Pagi masih malas menyata. Awan berkuasa penuh di langit Ereng-Ereng. Sesekali butiran air hujan malu-malu melompat dari dekapan awan, beraninya cuma merintik. Saya mencoba berdamai dengan semuanya. Toh, kita sebagai sesama makhluk penghuni jagat, memang ditetapkan untuk saling bergilir unjuk takdir. Kalau saja semuanya saling menyila untuk menjalani ketetapan, maka damailah buana.
Demikianlah kiranya, kala saya tiba di Ereng-Ereng, sebuah kampung yang terdaftar dalam wilayah kuasa administratif, Kelurahan Ereng-Ereng, Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Bantaeng. Jarak tempuh dari kota Bantaeng, kisaran setengah jam lebih kalau ngebut, atawa kira-kira kurang lebih 15 km jauhnya. Di sinilah letaknya sebuah sudut baca yang bernama Sudut Baca Al-Syifa. Usia sudut baca ini, jelang tiga tahunan. Dan, kali ini, untuk kesekian kalinya saya mampir, jeda melepas dingin, mencari kehangatan bersama secangkir kopi, pisang goreng plus sambutan ramah pengelolahnya.
Sehari sebelumnya, saya sudah kontak bung Ahmad Rusaidi, seorang guru SMA di Takalar, yang sekaligus suami dari Elma Malewa sang penanggung jawab sudut baca. Mereka baru saja dikaruniai seorang putra, sebagai hasil dari pernikahan mereka, lebih dari setahun yang lalu. Saya ikut memprovokasi keduanya agar bersatu dalam ikatan keluarga, sebab keduanya adalah sosok yang konsern dengan tradisi literasi. Bagi saya, bertemunya sepasang anak keturunan Adam-Hawa ini, adalah perkawinan literasi. Dan, benar saja adanya, hingga kini sudut baca tetap eksis, apatah lagi dibantu oleh beberapa orang srikandi setia sebagai pengurus.
Pertelponan dengan bung Ahmad, saya sampaikan bahwa ingin mampir di sudut baca, sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya, Desa Labbo, guna meladeni permintaan pemerintah desa, melakukan pelatihan pengelolaan perpustakaan desa dengan spirit budaya literasi. Persinggahan ini, sejenis aji mumpung, sekadar mengamalkan pepatah lama, sambil menyelam minum air, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Hampir pukul sembilan pagi, saya sudah berada di Sudut Baca Al-Syifa. Di bawah kolong dekat tangga, senyum sumringah dan sapaan langsung menghidu saya. Menyilakan saya agar naik ke rumah. Memang sesarinya, sudut baca ini bertempat di sudut ruang tamu pada rumah panggung yang dihuni oleh keluarga besar bung Ahmad dan Elma Malewa. Srikandi yang menyilahkan saya itu, tiada lain adalah Analda Malewa Pazhak, adik dari Elma, yang juga sekaligus ujung tombak keberadaan sudut baca ini.
Pada sudut ruang tamu dari rumah yang disulap menjadi sudut baca, saya langsung melapangkan diri. Tuan rumah seolah memaksa saya agar duduk di kursi tamu. Tapi saya lebih memilih melantai di karpet sudut baca. Lebih rileks, dan sejatinya memang saya mampir untuk menikmati sepetak surga dari rumah panggung ini. Saya selalu menabalkan, bahwa ruang baca pada sebuah rumah adalah sepetak surga bagi penghuninya yang punya tradisi literasi.
Kehadiran saya di sudut baca ini, tentulah bukan sekadar melepas rindu atawa silaturrahim biasa. Melainkan, saya punya hidden agenda, agenda terselubung. Saya benar-benar ingin memastikan keberadaan beserta aktivitasnya. Dan juga beberapa kiat-kiat yang pernah saya rekomendasikan. Maklumlah, oleh pengelolah sudut baca, saya didapuk sebagai konsultannya. Sambil berbincang tentang capaian-capain program, penambahan koleksi buku, antusias pengunjung, tak lupa pula saya mengemukakan beberapa ancangan program yang mungkin bisa dilaksanakan ke depannya.
Tak terasa, hampir sejam saya berdiskusi dengan bung Ahmad, Elma Malewa, Analda Malewa Pazhak dan sesekali menikmati kesucian sang bayi yang dipangku secara bergilir, gara-gara seringkali ia tersenyum, tangannya melambai. Dugaan saya, senyuman dan lambaian tangannya, seolah ingin menegaskan pada saya bahwa kepala kita sama, plontos. Ya.. bung kecil, memang kita sama-sama plontos, dikau plontos sebab baru mengenal dunia, sementara saya plontos karena sudah hampir setengah abad melata di atasnya.
Ribuan detik yang saya habiskan di Sudut Baca Al-Syifa ini memang membahagiakan. jiwa raga saya terpenuhi. Berbincang tentang gerakan literasi, hasrat-hasrat keberaksaraan menyebabkan jiwa ini terasupi gizi kehidupan untuk semakin menguatkan jiwa kejuangan yang senantiasa pupus ditelan godaan pragmatisme. Pun hal yang sama bagi raga saya, disuguhi secangkir kopi pahit asli Ereng-Ereng, dengan penganan sepiring pisang goreng. Amboi nikmatnya, mengusik dingin yang bersetubuh dengan saya. Dan, lebih dari itu, saya dapat tambahan energi untuk melanjutkan perjalanan, ke tempat yang semestinya, Desa Labbo.
0 komentar:
Posting Komentar