Tidak ada yang lebih cermat mengatur waktu di bulan
Juli 2016 M, yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1437 H, selain dari para
pemburu pahala dan penggila sepak bola. Apa pasalnya? Pada bulan inilah bertemu
dua perkara yang sama-sama membutuhkan perhatian tiada tara. Ramadhan dengan
segala pernak-pernik ikutannya dan perhelatan sepak bola Piala Eropa, bersama
ragam kintilnya, yang diikuti oleh 24 negara.
Bagi pemburu pahala, bulan ini menubuhkan bulan
berkah, rahmat dan ampunan. Sementara, bagi penggila sepak bola, candra ini
melukiskan pesta bintang-bintang sepak bola kawasan Eropa. Saya sendiri,
menjadi bagian dari dua perjamuan ini. Sebagai seorang muslim, patutlah saya
membenamkan diri dalam lautan janji pahala. Dan, selaku penikmat sepak bola, benar-benarlah ini peristiwa dua tahunan yang hanya terkalahkan oleh peristiwa
empat tahunan, Piala Dunia. Terterungkunya saya dalam dua momen ini, sebab ada
upaya menjadi seorang muslim yang makin religius, sekaligus penikmat sepak bola
yang kian khusyuk.
Bertumbukannya waktu yang terpilih akan dua peristiwa
ini, justru menimbulkan masalah tersendiri. Sebab, terkadang antara waktu
ibadah dan siaran langsung pertandingan bersamaan adanya. Ibadah Ramadhan,
semisal shalat tarwih berjamaah di masjid, bisa bertepatan waktunya dengan
jadwal pertandingan yang pluitnya ditiup pada pukul 21.30. Pun, dalam semalam,
biasanya ada tiga jadwal perlagaan; di awal malam, tengah malam dan dinihari
jelang subuh. Jadi, pilihannya antara ibadah dan nonton. Betul-betullah menjadi
dilema bagi para pengejar pahala dan penggendeng sepak bola.
Seorang karib yang amat religius, sekaligus maniak
sepak bola membagikan tipsnya. Menurutnya, dalam semalam, kesemuanya bisa
didamaikan dengan santun, yang penting cermat dalam mengelola waktu. Maka
dipilihlah masjid yang menyelenggarakan shalat tarwih yang berakhir saat jelang
pluit pertandingan pertama ditiup, lalu menonton pertandingan berikutnya hingga
tengah malam, kemudian tidur dan bangun kembali ketika pertandingan dinihari
mau kick off, tapi sebelumnya qiyamul lail (shalat malam)
terlebih dahulu, plus mendoakan tim kesayangan. Dan, sahurnya di depan TV,
nonton sambil bersantap dalam intaian waktu imsyak.
Kiat dari karib tersebut membuat saya mendaras kembali
sebuah buku yang dianggit oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual
Intelligent - The Ultimate Intelligent. Dalam buku ini dijelaskan perbedaan
antara religiusitas dan spiritualitas. Dituliskannya bahwa, SQ (Spritual
Intelligent-Kecerdasan Spiritual), tidak mesti berhubungan dengan agama (religion).
Bagi sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama
formal, tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan
ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama
mempunyai SQ amat rendah.
Bagi Zohar dan Marshall, agama merupakan seperangkat
aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Ia bersifat top-down,
diwarisi dari pendeta, nabi dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan
tradisi. SQ adalah kemampuan internal, bawaan otak dan jiwa manusia ,
yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta itu sendiri. SQ merupakan
fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk
menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Kecerdasan
spiritual serona kecerdasan jiwa. Ia mencorakkan kecerdasan yang dapat membantu
kita menyembuhkan dan membangun diri secara utuh.
Jadi, kelihatannya dalam menghadapi dilema antara
peraduan sepak bola dan ibadah Ramadhan, yang dibutuhkan adalah kecerdasan
spiritual. Sudut pandang yang penuh aura spiritualitas. Sebab, bila saja yang
dikedepankan sikap religiusitas, maka tidak menutup kemungkinan dilema itu
bukan saja tidak mendapatkan solusi, malah bisa menjadi pemicu sikap yang
memandang peristiwa sepak bola sebagai permanan anti agama, sehingga tidak
sedikit yang mengistilahkan bahwa sepak bola telah menjadi “agama” baru di
dunia ini. Bukankah amat mudah ditemukan, seorang yang kelihatan religius,
memandang sepak bola sebagai permainan sesat dan menyesatkan?
Bagi seorang spiritualis, apapun realitas di dunia
bisa dijadikan sebagai medium untuk mengaktuilkan spiritualitasnya, rasa dekat
pada Tuhan. Termasuklah wujud persabungan sepak bola. Apatah lagi, dalam permainan
sepak bola, di balik pertunjukan yang mengandalkan keterampilan ragawi,
terselubung kekuatan jiwa yang cukup menentukan keberhasilan pertandingan.
Sehingga, sepak bola di era kiwari ini makin berjiwa, tidak sekadar kompetisi
yang akan menghasilkan pemenang. Tapi, bagaimana kemenangan itu diraih dengan
spirit sedemikian rupa, bahkan kalaupun harus kalah, masih dalam kerangka
spiritualitas, kalah terhormat.
Akhirnya, Ramadhan pun sebagai bulan yang dijanjikan
sebagai bulan kemewahan akan kelimpahan pahala, tidaklah memadai bila hanya
sekadar semangat religiusitas yang mengawalnya. Terjebak pada formalitas ibadah
semata, sehingga puasa yang dijalani hanya berujung pada lapar dan haus, serta
shalat tarwih dan qiyamul lail tidak lebih dari gerakan ragawi belaka,
sejenis senam kesegaran jasmani. Nilai-nilai dalam bulan Ramadhan dan jiwa-jiwa
yang menggerakkan permainan sepak bola, bisa bertemu dalam spiritualitas.
Sebab, keduanya bisa dipandang sebagai titian untuk mengaktuilkan
spiritualitas, mengajuk aura ilahiah.
(Edunews, 26 Juni 2016)
0 komentar:
Posting Komentar