Adakah kerinduan yang melebihi kerinduan seorang penanti,
bila sebelas bulan kepergiannya akan datang bertamu lagi? Begitulah Ramadhan, salah satu bulan yang
dinanti bagi perindu. Jika tidak ada yang merintanginya – pastilah tak ada yang
menghalanginya – pekan kedua bulan Juni 2016, sang Bulan, yang dinisbahkan
sebagai bulannya umat Muhammad SAW, hadir menyata. Bukan saja yang bernama
Ramadhan atau Ramadhani yang beriang bahagia, tapi sekaum penunggu akan
mempersiapkan diri menyambutnya.
Aneka cara para perindu menyambutnya. Ada yang pergi
rekreasi pada hari Ahad terakhir, karena menurutnya selama bulan Ramadhan, tak
elok bersukaria. Pun, ada jua yang mulai menghitung anggaran pendapatan dan
belanja selama Ramadhan, hingga prediksi lebarannya. Penjual songkok aneka
model mulai bertebaran di seantero kota. Pengurus masjid membenahi segala macam
asesori pendukung kegiatan bulan suci, termasuk menetapkan tarif buat
penceramah tarwih. Segenap penceramah mulai memilih dan memilah, masjid mana
yang akan disahuti undangannya. Pengelolah panti asuhan segera menggandakan
proposal permintaan zakat, infak dan sedekah.
Namun, yang paling siap menyambut, bahkan sepekan sebelum
datang sang tamu, prakondisi penyambutan sudah ditabuh gendrangnya. Tengoklah pasar-pasar
tradisional, sampai mall-mall, sudah berlomba membentangkan iklan, akan janji
kenyamanan dan harga diskon. Tengoklah saluran TV, lebih siap lagi dengan
seabrek program yang ditawarkan, 24 jam, mulai dari buka puasa sampai buka
puasa lagi. Dan, tak boleh disepelekan, para pengusaha kuliner dadakan, jajanan
buka puasa, pun jauh lebih sigap memanfaatkan rasa haus dan lapar kaum yang
berpuasa.
Selaku perindu, saya pun tak ketinggalan melakukan
penyambutan. Dua atau tiga hari sebelum ketetapan Ramadhan diumumkan, saya akan
melakukan ziarah kubur, ke makam kakek-nenek, abba-amma dan paman-tante,
serta kerabat lainnya. Pun, tak lupa bersilaturrahim ke sanak keluarga, memohon
maaf, saling mendoakan agar dalam menjalankan ibadah puasa, berberkah adanya.
Dan, tak ketinggalan, suatu ritus yang sudah bertahun-tahun saya jalani,
melibatkan keluarga kecil saya, berupa membeli seekor ayam kampung, disembelih
sehari sebelum puasa, tepatnya, disantap pada saat sahur pertama secara
berjamaah.
Sekali waktu, entah Ramadhan tahun berapa, saya sudah lupa. Ketika
itu, salah seorang cilik di rumah bertanya pada saya, “mengapa mesti potong
ayam kampung setiap menyambut bulan Ramadhan?” Pertanyaan semacam ini, cukup
membuat kesulitan saya menjawab. Bukan karena saya tidak punya jawaban,
melainkan bagaimana menjelaskan kepada seorang cilik -- yang sebenarnya amat
suka pada ayam-- tentang ritus ini. Jawaban pun saya sederhanakan, bahwasanya
Ramadhan itu selaku tamu agung yang mesti disambut penuh kebesaran jiwa. Dan,
sebagai penghargaan pada sang tamu, selayaknyalah menyajikan menu terbaik,
meski makanan itu, kita semua yang menyantapnya.
Prihal asal muasal ritus potong ayam kampung, sahur
berjamaah dengan menu ayam ini adalah warisan dari keluarga pihak saya. Abba
( Ayah) dan Amma (Ibu) saya berlaku serupa tatkala bulan suci ini tiba. Namanya kebiasaan, lalu
menjadi tradisi keluarga, rasanya, agak ganjil bila tak melakukannya. Jadi, ini
tidak ada kaitannya dengan perintah yang punya dalil keagamaan. Semata-mata
menggembirakan diri, karena Ramadhan mengada lagi dan masih bisa bersua,
menjalani berbagai suguhan festival ibadah yang dikandungnya. Sekaligus,
sebagai salah satu cara mengenang kembali akan kebersamaan, tatkala orang tua
dan sanak saudara masih berkumpul dalam satu keluarga lengkap.
Hari pertama Ramadhan selalu saja mengundang tanda tanya
kapan kepastiannya, mengandung misteri penetapannya. Ini soal metode penetapannya
yang masih menghargai perbedaan metode penetapan, sehingga perbedaan
memulainya, memungkinkan ada perbedaan di kalangan umat. Yang pasti, Ramadhan
akan datang sebagai tamu agung di tahun 2016, pada pekan kedua bulan Juni. Bagi
cilik saya di rumah, tak soal kapan dimulainya, mau sama atau berbeda, toh
selisihnya hanya sehari. Nanti menjadi
soal besar, bilamana tak ada menu ayam kampung di sahur pertama. Bisa-bisa
tamunya ngambek, bersama si cilik, dengan lakon belum ingin berpuasa, sebab
sang tamu enggan datang, karena tiada ayam di meja makan
(050616)
0 komentar:
Posting Komentar