Jumat, 12 Februari 2016

Lisa, Mas Her dan Free Writing


Lima hari terakhir ini, saya membaca catatan Lisa Mulkin (Muchlisa Mulkin) di media sosial, tepatnya facebook. Rupanya ia lagi mengikuti program free writing (menulis bebas) dari Hernowo Hasim. Dalam postingan di media yang sama, belakangan ini Mas Her, sapaan yang saya selalu sematkan kepada pak Hernowo Hasim, amat rajin berbagi catatan tentang kiat-kiat menulis dengan gaya free Writing. Bagi saya, dua sosok ini amat dekat, setidaknya dalam rasa subjektivitas saya, sebab saya mengenal keduanya. Apatah lagi, kedua sosok ini bersua dalam satu lema free writing. Lisa memposisikan diri laksana murid dan Mas Her didaku sebagai guru.
 
Seperti penabalan saya, bahwa Lisa amat dekat dengan saya karena ia tiada lain dari adik pasangan saya, Mauliah Mulkin. Sejak mula saya bergabung ke keluarga pak Haji Mulkin AT dan bu Hajja Mariana Mulkin selaku anak mantu, Lisa waktu itu barulah mulai masuk di Universitas Hasanuddin tahun 1993. Singkat cerita, kami bertiga ditambah seorang karib tinggal dalam satu rumah yang disewakan oleh orangtua. Dari situlah saya mulai takjub akan keluarga pak Haji Mulkin, sebab mereka tumbuh dalam suasana rumah yang sangat kuat tradisi bacanya. Mulai dari pasangan bapak dan ibu mertua, maupun seluruh anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang, suka membaca. Dan, hingga kini, tradisi baca itu masih melekat kuat, bahkan berkembang menjadi tradisi literasi.
 
Singkat cerita lagi, Lisa sendiri setahu saya punya kemampuan menulis yang memadai. Setidaknya, ia pernah buktikan tatkala menulis di sebuat koran lokal, Harian Fajar Makassar beberapa tahun yang silam. Selain itu, ia juga sesosok aktifis semasa kuliah dan belakangan ikut dalam gerakan keperempuanan. Dan, lebih dari itu, ia bersama suaminya, Abu Bakar, mewakafkan sebidang tanah untuk membangun pesantren mahasiswa, bernama Panrita. Di bangunan itu pula, ia menginisiasi sekolah untuk anak-anak kurang beruntung, Sekolah Cakrawala.
 
Belakangan, mungkin ingatan saya kurang akurat, tiga atau empat tahun yang lalu, memutuskan untuk pindah mukim ke Bandung. Ia memboyong keluarganya, empat orang buah hatinya. Meski sang suami, masih bolak-balik Bandung-Makassar untuk urusan perusahaannya,. Lisa sendiri masih sering ke Makassar, persuaan paling mutakhir kala libur Natal-Tahun Baru 2015 . Ponakan-ponakan saya rupanya pada beranjak remaja. Lalu saya membatin, esok-esok nanti, saya bakal punya teman diskusi yang handal, tentu dengan spirit literasi yang telah diwarisinya dari kakek-nenek dan orangtuanya.
 
Keputusan Lisa pindah ke Bandung, diambilnya sebagai bentuk keinginan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih sesuai dengan obsesinya. Dan, tentu juga alasan lain, karena memang Bandung adalah salah satu kota pelajar yang senantiasa diburu oleh para pembelajar. Saya sendiri hanya menginjak Bandung kurang lebih 15 tahun yang lalu. Kala itu, suasana keilmuan bercampur adukan kota metropolitan lagi menyeruak. Entah kini, saya tak punya nubuat untuk memastikannya. Namun, suatu kala nanti, ingin ke kota Bandung lagi.
 
Saya tinggalkan dulu Lisa, ingin menyua Mas Her. Maafkan saya, ingatan mulai kurang akurat. Paling tidak, sudah lebih sepuluh tahun lewat, di tahun 2004, pertama kalinya saya berjumpa Mas Her. Kala itu, ia ke Makassar untuk memperkuat misi literasi dari sebuah penerbit garda depan, penerbit Mizan yang berpusat di Bandung. Mengingat waktu itu penerbit Mizan punya lini khusus yang digawanginya, yakni Mizan Learning Centre (MLC). Dari lini inilah Mas Her memberondongkan amunisi, berupa peluru-peluru tradisi literasi, bak kesebelasan Arsenal yang memuntahkan gol-gol indah lewat meriam-meriamnya dari kota London Utara.
 
Sepadan dengan Mas Her di MLC Bandung, penerbit Mizan di tahun 2004 membuka perwakilan di Makassar. Lewat dua lini pemasaran buku, dengan bendera bertajuk: Mizan Direct Selling (MDS) yang dikepalai oleh seorang karib saya, ibu Olle Hamid (Andi Olle Mashurah) -- hingga kini masih di MDS -- dan Mizan Media Utama (MMU) yang diamanahkan kepada saya selaku kepala perwakilannya. Lini MDS memasarkan buku-buku bernuansa ensiklopedis, sementara MMU bertugas menjual buku-buku yang bersifat umum. Walakin, saya hanya tiga bulan bergabung di MMU -- mengundurkan diri karena tak kuasa membagi waktu -- namun ilmu industri perbukuan banyak saya dapatkan. Salah satunya adalah bersua dengan Mas Her, yang kemudian saya dakukan sebagai resi dalam gerakan literasi.
 
Saya tidak tau persis berapa kali Mas Her ke Makassar. Akan tetapi, paling tidak saya dua kali mengikuti acara yang digelar, sebentuk workshop dan Mas Her yang jadi nara sumber tunggalnya. Dari momentum acara inilah, saya menimba ilmu dari sumur yang tak pernah kering air ilmunya, terkhusus pada ilmu dan keterampilan baca-tulis. Hingga kini, ketika saya bergiat di gerakan literasi, ilmu dan keterampilan yang saya dapatkan darinya, masih saya pakai untuk menopang pelatihan dan acara yang serupa, saat saya didapuk selaku pembicara.
 
Selain itu, saya sangat terbantu agar tetap berguru pada resi literasi ini. Buku-bukunya yang sudah puluhan diterbitkan, menjadi arena saya untuk tetap menimba ilmu dan keterampilannya. Buku semisal: Mengikat Makna, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Quantum Reading, Quantum Writing, Langkah Mudah Membuat Buku yang Menggugah, Main-Main dengan Teks sembari Mengasah Kecerdasan Emosi, Mengikat Makna untuk Remaja, Self-Digesting: “Alat” untuk Mengurai dan Mengenali Diri, Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan Menulis, Membacalah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit, Mengikat Makna Update: Membaca dan Menulis yang Memberdayakan, adalah rujukan-rujukan utama saya dalam menegakkan pelatihan-pembicaraan baca-tulis, demi kokohnya tradisi literasi.
Secara ragawi, sudah lama sekali rasanya tak jumpa dengan Mas Her. Lebih dari satu dasawarsa. 
 
Terkadang ada kerinduan untuk menatap, mendengar ketika ia bicara. Soalnya, ia adalah sosok yang cool, tidak meledak-ledak, apalagi berapi-api seperti pada umumnya para politisi ketika musim kampanye tiba. Walau begitu, dari lubuk jiwa, saya tetap mengikutinya, berguru terus secara berkesinambungan, melalui catatan-catatan yang dianggitnya, lewat facebook.
 
Saya tetap memburu catatan-catatan Mas Her di facebook. Seperti halnya Lisa, yang sementara berguru padanya dengan tajuk kelas menulis Free Writing. Jadi, percayalah Lisa pada saya, kita sama-sama menulis, menganggit catatan-catatan harian lewat program ini. Saya dari Makassar dan Lisa mukim di Bandung, dalam kuali catatan-catatan Mas Her ketemua jua. Dan, catatan ini saya bikin, tiada lain untuk menandai permuridan kita pada Mas Her. Dan, sebelum lupa, salam literasi yang hangat dari kakakmu, Mauliah Mulkin yang tetap berjibaku dengan tulisan-tulisannya, yang tak lama lagi lahir menjadi sebuah buku, Rumahku Duniaku. Lisa,di hari kelima dan hari-hari berikutnya, saya tetap mau baca catatanmu. Lisa, ewako.

0 komentar:

Posting Komentar