Selasa, 28 Juni 2016

Sepak Bola, Religiusitas dan Spiritualitas




Tidak ada yang lebih cermat mengatur waktu di bulan Juli 2016 M, yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1437 H, selain dari para pemburu pahala dan penggila sepak bola. Apa pasalnya? Pada bulan inilah bertemu dua perkara yang sama-sama membutuhkan perhatian tiada tara. Ramadhan dengan segala pernak-pernik ikutannya dan perhelatan sepak bola Piala Eropa, bersama ragam kintilnya, yang diikuti oleh 24 negara.

Bagi pemburu pahala, bulan ini menubuhkan bulan berkah, rahmat dan ampunan. Sementara, bagi penggila sepak bola, candra ini melukiskan pesta bintang-bintang sepak bola kawasan Eropa. Saya sendiri, menjadi bagian dari dua perjamuan ini. Sebagai seorang muslim, patutlah saya membenamkan diri dalam lautan janji pahala. Dan, selaku penikmat sepak bola, benar-benarlah ini peristiwa dua tahunan yang hanya terkalahkan oleh peristiwa empat tahunan, Piala Dunia. Terterungkunya saya dalam dua momen ini, sebab ada upaya menjadi seorang muslim yang makin religius, sekaligus penikmat sepak bola yang kian khusyuk.

Bertumbukannya waktu yang terpilih akan dua peristiwa ini, justru menimbulkan masalah tersendiri. Sebab, terkadang antara waktu ibadah dan siaran langsung pertandingan bersamaan adanya. Ibadah Ramadhan, semisal shalat tarwih berjamaah di masjid, bisa bertepatan waktunya dengan jadwal pertandingan yang pluitnya ditiup pada pukul 21.30. Pun, dalam semalam, biasanya ada tiga jadwal perlagaan; di awal malam, tengah malam dan dinihari jelang subuh. Jadi, pilihannya antara ibadah dan nonton. Betul-betullah menjadi dilema bagi para pengejar pahala dan penggendeng sepak bola.

Seorang karib yang amat religius, sekaligus maniak sepak bola membagikan tipsnya. Menurutnya, dalam semalam, kesemuanya bisa didamaikan dengan santun, yang penting cermat dalam mengelola waktu. Maka dipilihlah masjid yang menyelenggarakan shalat tarwih yang berakhir saat jelang pluit pertandingan pertama ditiup, lalu menonton pertandingan berikutnya hingga tengah malam, kemudian tidur dan bangun kembali ketika pertandingan dinihari mau kick off, tapi sebelumnya qiyamul lail (shalat malam) terlebih dahulu, plus mendoakan tim kesayangan. Dan, sahurnya di depan TV, nonton sambil bersantap dalam intaian waktu imsyak.

Kiat dari karib tersebut membuat saya mendaras kembali sebuah buku yang dianggit oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligent - The Ultimate Intelligent. Dalam buku ini dijelaskan perbedaan antara religiusitas dan spiritualitas. Dituliskannya bahwa, SQ (Spritual Intelligent-Kecerdasan Spiritual), tidak mesti berhubungan dengan agama (religion). Bagi sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama mempunyai SQ amat rendah.

Bagi Zohar dan Marshall, agama merupakan seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Ia bersifat top-down, diwarisi dari pendeta, nabi dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan tradisi. SQ adalah kemampuan internal, bawaan otak dan jiwa manusia , yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta itu sendiri. SQ merupakan fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Kecerdasan spiritual serona kecerdasan jiwa. Ia mencorakkan kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri secara utuh.

Jadi, kelihatannya dalam menghadapi dilema antara peraduan sepak bola dan ibadah Ramadhan, yang dibutuhkan adalah kecerdasan spiritual. Sudut pandang yang penuh aura spiritualitas. Sebab, bila saja yang dikedepankan sikap religiusitas, maka tidak menutup kemungkinan dilema itu bukan saja tidak mendapatkan solusi, malah bisa menjadi pemicu sikap yang memandang peristiwa sepak bola sebagai permanan anti agama, sehingga tidak sedikit yang mengistilahkan bahwa sepak bola telah menjadi “agama” baru di dunia ini. Bukankah amat mudah ditemukan, seorang yang kelihatan religius, memandang sepak bola sebagai permainan sesat dan menyesatkan?

Bagi seorang spiritualis, apapun realitas di dunia bisa dijadikan sebagai medium untuk mengaktuilkan spiritualitasnya, rasa dekat pada Tuhan. Termasuklah wujud persabungan sepak bola. Apatah lagi, dalam permainan sepak bola, di balik pertunjukan yang mengandalkan keterampilan ragawi, terselubung kekuatan jiwa yang cukup menentukan keberhasilan pertandingan. Sehingga, sepak bola di era kiwari ini makin berjiwa, tidak sekadar kompetisi yang akan menghasilkan pemenang. Tapi, bagaimana kemenangan itu diraih dengan spirit sedemikian rupa, bahkan kalaupun harus kalah, masih dalam kerangka spiritualitas, kalah terhormat.

Akhirnya, Ramadhan pun sebagai bulan yang dijanjikan sebagai bulan kemewahan akan kelimpahan pahala, tidaklah memadai bila hanya sekadar semangat religiusitas yang mengawalnya. Terjebak pada formalitas ibadah semata, sehingga puasa yang dijalani hanya berujung pada lapar dan haus, serta shalat tarwih dan qiyamul lail tidak lebih dari gerakan ragawi belaka, sejenis senam kesegaran jasmani. Nilai-nilai dalam bulan Ramadhan dan jiwa-jiwa yang menggerakkan permainan sepak bola, bisa bertemu dalam spiritualitas. Sebab, keduanya bisa dipandang sebagai titian untuk mengaktuilkan spiritualitas, mengajuk aura ilahiah.
(Edunews, 26 Juni 2016)

0 komentar:

Posting Komentar