Jumat, 12 Februari 2016

Rumahku Duniaku


Hari Kamis, 14 januari 2016, pasangan saya, Mauliah Mulkin bermilad, ulang tahun yang ke-44. Selalu saja ada persembahan buatnya. Kali ini, sebagai bingkisannya, saya serahkan hasil editan bakal bukunya yang berjudul : Rumahku Duniaku untuk dikurasi kembali. Salah satu kebiasaan saya, saat ada anggota keluarga yang bermilad, selalu saja saya memberikan hadiah. Bentuknya macam-macam. Ucapan selamat, peluk cium, bait-bait puitis yang menyerupai puisi, atau apa sajalah yang menurut saya mengesankan.
 
Soal apa si penerima bingkisan-hadiah itu memahami atau tidak, bagi saya itu urusan belakangan. Pernah putri ketiga saya, kala miladnya, saya karangkan puisi buatnya. lalu saya tanya apa mengerti atau tidak, dijawabnya, “tidak mengerti, karena terlalu banyak majasnya.” Pun putra keempat, saya membuat yang serupa, sebongkah puisi yang saya tujukan padanya, pastilah dia belum mengerti, sebab usianya baru kelas dua SD, sementara puisi itu kira-kira dia bisa mengerti ketika umurnya dua puluhan tahun nanti.
 
Lain halnya dengan putri pertama saya, ia mengalami kegirangan yang meluap-luap, tatkala seorang kawannya membaca puisi saya yang ditujukan padanya. Ia awalnya tidak percaya, bahwa dalam buku sehimpun puisi yang saya bukukan memang ada satu puisi yang saya dedikasikan padanya. Hal mana puisi itu saya tulis ketika ia bermilad. Dan, saya tidak pernah memberi tahunya. Demikian juga dengan putri yang ketiga, saya pun tak luput menganggit satu puisi buatnya ketika ulang tahun. Ia merasa bangga karena ada namanya pada sebuah puisi yang terkumpul satu buku, yang terbit pada 2015, tepatnya ketika saya bermilad yang ke-48, dengan judul AirMataDarah.
 
Kembali pada soal miladnya pasangan saya. Seperti yang saya dedahkan di awal cerita, bahwa kali ini saya pun tetap menghadiahkan hasil editan yang bakal jadi buku. Perkiraan terbitnya, akhir Februari atau awal Maret. Sesarinya, hadiah penerbitan bukunya ini diniatkan bersamaan dengan milad ke-44 ini, tapi karena banyak aral yang melintang, sehingga baru hasil finishing editan yang saya mampu tunaikan.
 
Riwayat hadiah milad berupa penerbitan buku untuk pasangan saya, bukanlah baru kali ini. Di tahun 2012, kala ulang tahunnya yang ke-40, saya mengedit bukunya untuk diterbitkan. Buku itu berjudul: Dari Rumah untuk Dunia. Meski buku ini diterbitkan secara indie dan untuk kalangan terbatas, tetapi permintaan akan buku ini lumayan banyak, sehingga ada niatan untuk menerbitkannya kembali di waktu nanti. Gara-gara sering mengedit tulisan-tulisannya itu, pasangan saya menabalkan gelar sebagai special editor. Tak banyak yang tahu, bahwa saya bermekar-mekar bahagia dengan penabalan ini.
 
Saya pun pernah mempersembahkan sejumput puisi buat pasangan saya, di miladnya yang ke-41. Judulnya: Per-Empua-an. Puisi ini kemudian juga menjadi penguat di buku AirMataDarah pada halaman 128-129. Tak ada salahnya kalau saya tuliskan kembali, sebagai penghangat kasih.
 
Per-Empu-an
 
Buat Mauliah Mulkin, di hari ulangtahunnya. 14 Januari 2014.
Hanya ujar-ujar yang kupersembahkan pada miladmu kali ini. Sekadar bertutur untuk menegaskan hadirmu, di masamu pada kedinian dan kedisinian.
 
Di usiamu yang ke-41, mengalamatkan perjalanan sudah lebih separuh. Berarti, semakin berkuranglah jatah hidup, dan semakin dekat dengan keabadian.
Saatnyalah berburu dengan masa, pada sisa jatah usia yang masih ada untuk mengempu pada marcapada, alam dunia.
 
Mengempu bermakna menjadilah Empu. Sosok Empu, keberadaannya ada pada personanya, yang memesona lalu semesta terpesona. Sehingga ke-Empu-anmu menjadi nyata. Sebab, dikau telah menghormati, memuliakan, mengasuh dan membimbing di kisaran sekitar.
Bagiku, sebagai yang terpesona akan ke-Empu-anmu, sungguh-sungguh telah menjadi per-Empu-anku.
 
Per-Empu-an, menurutku adalah tempat kembali kala semesta mengusik pikir dan menggundah hati. Dan itu dikau telah nyatakan, lewat laku, sikap dan tindakan.
 
Meski aku bukan seorang lelaki yang hebat, terkenal dan paripurna, namun kutetap yakin bahwa di setiap lelaki yang berguna bagi kehidupan , ada sosok perempuan yang menjadi per-Empu-annya.
Pada keberhasilan anak-anak yang tumbuh menjadi manusia berguna, ada sosok ibu yang menjadi per-Empu-annya.
 
Rumahtangga yang di dalamnya beragamam karakter beredar, jika mau menjadi baiti jannati, tempat memancarnya aura kebahagiaan, hanya bisa mewujud manakala ada perempuan yang meleburkan segenap asa menjadi rasa, karena padanya ada sentuhan Empu di tungku per-Empu-an
 
Sedangkan memasuki usianya yang ke-43, saya pun tak luput mendapukkan bait-bait puitis, yang tetap kusebut sebagai puisi cinta untuknya, berjudul:
 
Mauliah Mulkin
 
di januari yang basah genaplah usiamu empatpuluhtiga
tidaklah perlu berhenti meneteskan airmata
 
sebab airhujan dan airmatamu menghidu sajadah kehayatan
menjadi mataair mengaliri altar kehayatan

Mungkin sebagaian orang bertanya pada saya, mengapa hanya buku dan penggalan-penggalan puisi yang dipersembahkan? Jawaban diplomatisnya sederhana saja, hanya inilah yang saya punya dan mampu saya serahkan. Apatah lagi, lima tahun terakhir ini, seabrek aktivitasku selalu saya biangkai dalam gerakan literasi (baca-tulis). Membaca adalah rumah batin saya dan menulis adalah ruang dunia saya. Gerakan literasi telah menjadi rumahku-duniaku. Dan, ini pula yang bakal ditegaskan oleh pasangan saya, dengan terbitnya nanti bukunya: Rumahku Duniaku.

0 komentar:

Posting Komentar