar ancaman serius bagi saya selaku peminum tunggal. Dan, benar saja, jatah yang seharusnya saya siapkan untuk sebulan, dalam dua pekan terancam habis. Yang lebih menyulitkan lagi, sebab kopi saya ini, harus saya beli di kampung, namanya kopi Ereng-Ereng. Dalam petualangan saya meminum kopi, sisa jenis kopi inilah yang masih ramah dengan lambung saya, yang lainnya sudah menimbulkan efek samping, mual.
Akhirnya, solusi yang terpikirkan malam ini adalah segelas teh, agar esok hari dan sehari setelahnya masih bisa minum kopi, sambil menunggu pasokan dari kampung. Pada alternatif minum teh inilah yang tak terduga bagi saya. Ternyata, yang membuatkanku segelas teh adalah Javid, putra saya yang sementara masih duduk di kelas 3 SD. Dimasaknyalah air dan kemudian tehnya dimasukkan dan tentu pelengkapnya seiris jeruk nipis sebagai penyedap seperti permintaan saya. Walhasil, setelah Javid tuangkan dalam gelas, rupanya gelas itu tidak penuh. Taksirannya meleset antara air yang dimasak dengan besaran gelas yang mendekati jumbo.
Berkatalah Javid kemudian, " wah gelasnya tidak penuh". Saya kemudian mendekatinya, mungkin Javid merasa bersalah, atau paling tidak kurang sreg dengan buatannya. lalu ia sambung lagi tuturnya, sebagai usulan jalan keluar, "abi, kita pakai gelas yang lebih kecil saja, biar penuh." Sebuah jalan keluar yang cukup lantip bagi seorang anak seusia dia. Berhasil memenuhkan gelas, artinya tersedia segelas teh, dan pada saat yang sama berarti telah memenuhi harapan saya, segelas teh harum rasa kecut manis. Javid dan segelas teh seduhannya ini, menunjukkan dirinya sebagai anak lantip dalam mencari jalan keluar.
Sejatinya memang, kelantipan seorang anak mesti diberi ruang untuk tumbuh berkembang. Ibarat tanaman, perlu dipersiapkan lahan yang subur, memupuknya dan mencegahnya dari berbagai macam ancaman hama penyakit dan tangan-tangan jahil yang bakal mengkerdilkan pertumbuhannya. Suasana rumah yang memberi ruang kelantipan teraktuil, sesungguhnya, inilah salah satu tujuan dari hadirnya pendidikan informal yang bertumpu pada keluarga.
Akhirnya, pada pucuk-pucuk waktu yang menggelinding, ketukan-ketukan jam dinding berpacu dengan hentakan-hentakan suara keyboard, editan tulisan saya pun meluncur, lancar selancar peselancar yang berburu angin, secepat seruput tegukan teh yang mengalir ditenggorokan saya. Tindakan solutif dari seorang anak lantip dan hasil editan yang mewujud menjadi buku nantinya, bakal semakin melantipkannnya, tatkala Javid membacanya di masa datang. Kelak, kala usianya berlipat dua kali dari detik ini.
0 komentar:
Posting Komentar