Sekali waktu, Bung Karno mengutip seorang penyair
besar dari Firinze, Italia, Dante Aligheri, lewat karyanya, Divine Commedia,
tentang purgatorio, suatu tempat pensucian dari inferno (neraka)
menuju paradiso (surga). Dalam karya imajiner Dante itu, seolah
melakukan perjalanan dari kesaksiannya akan neraka dan tempat pensucian, lalu
ke surga. Singkatnya, ada sejenis simpulan imaji, bahwa untuk sampai kepada
kesucian, terbebas dari kekotoran, maka pensucian menjadi titian yang harus
dilewati.
Bertolak dari gagasan imajiner itu, tentang pensucian
agar sampai pada kesucian, saya ingin menyederhanakan soal pensucian ini lewat
peristiwa sehari-hari. Sebagai amsal saja, ketika ada pakain kotor yang ingin
dibersihkan, agar menjadi nirmala, maka haruslah disucikan lewat mekanisme
pencucian. Mencuci pakaian itu. Dan, setidaknya, ada empat tahapan dalam
mencuci pakaian kotor, baik lewat cara manual maupun melalui mesin cuci.
Langkah pertama yang mesti dilakukan, dengan merendam
pakaian itu bersama diterjen. Setelahnya, dikuceklah atau diputar sedemikian
rupa oleh mesin cuci. Selanjutnya, dilakukan pembilasan. Membilas pakain itu,
hingga berkali-kali, sampai dianggap bahwa sudah tidak berditerjen lagi.
Tindakan terakhir, mengeringkannya lewat mesin cuci atawa memerasnya lalu
dijemur. Proses dari yang paling awal sampai akhir tindakan, mencerminkan
perjalanan bagaimana selembar pakaian kotor, bila ingin dibersihkan, maka harus
tunduk pada mekanisme pencucian ini.
Seperti halnya, tatkala seseorang ingin membersihkan
dirinya, maka untuk sampai kepada kebersihan diri, haruslah memandikan dirinya.
Mandi adalah sejenis tindakan membersihkan diri. Dalam proses pemandian, pun
ada mekanisme yang standar. Paling tidak mengikuti empat tahapan, seperti
halnya dalam mencuci pakaian. Setiap diri mesti lebih dahulu membasahi seluruh
tubuhnya dengan air. Sesudahnya, digosoklah badan dengan memakai sabun, lalu
membilasnya hingga busa sabun itu raib. Dan, paling akhir menegringkan badan
dengan handuk atau yang sejenisnya. Mekaisme mandi ini, bakal menghasilkan
tubuh yang bersih, segar dan bugar.
Analogi pencucian pakaian kotor atau memandikan badan
dari setiap diri, dapat saya sepadankan, tatkala ingin mengedapankan cara
membersihkan ruhani, mensucikan jiwa. Pensucian jiwa mesti dapat pula diajukan
mekanisme dalam rangka mengkuduskannya. Bila putaran hidup selama setahun
memangsa waktu dua belas bulan, maka ada satu bulan yang dikhususkan sebagai
bulan pensucian di kalangan umat Islam. Bagi kaum yang memeluk Islam sebagai
agamanya, bulan Ramadhan adalah sejenis fasilitas untuk mensucikan jiwa, guna
mentahrirkan dirinya dari segala macam noda keruhanian.
Tak mengapalah bila saya mengadaptasi empat mekanisme
pencucian pakaian atau pemandian jasmani ke dalam pensucian jiwa di bulan
Ramadhan. Anggaplah selama bulan Ramadhan itu saya bagi menjadi empat pekan.
Maka pekan pertama bersetuju dengan perendaman jiwa, agar jiwa menjadi lebih
mudah dikucek sekaligus diputar pada pekan berikutnya. Pada pekan ketiga
Ramadhan, selayaknya setiap insan mulai membilas jiwanya untuk mempersiapkan
diri memasuki pekan keempat, guna menjemur jiwanya, agar di hari fitri, saat
lebaran, benar-benarlah yang nampak adalah saridiri. Jiwa yang khalis bin
mukhlis.
Pada konteks inilah, dalam bulan Ramadhan mendedahkan
beberapa fasilitas pensucian yang disiapkan sebagai diterjen atau sabunnya,
guna membantu pengkucekan jiwa. Tersebutlah, bahwa bulan Ramadhan ini adalah
bulan berkah, rahmat, dan ampunan. Yang darinya membuahkan pengiring sebagai
bulan berbagi, berkhidmat dan rekonsiliasi jatidiri.
Disematkannya bulan Ramadhan sebagai bulan penuh
berkah, sebab di dalamnya segala macam perbuatan baik diberi ganjaran
keberkahan, berupa kelebihan manfaat dari biasanya. Secara kuantitatif, pahala
amal baik dilipatgandakan jumlah hitungannya. Karena memang sedarinya,
pengertian berkah adalah adanya nilai lebih atas manfaat yang diberikan dari
situasi umum. Tindakan biasa, namun membuahkan hasil yang luar biasa.
Pun ketika dititelkan pada bulan Ramadhan selaku bulan
rahmat, karena pada bulan inilah sepatutnya rasa saling menyayangi sesama
diumbar semaksimal mungkin. Bulan kasih sayang dimaknai sebagai upaya berbagi
kasih sayang kepada yang amat membutuhkan. Orang-orang yang jauh dari sentuhan
kasih, sedapatnya pada bulan inilah sebagai lahan untuk mendapatkannya.
Insan-insan yang luput dari elusan sayang, sesungguhnya lewat bulan ini berhak
meraih kesungguhan dari para penderma.
Dan, digelarinya bulan Ramadhan serupa bulan ampunan,
lantaran Tuhan menggelontorkan ampunannya. Kewajiban insanlah memohon ampunan
itu. melalui pertobatan. Melafazkan zikir dan doa, merapalkan serona mantra
pembujuk pada Ilahi, agar siraman ampunan bertubi-tubi hadir mengada, dalam
wujud jaminan keselamatan di dunia dan akhirat. Tiada yang lebih diimingkan
oleh seorang budak pada tuannya selain dari ampunan kala bersalah. Begitu juga,
tak ada yang bakal diidamkan oleh seorang hamba ke Tuhannya, melainkan
terhapusnya dosa.
Insan yang terberkahi, dilimpahi rahmat dan diampuni,
adalah insan yang berhasil meraih predikat takwa, sebagai buah dari kelulusan
di madrasah ruhaniah pada bulan Ramadhan. Refleksinya, tercermin pada makin
kuatnya keinginan untuk berbagi, pengkhidmatanya seolah tak terbendung dalam
melayani sesama dan seraut wajah yang penuh pesona, serupa persona yang mampu
merekonsiliasi dirinya. Jadi, bulan Ramadhan adalah titian pensucian jiwa agar
dimensi keruhanian setiap diri menemukenali saridirinya.
(Edunews, 19 Juni 2016)
0 komentar:
Posting Komentar