Edunews, 13 Juni 2016
(1) Tahukah kamu orang
yang mendustakan agama? (2) Maka itulah yang menghardik anak yatim (3) Dan
tidak mendorong memberi makan orang miskin. (QS. Al-Maun, 1-3)
Realitas bulan suci
Ramadhan 1437H/ 2016 M, sepertinya tidaklah berbeda dengan Ramadan tahun-tahun
sebelumnya. Para produsen barang dan jasa yang memanfaatkan hasrat konsumerisme
dari konsumen yang lapar dan haus, dengan segala macam godaan, lewat iklan di
berbagai media: televisi, radio, koran dan dumay. Iklan seolah mengganti peran
Iblis yang telah dibelenggu selama bulan suci ini. Betapa tidak, mulai dari
saat menahan, kala imsak, hingga jelang buka puasa berondongan iklan konsumtif
hadir bertubi-tubi.
Pun acara televisi, tayangannya
disesuaikan dengan iklim Ramadan. Hadirlah sinetron religi, ajang hafids
Qur’an, pentas dai cilik, para selebriti yang tiba-tiba menjadi sangat religius
dan banyak lagi siaran yang senafas dengan itu, membuat televisi sebagai kotak
ajaib selaku pengkhotbah yang tak tertandingi. Tak ketinggalan di media sosial.
Semuanya turut larut dalam memeriahkan Ramadan
Demikian juga realitas
sosial, nampaknya masih sama seperti Ramadan yang lalu. Tiba-tiba pengemis di
perempatan lampu lalu lintas, sudut-dudut kota menyemut. Hadir pula peminta
sumbangan dari berbagai panti asuhan, berbekal seamplop proposal permintaan
zakat, infak dan sedekah. Kesemuanya muncul di bulan Ramadan. Ada kesan, bahwa
menyemutnya pengemis dan peminta sumbangan, sekadar memanfaatkan momentum
perburuan pahala dari para penyumbang, yang terprovokasi oleh para dai.
Ibarat gayut bersambut,
para dai menjelaskan keutamaan berzakat, infak dan sedekah dengan ganjaran
pahala yang berlipat-lipat. Para dermawan yang tergiur dengan janji pahala yang
tak berbatas dan tentu kaum tak berpunya yang melihat momentum ini sebagai
arena banjir rejeki. Bisa saja saya keliru, bila menyatakan bahwa apa yang
sesungguhnya terjadi ini, adalah sejenis ibadah yang masih bersifat
transaksional. Semua terjadi karena ada janji timbal balik, antara pemberi dan
penerima, atas jasa baik dari para dai yang mempertemukannya, sehingga
terjadilah transaksi pahala dan komoditas itu.
Sekali waktu, saya ikut
duduk menyambangi kedai seorang karib. Dari pagi hingga sore, paling tidak ada
empat orang yang datang ke kedai itu meminta sumbangan. Mulai dari sekadar
menyodorkan tangan yang telapaknya menghadap ke atas, membawa kotak amal dari
sebuah mesjid atau panti asuhan, hingga sejenis proposal yang kalau diamati
secara seksama, model dan isinya sama dengan lainnya. Dan, menurut karib saya
itu, sejak bulan Ramadan kejadian ini nyaris berlangsung setiap hari.
Sesungguhnya karib saya
mulai jenuh dengan peminta sumbangan itu. Namun, ia terhantui dengan sebuah
cerita, yang cerita itu juga pernah diceritakan pada saya oleh seorang tetua di
kampung halaman. Konon, pernah ada suatu kejadian, seseorang menolak
peminta-peminta yang bertandang ke mukimnya, bahkan dengan kasar tidak
meladeninya. Beberapa waktu kemudian, terbakarlah rumahnya. Ternyata, barulah
kemudian ia diberitahu bahwa peminta-minta yang ditolak itu, adalah nabi Khidir
as yang menyamar. Kisah ini, tetaplah tertanam di dasar pikiran, bahkan cukup
menghantui manakala berhadapan dengan peminta-minta.
Adalah nabi Muhammad SAW,
yang terlahir dalam keadaan yatim. Dan, ketika usianya beranjak enam tahun, sang
ibu pun meninggal, piatulah beliau. Ia pun diasuh oleh pamannya, Abu Thalib
sebagai anak yatim piatu, dan di saat yang bersamaan, sang paman pun bukanlah
orang yang berkecukupan. Yatim piatu dan kemiskinan, sudah akrab dengan Muhammad
SAW sejak kecil hingga masa kenabiannya, bahkan sampai era berakhirnya risalah
dari beliau. Jalan kehidupan dalam bingkai keyatiman, kepiatuan dan kemiskinan,
menyebabkan ia sangat mudah berempati.
Dalam sebuah buku yang
ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, keyatiman dan
kepiatuan serta kemiskinan dijelaskan cukup panjang, namun bisa disarikan bahwa
anak yatim piatu dan orang-orang miskin disimpaikan sebagai kaum mustha’dafin.
Orang-orang yang lemah, yang dibuat lemah dan sengsara serta ditindas adalah
kelompok mustha’dafin. Kaum mustha’dafin adalah kaum yang hancur hatinya. Dan,
perjalanan kenabian Muhammad SAW dihiasi dengan pembelaan kepada kaum ini,
bahkan pengikut awalnya di Mekkah adalah dari kaum mustha’dafin.
Pada konteks inilah relevansi
Al-Qur’an Surah Al-Maun ayat 1-3 patut
dikedepankan, ketika Tuhan bertanya lewat firmannya: Tahukah kamu orang yang
mendustakan agama? Mengabaikan anak yatim piatu, menyepelekan orang miskin,
berarti ikut mengukuhkan kaum mustha’dafin yang senantiasa tertindas dan
ditindas. Padahal, sejak semula kaum inilah yang dibela seempatik mungkin oleh
Muhammad SAW.
Masalahnya kemudian
adalah ketika segelintir orang saling memanfaatkan slogan menyantuni anak yatim
piatu dan kemiskinan. Tatkala seseorang mendefenisikan dirinya sebagai orang
miskin dan menjadikan mengemis sebagai profesi, atau seseorang yang
mengorganisir untuk tidak mengatakan memanfaatkan anak yatim piatu dan
kemiskinan dengan berkedok pada topeng kelembagaan. Atau para dai yang sekadar
memprovokasi para dermawan dan sang dermawan telah merasa kewajibannya juga
telah terpenuhi, dan lagi pula mendapatkan pahala yang berlipat.
Boleh jadi, seseorang
yang menjadikan mengemis dan
mengorganisir pengemis sebagai profesi, telah berdusta atas nama agama.
Demikian juga dengan sang dermawan yang sudah merasa terbebas dari kewajiban
dan setelah itu tidak lagi peduli setelah Ramadhan, patut didapuk sebagai
peleceh agama. Mungkin juga para dai terlibat dalam pemaknaan agama yang
dangkal, menggiring pengertian yang bersifat transakaional semata, disebut
selaku pengabai kedalaman ajaran agama. Adakah mereka para pendusta agama? Kira-kira,
sampai kapankah lingkaran masalah ini terhempas dari bulan suci Ramadan?
0 komentar:
Posting Komentar