Di acara berbuka puasa, berkumpullah sekaum lelaki, yang usianya mulai tergelincir, bahkan ada yang menjelang senja. Namun semangat hidup masih menyala, membara tiada tara. Sahaya menjadi bagiannya. Topik yang tak terlewatkan, tentulah menggunjing pasangan yang sudah mulai pudar kecantikannya, konsisten mengiringi uban dan rontoknya rambut para lelakinya. Tidak sedikit resep awet muda, yang diudarkan, guna merawat kelanggengan. Guru Han hanya terdiam menikmati perbincangan, tapi batinnya menggeliat ingin berucap: " Duhai para lelaki yang sudah mulai bau tanah, pudarnya kecantikan seorang perempuan, karena usia memakannya, adalah pintu masuk untuk menjejaki kecantikan-kecantikan yang lain. Di sisa jatah usia, bersibuklah menyingkap kecantikannya, yang selama ini tertutupi oleh kencangnya kulit dan montoknya daging. Kecantikan yang azali, hanya menyata tatkala jasmani sudah menyerah pada sang kala."
Selasa, 28 Juni 2016
Sepak Bola, Religiusitas dan Spiritualitas
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
22.44
Tidak ada yang lebih cermat mengatur waktu di bulan
Juli 2016 M, yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1437 H, selain dari para
pemburu pahala dan penggila sepak bola. Apa pasalnya? Pada bulan inilah bertemu
dua perkara yang sama-sama membutuhkan perhatian tiada tara. Ramadhan dengan
segala pernak-pernik ikutannya dan perhelatan sepak bola Piala Eropa, bersama
ragam kintilnya, yang diikuti oleh 24 negara.
Bagi pemburu pahala, bulan ini menubuhkan bulan
berkah, rahmat dan ampunan. Sementara, bagi penggila sepak bola, candra ini
melukiskan pesta bintang-bintang sepak bola kawasan Eropa. Saya sendiri,
menjadi bagian dari dua perjamuan ini. Sebagai seorang muslim, patutlah saya
membenamkan diri dalam lautan janji pahala. Dan, selaku penikmat sepak bola, benar-benarlah ini peristiwa dua tahunan yang hanya terkalahkan oleh peristiwa
empat tahunan, Piala Dunia. Terterungkunya saya dalam dua momen ini, sebab ada
upaya menjadi seorang muslim yang makin religius, sekaligus penikmat sepak bola
yang kian khusyuk.
Bertumbukannya waktu yang terpilih akan dua peristiwa
ini, justru menimbulkan masalah tersendiri. Sebab, terkadang antara waktu
ibadah dan siaran langsung pertandingan bersamaan adanya. Ibadah Ramadhan,
semisal shalat tarwih berjamaah di masjid, bisa bertepatan waktunya dengan
jadwal pertandingan yang pluitnya ditiup pada pukul 21.30. Pun, dalam semalam,
biasanya ada tiga jadwal perlagaan; di awal malam, tengah malam dan dinihari
jelang subuh. Jadi, pilihannya antara ibadah dan nonton. Betul-betullah menjadi
dilema bagi para pengejar pahala dan penggendeng sepak bola.
Seorang karib yang amat religius, sekaligus maniak
sepak bola membagikan tipsnya. Menurutnya, dalam semalam, kesemuanya bisa
didamaikan dengan santun, yang penting cermat dalam mengelola waktu. Maka
dipilihlah masjid yang menyelenggarakan shalat tarwih yang berakhir saat jelang
pluit pertandingan pertama ditiup, lalu menonton pertandingan berikutnya hingga
tengah malam, kemudian tidur dan bangun kembali ketika pertandingan dinihari
mau kick off, tapi sebelumnya qiyamul lail (shalat malam)
terlebih dahulu, plus mendoakan tim kesayangan. Dan, sahurnya di depan TV,
nonton sambil bersantap dalam intaian waktu imsyak.
Kiat dari karib tersebut membuat saya mendaras kembali
sebuah buku yang dianggit oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual
Intelligent - The Ultimate Intelligent. Dalam buku ini dijelaskan perbedaan
antara religiusitas dan spiritualitas. Dituliskannya bahwa, SQ (Spritual
Intelligent-Kecerdasan Spiritual), tidak mesti berhubungan dengan agama (religion).
Bagi sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama
formal, tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan
ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama
mempunyai SQ amat rendah.
Bagi Zohar dan Marshall, agama merupakan seperangkat
aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Ia bersifat top-down,
diwarisi dari pendeta, nabi dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan
tradisi. SQ adalah kemampuan internal, bawaan otak dan jiwa manusia ,
yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta itu sendiri. SQ merupakan
fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk
menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Kecerdasan
spiritual serona kecerdasan jiwa. Ia mencorakkan kecerdasan yang dapat membantu
kita menyembuhkan dan membangun diri secara utuh.
Jadi, kelihatannya dalam menghadapi dilema antara
peraduan sepak bola dan ibadah Ramadhan, yang dibutuhkan adalah kecerdasan
spiritual. Sudut pandang yang penuh aura spiritualitas. Sebab, bila saja yang
dikedepankan sikap religiusitas, maka tidak menutup kemungkinan dilema itu
bukan saja tidak mendapatkan solusi, malah bisa menjadi pemicu sikap yang
memandang peristiwa sepak bola sebagai permanan anti agama, sehingga tidak
sedikit yang mengistilahkan bahwa sepak bola telah menjadi “agama” baru di
dunia ini. Bukankah amat mudah ditemukan, seorang yang kelihatan religius,
memandang sepak bola sebagai permainan sesat dan menyesatkan?
Bagi seorang spiritualis, apapun realitas di dunia
bisa dijadikan sebagai medium untuk mengaktuilkan spiritualitasnya, rasa dekat
pada Tuhan. Termasuklah wujud persabungan sepak bola. Apatah lagi, dalam permainan
sepak bola, di balik pertunjukan yang mengandalkan keterampilan ragawi,
terselubung kekuatan jiwa yang cukup menentukan keberhasilan pertandingan.
Sehingga, sepak bola di era kiwari ini makin berjiwa, tidak sekadar kompetisi
yang akan menghasilkan pemenang. Tapi, bagaimana kemenangan itu diraih dengan
spirit sedemikian rupa, bahkan kalaupun harus kalah, masih dalam kerangka
spiritualitas, kalah terhormat.
Akhirnya, Ramadhan pun sebagai bulan yang dijanjikan
sebagai bulan kemewahan akan kelimpahan pahala, tidaklah memadai bila hanya
sekadar semangat religiusitas yang mengawalnya. Terjebak pada formalitas ibadah
semata, sehingga puasa yang dijalani hanya berujung pada lapar dan haus, serta
shalat tarwih dan qiyamul lail tidak lebih dari gerakan ragawi belaka,
sejenis senam kesegaran jasmani. Nilai-nilai dalam bulan Ramadhan dan jiwa-jiwa
yang menggerakkan permainan sepak bola, bisa bertemu dalam spiritualitas.
Sebab, keduanya bisa dipandang sebagai titian untuk mengaktuilkan
spiritualitas, mengajuk aura ilahiah.
(Edunews, 26 Juni 2016)
Pensucian Jiwa
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
22.41
Sekali waktu, Bung Karno mengutip seorang penyair
besar dari Firinze, Italia, Dante Aligheri, lewat karyanya, Divine Commedia,
tentang purgatorio, suatu tempat pensucian dari inferno (neraka)
menuju paradiso (surga). Dalam karya imajiner Dante itu, seolah
melakukan perjalanan dari kesaksiannya akan neraka dan tempat pensucian, lalu
ke surga. Singkatnya, ada sejenis simpulan imaji, bahwa untuk sampai kepada
kesucian, terbebas dari kekotoran, maka pensucian menjadi titian yang harus
dilewati.
Bertolak dari gagasan imajiner itu, tentang pensucian
agar sampai pada kesucian, saya ingin menyederhanakan soal pensucian ini lewat
peristiwa sehari-hari. Sebagai amsal saja, ketika ada pakain kotor yang ingin
dibersihkan, agar menjadi nirmala, maka haruslah disucikan lewat mekanisme
pencucian. Mencuci pakaian itu. Dan, setidaknya, ada empat tahapan dalam
mencuci pakaian kotor, baik lewat cara manual maupun melalui mesin cuci.
Langkah pertama yang mesti dilakukan, dengan merendam
pakaian itu bersama diterjen. Setelahnya, dikuceklah atau diputar sedemikian
rupa oleh mesin cuci. Selanjutnya, dilakukan pembilasan. Membilas pakain itu,
hingga berkali-kali, sampai dianggap bahwa sudah tidak berditerjen lagi.
Tindakan terakhir, mengeringkannya lewat mesin cuci atawa memerasnya lalu
dijemur. Proses dari yang paling awal sampai akhir tindakan, mencerminkan
perjalanan bagaimana selembar pakaian kotor, bila ingin dibersihkan, maka harus
tunduk pada mekanisme pencucian ini.
Seperti halnya, tatkala seseorang ingin membersihkan
dirinya, maka untuk sampai kepada kebersihan diri, haruslah memandikan dirinya.
Mandi adalah sejenis tindakan membersihkan diri. Dalam proses pemandian, pun
ada mekanisme yang standar. Paling tidak mengikuti empat tahapan, seperti
halnya dalam mencuci pakaian. Setiap diri mesti lebih dahulu membasahi seluruh
tubuhnya dengan air. Sesudahnya, digosoklah badan dengan memakai sabun, lalu
membilasnya hingga busa sabun itu raib. Dan, paling akhir menegringkan badan
dengan handuk atau yang sejenisnya. Mekaisme mandi ini, bakal menghasilkan
tubuh yang bersih, segar dan bugar.
Analogi pencucian pakaian kotor atau memandikan badan
dari setiap diri, dapat saya sepadankan, tatkala ingin mengedapankan cara
membersihkan ruhani, mensucikan jiwa. Pensucian jiwa mesti dapat pula diajukan
mekanisme dalam rangka mengkuduskannya. Bila putaran hidup selama setahun
memangsa waktu dua belas bulan, maka ada satu bulan yang dikhususkan sebagai
bulan pensucian di kalangan umat Islam. Bagi kaum yang memeluk Islam sebagai
agamanya, bulan Ramadhan adalah sejenis fasilitas untuk mensucikan jiwa, guna
mentahrirkan dirinya dari segala macam noda keruhanian.
Tak mengapalah bila saya mengadaptasi empat mekanisme
pencucian pakaian atau pemandian jasmani ke dalam pensucian jiwa di bulan
Ramadhan. Anggaplah selama bulan Ramadhan itu saya bagi menjadi empat pekan.
Maka pekan pertama bersetuju dengan perendaman jiwa, agar jiwa menjadi lebih
mudah dikucek sekaligus diputar pada pekan berikutnya. Pada pekan ketiga
Ramadhan, selayaknya setiap insan mulai membilas jiwanya untuk mempersiapkan
diri memasuki pekan keempat, guna menjemur jiwanya, agar di hari fitri, saat
lebaran, benar-benarlah yang nampak adalah saridiri. Jiwa yang khalis bin
mukhlis.
Pada konteks inilah, dalam bulan Ramadhan mendedahkan
beberapa fasilitas pensucian yang disiapkan sebagai diterjen atau sabunnya,
guna membantu pengkucekan jiwa. Tersebutlah, bahwa bulan Ramadhan ini adalah
bulan berkah, rahmat, dan ampunan. Yang darinya membuahkan pengiring sebagai
bulan berbagi, berkhidmat dan rekonsiliasi jatidiri.
Disematkannya bulan Ramadhan sebagai bulan penuh
berkah, sebab di dalamnya segala macam perbuatan baik diberi ganjaran
keberkahan, berupa kelebihan manfaat dari biasanya. Secara kuantitatif, pahala
amal baik dilipatgandakan jumlah hitungannya. Karena memang sedarinya,
pengertian berkah adalah adanya nilai lebih atas manfaat yang diberikan dari
situasi umum. Tindakan biasa, namun membuahkan hasil yang luar biasa.
Pun ketika dititelkan pada bulan Ramadhan selaku bulan
rahmat, karena pada bulan inilah sepatutnya rasa saling menyayangi sesama
diumbar semaksimal mungkin. Bulan kasih sayang dimaknai sebagai upaya berbagi
kasih sayang kepada yang amat membutuhkan. Orang-orang yang jauh dari sentuhan
kasih, sedapatnya pada bulan inilah sebagai lahan untuk mendapatkannya.
Insan-insan yang luput dari elusan sayang, sesungguhnya lewat bulan ini berhak
meraih kesungguhan dari para penderma.
Dan, digelarinya bulan Ramadhan serupa bulan ampunan,
lantaran Tuhan menggelontorkan ampunannya. Kewajiban insanlah memohon ampunan
itu. melalui pertobatan. Melafazkan zikir dan doa, merapalkan serona mantra
pembujuk pada Ilahi, agar siraman ampunan bertubi-tubi hadir mengada, dalam
wujud jaminan keselamatan di dunia dan akhirat. Tiada yang lebih diimingkan
oleh seorang budak pada tuannya selain dari ampunan kala bersalah. Begitu juga,
tak ada yang bakal diidamkan oleh seorang hamba ke Tuhannya, melainkan
terhapusnya dosa.
Insan yang terberkahi, dilimpahi rahmat dan diampuni,
adalah insan yang berhasil meraih predikat takwa, sebagai buah dari kelulusan
di madrasah ruhaniah pada bulan Ramadhan. Refleksinya, tercermin pada makin
kuatnya keinginan untuk berbagi, pengkhidmatanya seolah tak terbendung dalam
melayani sesama dan seraut wajah yang penuh pesona, serupa persona yang mampu
merekonsiliasi dirinya. Jadi, bulan Ramadhan adalah titian pensucian jiwa agar
dimensi keruhanian setiap diri menemukenali saridirinya.
(Edunews, 19 Juni 2016)
TENGAH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
22.36
Sang cilik di mukim sahaya, mulai jatuh hati pada permainan bola. Apatah lagi, di bulan suci ini, saban sahur, salah satu sajian pengiringnya adalah pertandingan bola Piala Eropa. Di tengah keterbatasan nalarnya, sahaya lalu menyatakan, pentingnya fokus untuk mengamati permaianan para pemain tengah, yang bertugas mengalirkan bola dari pemain belakang, ke area lawan, untuk dituntaskan menjadi gol oleh pemain depan. Sebab, Guru Han sering bilang: “ berposisilah sebagai orang yang senantiasa menjadi penengah dari dua kutub. Berdiri di antara dua kutub, sama artinya penyambung dari dua kepentingan. Keberadaan penengah, harus siap mendengar dua kutub yang berbeda, lalu menentukan arah putusan yang harus dituntaskan.”
Sabtu, 25 Juni 2016
TANGIS
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.16
Sahaya bermusafir ke kampung kerabat di bulan Suci ini. Ikutlah pada peritusan ibadah shalat subuh. Pada subuh pertama, tampillah imam shalat yang aduhai suaranya. Laiknya qari peserta MTQ. Subuh kedua, imam lain tampil, rupanya ia memimpin shalat sembari menangis melantunkan ayat yang dibaca. Baik pada imam pertama, maupun imam kedua, tidaklah memengaruhi jamaah, termasuk tak ada yang meneteskan airmata. Subuh ketiga, tampillah imam shalat yang biasa saja, suaranya datar tak dibuat-buat, hanya getar-getar halus. Namun, dua tiga orang makmum meneteskan airmata, terisak. Bermaksudlah menanyakan pada sang makmun, tapi Guru Han mencegah, lalu membisikkan sabda: " Patutlah dikau mencurigai makmun yang menangis dan terisak itu, sebagai insan yang mendengar bacaan datar sang imam, yang seolah-olah ayat-ayat itu ditujukan padanya. Datarnya cara membaca ayat, bisa menggetarkan jiwa, tinimbang bacaan yang mendayu-dayu nan sedih, namun itu adalah jebakan keindahan suara, buat telinga semata."
Senin, 20 Juni 2016
TAKJUB
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
01.34
Seorang adik kelas menanyakan, apa pekerjaan sahaya? Bingunglah menjawab, sebab semua profesi yang ia sebutkan sebagai dugaannya tidak ada yang cocok. Berceritalah ia tentang pekerjaannya, yang saat ini sudah menduduki jabatan kepala. Tentu banyak yang digapai dari jabatan itu, termasuk pendapatan yang sudah pasti. Tak mengapalah mengadu pada Guru Han tentang soal ini, nasehat pun menguar: " Bila dikau tak mampu menetapkan pekerjaanmu, pastilah pendapatanmu tak menentu. Sementara, yang sudah pasti pendapatannya, sudah pasti pula sasaran untuk menghabiskan pendapatan. Dikau yang tidak jelas pendapatannya, penuh ketidakpastian, itulah kelemahannya. Tapi, di balik ketidakpastian itu, amat banyak peluang keajaiban yang tersaji. Kejaiban otomatis melahirkan ketakjuban. Keajaiban, semirip mukjizat. Jadi, dikau yang penuh ketidakpastian, akan memanen begitu banyak keajaiban, lalu sebentuk rasa takjub menghidu diri. Ibaratnya, orang yang pasti pendapatannya, bagai bola lampu yang sekadar menerangi. Sebaliknya, orang yang penuh ketidakpastian penghasilan, laksana kembang api yang penuh sensasi."
Selasa, 14 Juni 2016
HARTA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
15.51
Tersebutlah seorang karib yang datang bertandang. Ia pun membabarkan resah-resahnya, tentang kekurangan harta yang melilitinya. Sahaya langsung bisa merasakannya. Sebab, hal yang sama menerungku sahaya, cuma lebih duluan menjalaninya. Saling curhat tak terhindarkan. Terkekehlah Guru Han, seolah mengejek kami dengan segenggam sabda: " Dikau masih sibuk saja bicara soal kekurangan material di bulan spiritual. Seharusnya, keberkekuranganmu itu adalah tirakahmu. Banyak kisanak yang tak punya jalan tirakat guna meningkatkan spiritualitasnya. Tentang harta, mana yang dikau pilih, harta atau pemilik harta. Bila harta, maka menjadilah dikau budaknya. Tapi, jika pilhan jatuh pada pemilknya, sungguh dikau menyata jadi hambanya. Sesosok tuan, pasti lebih tau kebutuhan hambanya."
Senin, 13 Juni 2016
PENGALAMAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.56
Terjadilah sahut-sahutan kata, yang sudah cendrung pada kengototan pendapat, tatkala seorang paruh baya membantai argumen sesosok yang lebih berumur darinya. Sahaya agak terbirit-birit dalam kekalutan pikiran menyaksikan silat pikiran itu. Oh... Guru Han, nyatalah dengan udar rasa, sebagaimana dedahan ujar sejauh ini: Maka meluncurlah tutur: " Menghormati orang yang lebih duluan merasakan sesuatu, jauh lebih penting. Sebab, padanya ada pengalaman. Bagi setiap orang yang mengalami, maka pasti akan merasakan keunikan, waima sulit dipercakapkan. Pengalaman itu unik. Sementara, pengetahuan cenderung menyeragamkan. Di dalam pengetahuan, sulit bicara keunikan."
Minggu, 12 Juni 2016
Pendusta Agama
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
21.13
Edunews, 13 Juni 2016
(1) Tahukah kamu orang
yang mendustakan agama? (2) Maka itulah yang menghardik anak yatim (3) Dan
tidak mendorong memberi makan orang miskin. (QS. Al-Maun, 1-3)
Realitas bulan suci
Ramadhan 1437H/ 2016 M, sepertinya tidaklah berbeda dengan Ramadan tahun-tahun
sebelumnya. Para produsen barang dan jasa yang memanfaatkan hasrat konsumerisme
dari konsumen yang lapar dan haus, dengan segala macam godaan, lewat iklan di
berbagai media: televisi, radio, koran dan dumay. Iklan seolah mengganti peran
Iblis yang telah dibelenggu selama bulan suci ini. Betapa tidak, mulai dari
saat menahan, kala imsak, hingga jelang buka puasa berondongan iklan konsumtif
hadir bertubi-tubi.
Pun acara televisi, tayangannya
disesuaikan dengan iklim Ramadan. Hadirlah sinetron religi, ajang hafids
Qur’an, pentas dai cilik, para selebriti yang tiba-tiba menjadi sangat religius
dan banyak lagi siaran yang senafas dengan itu, membuat televisi sebagai kotak
ajaib selaku pengkhotbah yang tak tertandingi. Tak ketinggalan di media sosial.
Semuanya turut larut dalam memeriahkan Ramadan
Demikian juga realitas
sosial, nampaknya masih sama seperti Ramadan yang lalu. Tiba-tiba pengemis di
perempatan lampu lalu lintas, sudut-dudut kota menyemut. Hadir pula peminta
sumbangan dari berbagai panti asuhan, berbekal seamplop proposal permintaan
zakat, infak dan sedekah. Kesemuanya muncul di bulan Ramadan. Ada kesan, bahwa
menyemutnya pengemis dan peminta sumbangan, sekadar memanfaatkan momentum
perburuan pahala dari para penyumbang, yang terprovokasi oleh para dai.
Ibarat gayut bersambut,
para dai menjelaskan keutamaan berzakat, infak dan sedekah dengan ganjaran
pahala yang berlipat-lipat. Para dermawan yang tergiur dengan janji pahala yang
tak berbatas dan tentu kaum tak berpunya yang melihat momentum ini sebagai
arena banjir rejeki. Bisa saja saya keliru, bila menyatakan bahwa apa yang
sesungguhnya terjadi ini, adalah sejenis ibadah yang masih bersifat
transaksional. Semua terjadi karena ada janji timbal balik, antara pemberi dan
penerima, atas jasa baik dari para dai yang mempertemukannya, sehingga
terjadilah transaksi pahala dan komoditas itu.
Sekali waktu, saya ikut
duduk menyambangi kedai seorang karib. Dari pagi hingga sore, paling tidak ada
empat orang yang datang ke kedai itu meminta sumbangan. Mulai dari sekadar
menyodorkan tangan yang telapaknya menghadap ke atas, membawa kotak amal dari
sebuah mesjid atau panti asuhan, hingga sejenis proposal yang kalau diamati
secara seksama, model dan isinya sama dengan lainnya. Dan, menurut karib saya
itu, sejak bulan Ramadan kejadian ini nyaris berlangsung setiap hari.
Sesungguhnya karib saya
mulai jenuh dengan peminta sumbangan itu. Namun, ia terhantui dengan sebuah
cerita, yang cerita itu juga pernah diceritakan pada saya oleh seorang tetua di
kampung halaman. Konon, pernah ada suatu kejadian, seseorang menolak
peminta-peminta yang bertandang ke mukimnya, bahkan dengan kasar tidak
meladeninya. Beberapa waktu kemudian, terbakarlah rumahnya. Ternyata, barulah
kemudian ia diberitahu bahwa peminta-minta yang ditolak itu, adalah nabi Khidir
as yang menyamar. Kisah ini, tetaplah tertanam di dasar pikiran, bahkan cukup
menghantui manakala berhadapan dengan peminta-minta.
Adalah nabi Muhammad SAW,
yang terlahir dalam keadaan yatim. Dan, ketika usianya beranjak enam tahun, sang
ibu pun meninggal, piatulah beliau. Ia pun diasuh oleh pamannya, Abu Thalib
sebagai anak yatim piatu, dan di saat yang bersamaan, sang paman pun bukanlah
orang yang berkecukupan. Yatim piatu dan kemiskinan, sudah akrab dengan Muhammad
SAW sejak kecil hingga masa kenabiannya, bahkan sampai era berakhirnya risalah
dari beliau. Jalan kehidupan dalam bingkai keyatiman, kepiatuan dan kemiskinan,
menyebabkan ia sangat mudah berempati.
Dalam sebuah buku yang
ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, keyatiman dan
kepiatuan serta kemiskinan dijelaskan cukup panjang, namun bisa disarikan bahwa
anak yatim piatu dan orang-orang miskin disimpaikan sebagai kaum mustha’dafin.
Orang-orang yang lemah, yang dibuat lemah dan sengsara serta ditindas adalah
kelompok mustha’dafin. Kaum mustha’dafin adalah kaum yang hancur hatinya. Dan,
perjalanan kenabian Muhammad SAW dihiasi dengan pembelaan kepada kaum ini,
bahkan pengikut awalnya di Mekkah adalah dari kaum mustha’dafin.
Pada konteks inilah relevansi
Al-Qur’an Surah Al-Maun ayat 1-3 patut
dikedepankan, ketika Tuhan bertanya lewat firmannya: Tahukah kamu orang yang
mendustakan agama? Mengabaikan anak yatim piatu, menyepelekan orang miskin,
berarti ikut mengukuhkan kaum mustha’dafin yang senantiasa tertindas dan
ditindas. Padahal, sejak semula kaum inilah yang dibela seempatik mungkin oleh
Muhammad SAW.
Masalahnya kemudian
adalah ketika segelintir orang saling memanfaatkan slogan menyantuni anak yatim
piatu dan kemiskinan. Tatkala seseorang mendefenisikan dirinya sebagai orang
miskin dan menjadikan mengemis sebagai profesi, atau seseorang yang
mengorganisir untuk tidak mengatakan memanfaatkan anak yatim piatu dan
kemiskinan dengan berkedok pada topeng kelembagaan. Atau para dai yang sekadar
memprovokasi para dermawan dan sang dermawan telah merasa kewajibannya juga
telah terpenuhi, dan lagi pula mendapatkan pahala yang berlipat.
Boleh jadi, seseorang
yang menjadikan mengemis dan
mengorganisir pengemis sebagai profesi, telah berdusta atas nama agama.
Demikian juga dengan sang dermawan yang sudah merasa terbebas dari kewajiban
dan setelah itu tidak lagi peduli setelah Ramadhan, patut didapuk sebagai
peleceh agama. Mungkin juga para dai terlibat dalam pemaknaan agama yang
dangkal, menggiring pengertian yang bersifat transakaional semata, disebut
selaku pengabai kedalaman ajaran agama. Adakah mereka para pendusta agama? Kira-kira,
sampai kapankah lingkaran masalah ini terhempas dari bulan suci Ramadan?
MOTIVATOR-INSPIRATOR
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
21.09
Entah apa di balik maksud seorang anak muda yang minta penjelasan tentang sosok motivator dan inspirator. Sahaya terkejut tiada tara, soalnya gampang susah menggambarkannya. Untunglah Guru Han langsung nyelutuk: " Motivator itu hadir dengan bicaranya,mulutnya bisa berbusa karena begitu banyak kata pembangun semangat yang disemburkan. Sementara, inspirator itu nampak pada lakunya. Perbuatannyalah yang bicara."
Ramadhan, Serona Festival Jiwa
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
06.25
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kama agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)
Alkisah, ketika saya memelihara beberapa ekor ayam kampung di belakang rumah, bertahun yang lalu, saya benar-benar larut dalam kepengurusan ternak ini. Sehingga, mengerti dan sekaligus mengalami, detail dari proses bagaimana sang induk dikawini, bertelur, mengerami dan menetasnya telur, lalu anak-anak ayam menyata. Selama mengerami, yang memangsa waktu kurang lebih 21 hari, ada prilakunya yang membuat saya amat takjub. Sang induk sepertinya menjalani puasa, setidaknya persentase makan dan minumnya berkurang dari hari ke hari. Dan, selama mengerami telur, enggan melakukan senggama.
Selama masih bertelur, sang induk masih biasa saja. Setelah mengeluarkan telurnya, pun lalu bergaul seperti biasanya. Prilaku mulai berubah, tatkala sang induk mulai mengerami telur-telur itu. Pekan pertama, setiap hari masih meninggalkan telur-telur itu. Setiba di pekan kedua, makin jarang meninggalkan telur-telurnya. Sesekali saja cari makan dan minum. Pada pekan terakhir, nyaris tak meninggalkan lagi telurnya. Konsentrasi maksimal dijalani demi menanti tetasnya telur. Dan, hingga tiga hari berikutnya, sang induk belum juga cari makan dan minum, masih setia menghangati anak-anaknya yang baru lahir.
Bertolak dari proses ayam yang kawin, bertelur, mengerami telurnya hingga menetasnya telur, lalu mengadanya anak-anak ayam, saya lalu membatin, sepertinya sang induk menjalani tapa laku, sejenis puasa, yang makin hari makin intens, demi kelahiran sang anak ayam, selaku makhluk baru, yang bakal menjalani siklus kehidupan yang ditetapkan padanya. Ini sejenis penanda, bahwa manakala akan ada kelahiran makhluk baru, selalu diawali oleh ritus-ritus yang mengorbankan kenyamanan jasmani, demi kepentingan ruhani.
Berpuasalah agar kamu bertakwa. Buah dari berpuasa adalah takwa. Derajat takwa, serupa dengan kualitas spiritual. Dan itu bersetuju dengan dimensi keruhanian. Jadi, sejatinya puasa adalah mengabaikan jasmani demi pencapaian ruhani. Dalam menjalaninya, semua yang berbau jasmani dibatasi pemenuhannya. Mulut, lidah, kelamin, mata, telinga, tangan, kaki dan berbagai pernak-pernik jasmani lainnya direm penggunaannya. Makan, minum, berbicara, melihat, mendengar, melangkah, menggapai, dan bersetubuh diatur sedemikian rupa, demi peningkatan ruhani.
Semua perintah yang ada kaitannya dengan puasa Ramadhan, selalu berdimensi keruhanian untuk memelihara jiwa. Perbanyak membaca al-Quran, shalat malam, berzakat-infak-sedekah, memberi buka puasa, dan lainnya, selalu berdimensi jasmani namun bermuara ruhani. Jasmani yang bersifat ragawi itu, benar-benar berfungsi selaku titian untuk meraih keagungan jiwan dan mencapai kemegahan ruhani. Pendeknya, jasmani yang ragawi, hanyalah alat-- bukan tujuan-- untuk meladeni tuannya yang berupa ruhani nan berjiwa suci.
Akan halnya realitas Ramadhan, yang didalamnya aktivitas puasa menjadi ikonnya, bagi sebagian besar umat, justru yang mengemuka adalah mempertontonkan laku jasmani yang maksimal. Berpuasa, sekadar menggeser jam makan dan minum. Tontonan di berbagai media, jauh dari tuntunan, tak lebih dari hiburan sambil menunggu berbuka. Sepanjang malam, jauh dari bersepi-sepi, melainkan kegaduhan yang menyeruak. Singkatnya, jauh lebih sibuk mengurus jasmaniah, tinimbang ruhaniahnya.
Padahal, sesarinya Ramadhan adalah festival bagi jiwa untuk terbang menggapai dimensi keruhanian, agar di akhirnya nanti, bilamana puasa berakhir dan idul fitri menyata, lahirlah manusia yang kembali pada fitrahnya, manusia suci seperti baru dilahirkan kembali.Namun, apa lacur, di pucuk Ramadhan justru puncak kepengurusan pada jasmani makin mendesak. Maka, Ramadhan selaku festival bagi jiwa, mewujud menjadi festival pemenuhan raga. Ironisnya, malah di puncak penantian kelahiran makhluk baru, manusia dengan jiwa baru, pada hari lebaran, yang baru hanyalah busana dan yang serumpun dengannya.
( Lembaran Kala, 12 Juni 2016)
Langganan:
Postingan (Atom)