Minggu, 12 Juni 2016

Pendusta Agama



Edunews, 13 Juni 2016


(1) Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? (2) Maka itulah yang menghardik anak yatim (3) Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (QS. Al-Maun, 1-3)


Realitas bulan suci Ramadhan 1437H/ 2016 M, sepertinya tidaklah berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Para produsen barang dan jasa yang memanfaatkan hasrat konsumerisme dari konsumen yang lapar dan haus, dengan segala macam godaan, lewat iklan di berbagai media: televisi, radio, koran dan dumay. Iklan seolah mengganti peran Iblis yang telah dibelenggu selama bulan suci ini. Betapa tidak, mulai dari saat menahan, kala imsak, hingga jelang buka puasa berondongan iklan konsumtif hadir bertubi-tubi.

Pun acara televisi, tayangannya disesuaikan dengan iklim Ramadan. Hadirlah sinetron religi, ajang hafids Qur’an, pentas dai cilik, para selebriti yang tiba-tiba menjadi sangat religius dan banyak lagi siaran yang senafas dengan itu, membuat televisi sebagai kotak ajaib selaku pengkhotbah yang tak tertandingi. Tak ketinggalan di media sosial. Semuanya turut larut dalam memeriahkan Ramadan

Demikian juga realitas sosial, nampaknya masih sama seperti Ramadan yang lalu. Tiba-tiba pengemis di perempatan lampu lalu lintas, sudut-dudut kota menyemut. Hadir pula peminta sumbangan dari berbagai panti asuhan, berbekal seamplop proposal permintaan zakat, infak dan sedekah. Kesemuanya muncul di bulan Ramadan. Ada kesan, bahwa menyemutnya pengemis dan peminta sumbangan, sekadar memanfaatkan momentum perburuan pahala dari para penyumbang, yang terprovokasi oleh para dai.

Ibarat gayut bersambut, para dai menjelaskan keutamaan berzakat, infak dan sedekah dengan ganjaran pahala yang berlipat-lipat. Para dermawan yang tergiur dengan janji pahala yang tak berbatas dan tentu kaum tak berpunya yang melihat momentum ini sebagai arena banjir rejeki. Bisa saja saya keliru, bila menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya terjadi ini, adalah sejenis ibadah yang masih bersifat transaksional. Semua terjadi karena ada janji timbal balik, antara pemberi dan penerima, atas jasa baik dari para dai yang mempertemukannya, sehingga terjadilah transaksi pahala dan komoditas itu.

Sekali waktu, saya ikut duduk menyambangi kedai seorang karib. Dari pagi hingga sore, paling tidak ada empat orang yang datang ke kedai itu meminta sumbangan. Mulai dari sekadar menyodorkan tangan yang telapaknya menghadap ke atas, membawa kotak amal dari sebuah mesjid atau panti asuhan, hingga sejenis proposal yang kalau diamati secara seksama, model dan isinya sama dengan lainnya. Dan, menurut karib saya itu, sejak bulan Ramadan kejadian ini nyaris berlangsung setiap hari.

Sesungguhnya karib saya mulai jenuh dengan peminta sumbangan itu. Namun, ia terhantui dengan sebuah cerita, yang cerita itu juga pernah diceritakan pada saya oleh seorang tetua di kampung halaman. Konon, pernah ada suatu kejadian, seseorang menolak peminta-peminta yang bertandang ke mukimnya, bahkan dengan kasar tidak meladeninya. Beberapa waktu kemudian, terbakarlah rumahnya. Ternyata, barulah kemudian ia diberitahu bahwa peminta-minta yang ditolak itu, adalah nabi Khidir as yang menyamar. Kisah ini, tetaplah tertanam di dasar pikiran, bahkan cukup menghantui manakala berhadapan dengan peminta-minta.

Adalah nabi Muhammad SAW, yang terlahir dalam keadaan yatim. Dan, ketika usianya beranjak enam tahun, sang ibu pun meninggal, piatulah beliau. Ia pun diasuh oleh pamannya, Abu Thalib sebagai anak yatim piatu, dan di saat yang bersamaan, sang paman pun bukanlah orang yang berkecukupan. Yatim piatu dan kemiskinan, sudah akrab dengan Muhammad SAW sejak kecil hingga masa kenabiannya, bahkan sampai era berakhirnya risalah dari beliau. Jalan kehidupan dalam bingkai keyatiman, kepiatuan dan kemiskinan, menyebabkan ia sangat mudah berempati.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, keyatiman dan kepiatuan serta kemiskinan dijelaskan cukup panjang, namun bisa disarikan bahwa anak yatim piatu dan orang-orang miskin disimpaikan sebagai kaum mustha’dafin. Orang-orang yang lemah, yang dibuat lemah dan sengsara serta ditindas adalah kelompok mustha’dafin. Kaum mustha’dafin adalah kaum yang hancur hatinya. Dan, perjalanan kenabian Muhammad SAW dihiasi dengan pembelaan kepada kaum ini, bahkan pengikut awalnya di Mekkah adalah dari kaum mustha’dafin.

Pada konteks inilah relevansi Al-Qur’an  Surah Al-Maun ayat 1-3 patut dikedepankan, ketika Tuhan bertanya lewat firmannya: Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mengabaikan anak yatim piatu, menyepelekan orang miskin, berarti ikut mengukuhkan kaum mustha’dafin yang senantiasa tertindas dan ditindas. Padahal, sejak semula kaum inilah yang dibela seempatik mungkin oleh Muhammad SAW.

Masalahnya kemudian adalah ketika segelintir orang saling memanfaatkan slogan menyantuni anak yatim piatu dan kemiskinan. Tatkala seseorang mendefenisikan dirinya sebagai orang miskin dan menjadikan mengemis sebagai profesi, atau seseorang yang mengorganisir untuk tidak mengatakan memanfaatkan anak yatim piatu dan kemiskinan dengan berkedok pada topeng kelembagaan. Atau para dai yang sekadar memprovokasi para dermawan dan sang dermawan telah merasa kewajibannya juga telah terpenuhi, dan lagi pula mendapatkan pahala yang berlipat.

Boleh jadi, seseorang yang menjadikan mengemis  dan mengorganisir pengemis sebagai profesi, telah berdusta atas nama agama. Demikian juga dengan sang dermawan yang sudah merasa terbebas dari kewajiban dan setelah itu tidak lagi peduli setelah Ramadhan, patut didapuk sebagai peleceh agama. Mungkin juga para dai terlibat dalam pemaknaan agama yang dangkal, menggiring pengertian yang bersifat transakaional semata, disebut selaku pengabai kedalaman ajaran agama. Adakah mereka para pendusta agama? Kira-kira, sampai kapankah lingkaran masalah ini terhempas dari bulan suci Ramadan?


0 komentar:

Posting Komentar