Jumat, 12 Februari 2016

Orang-Orang yang Bertandang ke Surga


Walhasil, telah tercipta sepetak surga di mukim saya. Penghuninya amat beragam, bisa saling berkawan, namun boleh pula bermusuhan. Mereka terkadang berdiri berhimpitan, sering pula tergeletak bertindihan. Jalan pikirannya beraneka, mulai dari yang rumit melangit, hingga hal sederhana sehari-hari. Fisik pun berbeda, ada yang besar, gemuk tebal, dan tidak sedikit yang kurus tipis. Di surga inilah, semuanya menjadi adem. Dari setiapnya, punya tempat masing-masing. Sangat boleh berbeda, tapi tidak saling meniadakan. Terkadang gaduh, ribut berdebat, saling tohok pikiran, tatkala diberi jiwa. Walakin sekali lagi, muaranya tetap tenang, damai bersemayam.
Teringatlah saya akan tutur bijak dari Marcus Tullius Cicero, yang disabdakan ulang oleh Muhary Wahyu Nurba, pada tulisannya yang berjudul Rumahku Surgaku, dalam buku Esai Tanpa Pagar, “ Jika Anda memiliki taman dan perpustakaan, Anda telah memiliki semua yang Anda butuhkan.” Atau apa yang dinubuatkan oleh Jorge Luis Borges (1899-1986), "I have imagined that paradise will be a kind of library." Bahwa apa yang diimajinasikan, suatu surga, layaknya seperti perpustakaan.
Di pekan kedua bulan Februari 2016, tepatnya tanggal sebelas, tiga hari setelah hari raya Imlek, pada siang setelah duhur, hingga jelang ashar, mukim saya disambangi oleh seorang jurnalis dan fotografernya dari sebuah media cetak, harian Fajar Makassar. Maksud kehadirannya, ingin menulis sebuah feature, sejenis liputan tentang orang-orang yang punya perpustakaan pribadi, para kolektor buku. Dan menurutnya, saya salah seorangnya. Maka, saya pun dengan tangan terbuka menyambutnya, lalu menggiring ke sudut rumah bagian belakang, melewati areal Toko Buku Paradigma Ilmu, pada sebuah ruang baca, yang sering saya sebut sebagai, “sepetak surga”.
Terjadilah percakapan -- sembari saya mengawasi pengunjung toko buku Paradigma Ilmu -- seputar awal mula koleksi buku yang jumlah kisaran 3000 judul. Bukan saja tentang jumlah, melainkan merambah pada koleksi-koleksi lama, cara mendapatkannya, tahun memulainya, jenis-jenis buku, tema-tema pemikiran dari setiap buku. Hasil perbincangan dengan sang jurnalis, Muhammad Nursam, kemudian dituangkan dalam liputan Metropolis harian Fajar, berjudul: Dominan Filsafat, Tak Bisa Bawa Pulang.
Sesarinya memang, judul tulisan itu amat tepat. Dominan buku-buku di pojok surga saya adalah filsafat. Meskipun begitu, tema-tema pemikiran lain semisal agama, sosial, budaya, sastra, motivasi dan keluarga-kepengasuhan bercokol pula. Kesemuanya bersatu dalam ruang baca, yang antara satu dengan lainnya bisa saling bertentangan. Saya terbiasa mengoleksi dan membaca buku yang saling bertentangan, sehingga sudut pandang akan satu persoalan bisa lebih komprehensif. Sebab, tidak sedikit muncul perbedaan pendapat yang intoleran, dikarenakan oleh tunggalnya sudut pandang, apatah lagi ditambah sikap ngotot benar sendiri.
Beragamnya pemikiran yang ada dalam perpustakaan keluarga saya ini, bukan tanpa resiko. Banyak orang di luar sana yang menganjurkan untuk tidak mengunjungi mukim saya. Menurutnya, ini salah satu tempat pesemaian bibit-bibit pikiran sesat dan menyesatkan. Tuduhan itu saya abaikan saja, karena saya lebih berpihak pada orang-orang yang datang untuk berdiskusi, membaca dan menulis. Lagi pula, kurang lebih enam bulan terakhir, pada ruang baca ini diselenggarakan program Kelas Literasi, Kelas Logika-Epistemologi dan Kelas Parenting di bawah bendera Paradigma Institute, sebuah lembaga yang saya dirikan sejak tahun 1994.
Riwayat pojok perpustakaan keluarga, sepetak surga saya ini cukup panjang. Saya mengumpulkan buku sejak tahun 1985, ketika mulai masuk kuliah. Masih teringat benar buku pertama dan kedua yang saya beli secara bersamaan, Biografi Empat Imam Mahzab dan I’tiqad Ahlu Sunnah Waljamaah, yang kedua-duanya telah raib, dipinjam tak kembali lagi. Dan, sebenarnya, lumayan banyak buku-buku saya yang terpinjam, tidak kembali sampai detik ini. Benarlah anekdot yang amat populer, “orang bodoh yang meminjamkan bukunya, tapi lebih bodoh lagi, orang yang meminjam lantas mengembalikannya.”
Selama menempuh kuliah yang lumayan lama, sehampiran tujuh tahun, saya sudah mengumpulkan buku ratusan judul. Dan sebongkah keberkahan datang menghampiri, tatkala di tahun 1993, saya menikah dengan seorang perempuan, Mauliah Mulkin, yang kecintaannya pada buku begitu khusyuk. Bersatulah minat yang sama dalam keluarga baru. Dari sinilah pertambahan koleksi buku kami menjadi berlipat. Ribuan buku menjadi koleksi perpustakaan keluarga kami. Salah satu perundingan yang memenuhi kata sepakat adalah ketika perpustakaan keluarga ini, kami beri nama Raushanfekran. Artinya, orang-orang yang tercerahkan. Terinspirasi dari istilah yang dipopulerkan oleh Ali Syariati, seorang intelektual asal Iran.
Perpustakaan keluarga kami, awalnya sangat bersifat pribadi, tepatnya perpustakaan pribadi. Tempatnya di ruang keluarga dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Saya biasa menyaksikan, bilamana para tetamu datang, hanya ngiler melihat buku-buku itu yang bisa diintip dari ruang tamu. Lamat-lamat seiring berjalannya waktu, sikap saya mulai melunak. Perundingan pun dengan seisi penghuni rumah dilakukan untuk menyepakati pola baru berkenan dengan akses terhadap perpustakaan pribadi ini, termasuk perubahan nama menjadi Miraculum, maksudnya keajaiban, karena kami begitu banyak mendapatkan keajaiban dari membaca buku-buku tersebut.
Hasil lainnya, lima tahun yang lalu, kami memindahkan ke ruang belakang, yang juga berfungsi sebagai ruang kerja merangkap ruang baca. Namun, tidak semua orang bisa mengaksesnya, hanyalah orang-orang tertentu yang boleh menikmatinya. Barulah dua tahun belakangan ini, aksesnya diperluas untuk siapa saja, seiring dengan dijadikannya sebagai tempat untuk menunaikan program-program yang diusung oleh Paradigma Institute. Walaupun sebenarnya, sudah lama rumah kami sebagai salah satu pusat diskusi, pesemaian pemikiran sejak 1994, seiring dengan berdirinya Paradigma Instute.
Kini, di waktu kiwari, lumayanlah orang-orang bertandang ke pojok perpustakaan kami. Sepetak surga yang saya siapkan buat orang-orang yang berkepentingan. Banyaklah mahasiswa, aktivis, kawan-kawan gerakan, kolega sering larut bersama di surga bikinan kami. Sesekali kedatangan orang-orang penting, tokoh pergerakan, pengarang buku, penulis untuk berbagi keprihatinan akan masalah hidup dan kehidupan. Membaca, menulis, berdiskusi, rapat terbatas, bincang lepas adalah lipatan-lipatan peristiwa yang tertabung di pojok surga ini. Dan, di atas segalanya, orang-orang boleh datang bertandang, namun tak boleh bawa pulang isi dari sepetak surga ini. Kalau ada yang ingin bawa pulang buku, silahkan ke petak yang lain, ruang sebelahnya, pada Toko Buku Paradigma Ilmu.

0 komentar:

Posting Komentar