Jumat, 12 Februari 2016

Literasi untuk TPA di Paradigma Institute


Assalamu alaikum.... assalamu alaikum..... Ustadzah... ustadzah... Ucapan salam itu, saban pagi senantiasa terlantunkan oleh anak-anak yang bertandang ke rumah saya yang sekaligus menjadi markasnya Paradigma Institute dan juga Toko Buku Paradigma Ilmu. Rumah buat mukim keluarga, markas kajian dan toko buku adalah satu paket bangunan yang sudah sejak tahun 1994 saya tinggali. Belakangan ini, tepatnya lima tahun terakhir makin ramai disambangi oleh para cilik dari santri Taman Pendidikan Al-Qur”an (TPA) Mesjid Babuttaubah dekat rumah.
 
Awal dari makin merapatnya santri-santri itu ke Paradigma, disebabkan oleh keterlibatan pasangan saya, Mauliah Mulkin menjadi pengajar di TPA tersebut. Pun, terlibatnya mengajar tidaklah dengan sebuah proses kesengajaan dalam artian melamar menjadi tenaga pengajar. Semuanya bermula hanya karena ikut bantu-bantu sebagai akibat dari kekuarangan tenaga pengajar. Dan yang lebih mendesak lagi oleh karena anak ketiga dan keempat kami ikut jadi santri di TPA itu.
 
Dari sekadar ikut bantu, menjadi sukarelawan, malah akhirnya diminta untuk menjadi pengajar tetap. Berundinglah kami akan permintaan pengurus TPA. Akhirnya, kami pun merestui permintaan itu. Apatah lagi, saya sendiri sejak datang ke kampung itu sudah menjadi jamaah mesjid, bahkan belakangan ikut menjadi pengurus selaku seksi dakwah yang salah satu fungsi vitalnya adalah menjaga stok dai khutbah Jumat dan ceramah bulan Ramadhan, serta imam shalat dengan status cadangan. Kayak pemain bola, berfungsi selaku cadangan yang sewaktu-waktu harus main kala para pemain yang dijadwalkan berhalangan.
 
Sebagai konsekuensi dari keterlibatan mengurus dan mengajar di TPA itulah, Mauliah Mulkin selalu dipanggil sebagai Ustadzah oleh para santrinya. Dan, panggilan itu pun juga menulari saya, karena oleh mereka pun saya dipanggil Ustadz. Apatah lagi karena sering menjadi pengganti khatib, penceramah dan imam. makin melengketlah gelar Ustadz. Sehingga, banyak karib, kerabat bingung, lalu berceloteh: “ ...bisa-bisanya dipanggil Ustadz.” Mungkin karena para karib dan kerabat tidak melihat pada diri saya sebuah profil seorang Ustadz, sebagaimana yang mereka sering lihat secara konvensional. Walau akhirnya, banyak di antara mereka ikut-ikutan panggil Ustadz.
 
Dalam perkembangannya kemudian, saya mulai diskusi dengan ustazah Mauliah Mulkin, tentang bagaimana caranya mengelolah TPA itu tidak secara konvensional, sebagai tempat belajar mengaji saja. Maka dengan segala macam pengetahuan dan pengalaman bersentuhan dengan anak-anak, lalu kami, khususnya ustzdah Mauliah Mulkin mulai memberikan sentuhan baru dalam mengajar santri, lebih variatif pendekatannya dan bernuansa parenting, kepengasuhan.
 
Sebagai instutusi, TPA Babuttaubah tentunya sudah punya standar pengelolaan. Dan, itu kami tidak mengganggunya. Tugas pokok mengajar santri baca-tulis Al-Quran adalah harga mati. Nanti di luar jadwal pokok itulah kami merancang beberapa paket kegiatan yang bernuansa literasi, sebagaimana visi kami di Paradigma Institute sebagai wadah gerakan literasi. Sebab, bagi kami gerakan literasi ibarat flashdisk yang bisa dicolok kemana saja, termasuk di TPA.
 
Kemitraan yang kami bangun tidaklah dituangkan secara formil, melainkan komitmen moril saja sebagai bagian dari kerelawanan untuk melihat para santri itu meningkat kapasitas literasinya, baca tulisnya yang tidak sekadar bisa baca tulis, terbebas dari buta huruf dan tulis. Peningkatan minat baca dan menulis bagi seorang cilik, bagi kami adalah sebuah lahan yang amat menggiurkan. Sebab manakala berhasil ditanam sejak dini, maka besar kemungkinan kebiasaan baca-tulis itu, menjadi tradisi literasi pada diri sang anak.
 
Sebagai wujud kongkritnya dapat dilihat pada setiap saban pagi. Setelah mereka para santri TPA itu selesai mengaji, maka bergrombollah ke rumah saya, markasnya Paradigma, di sela-sela rak buku dan halaman yang terbatas mereka memulai aktifitas yang kesemuanya dalam bingkai literasi. Mereka langsung saja mengambil buku-buku yang ada untuk dibaca, ada juga minta gambar untuk diwarnai atawa sesekali mereka dibacakan dongeng dan pada momen tertentu diputarkan film anak-anak yang memang bertujuan untuk menumbuhkan karakter pada diri anak-anak, santri.
 
Bahkan tidak sedikit dari para santri itu meminta bantuan untuk memahami pelajaran sekolahnya. Terutama Matematika dan Bahasa Inggris. Selain itu, dan ini yang lebih mendasar juga adalah sentuhan parenting yang diberikan. Seringkali masalah dialami di rumahnya mereka ceritakan pada Ustadzah Mauliah Mulkin. Dan, tentu ini akan semakin mengayakan selaku pengajar, sebab sang pengajar juga adalah seorang pegiat parenting di Paradigma.
 
Membaca, menggambar, mewarnai, mendengar cerita-dongeng, nonton film dan bermain di halaman adalah aktifitas saban pagi yang bergandengan dengan semanagt gerakan literasi. Ke depannya nanti, mereka sudah harus diarahkan untuk mulai menulis cerita. Cerita mereka sendiri yang mungkin akan sangat menarik untuk diceritakan di antara sesama mereka.
 
Saya pun kadang membatin kala menyaksikan mereka di saban pagi, mungkinkah 15 hingga 20 tahun yang akan datang, saat mereka harus memanggul tanggung jawab negeri ini adalah generasi yang dijanjikan sebagi bonus demografi buat negeri ini? Saya amat yakin, manakala mereka tumbuh bersama tradisi literasi, maka bonus demografi benar-benar menjadi berkah bagi negeri ini. Sambil berharap, moga di antara mereka ada yang jadi ilmuan, novelis, cerpenis, penyair dan penulis yang menuliskan di buku-buku dan karya-karya mereka bahwa, “ saya mulai bersentuhan dengan tradisi literasi sejak usia dini, masih belia sekali, kala sering menyambangi rumah, Paradigma Institute dan toko buku milik ustadzahku, Mauliah Mulkin beserta suaminya, dan semua kakak-kakakku penghuni rumah dan pegiat literasinya.”

0 komentar:

Posting Komentar