Rabu, 01 Juni 2016

Tatkala Politisi Menulis Buku




Malam masih merintis jalan suluknya, saya merapat ke suatu tempat, yang belakangan ini menjadi salah satu arena kaum muda-mahasiswa Makassar, menggelar berbagai acara persilatan pikiran, Cafe Dialektika namanya. Jarum jam mendekati pukul 20.00, pada Selasa, 31 Mei 2016, acara belum dimulai, masih menunggu seorang pembincang, Arum Spink. Sang moderator acara, menenggat waktu 15 menit, sebagai bentuk toleransi atas acara peluncuran dan diskusi buku, Dasi Sang Presiden, buah pikir Muhammad Rajab, seorang politisi, yang kini duduk sebagai anggota DPRD Sul-Sel.

Walhasil, perhelatan dimulai debutnya. Hadirlah pembincang untuk membedah buku itu, Muhammad Rajab selaku penulis, Arum Spink sebagai koleganya di DPRD Sul-Sel, dan saya serupa pegiat literasi.  Didakukannya oleh Rajab, bahwa sesungguhnya buku ini adalah bunga rampai pemikirannya, sejak ia menjadi aktivis gerakan mahasiswa, hingga menjadi wakil rakyat. Menurutnya, awalnya ada rasa enggan untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang berserak ini, dalam satu ikatan buku, namun begitu banyak kawan-kawan yang mendesakkan pentingnya sebuah buku, maka terwujudlah buku ini sebagaimana adanya.

Ada hal yang mengemuka sekaligus menarik dari pembincang kedua, Arum Spink, yang kesehariannya, nyaris selalu bertemu dengan sang penulis. Keduanya sewajah wakil rakyat dari partai yang sama, Nasdem, sefraksi di DPR, sehingga banyak sisi-sisi manusiawi yang ditelisik oleh Arum. Anehnya lagi, baik Rajab maupun Arum mempunyai kesamaan ketika menapaki karir politik. Sebelum menjadi politisi, keduanya adalah mantan ketua Komisi Pelihan Umum (KPU), dari kabupaten yang berbeda, dan daerah pemilihan yang bertolak pula. Dari intaian Arum, terkuaklah satu ungkapan, bahwa sosok Rajab adalah pribadi yang sederhana, baik selaku wakil rakyat maupun sebagai anggota masyarakat.

Dari poin Arum inilah, saya kemudian ikut memberi perspektif terhadap Rajab dan bukunya. Saya lalu teringat dengan sabda seorang penghulu Imam Mahzab, Imam Ja’far as-Shadiq, yang menuturkan sejumput hikmah, bahwa “kesederhanaan itu lebih dekat pada kebenaran.” Jadi, bila saja kesederhanaan Rajab ini tercermin pula dalam pikiran-pikiran, lewat buku yang dianggit ini, maka secara sederhana pula ingin saya tabalkan, bahwa buku ini amat dekat dengan kebenaran.

Sesarinya memang, saya secara pribadi cukup mengenal Rajab sejak menjadi aktivis mahasiswa, kemudian mewujud seorang politisi. Cukup lama waktu yang dimangsa dalam metamorfosis itu. Pascamahasiswa, menceburkan diri menjadi komisioner KPU selama dua periode, 10 tahun. Setelahnya, barulah terjun ke perseteruan politik. Sehingga, wujudnya sebagai politisi, barulah kisaran 2 tahun. Masih dibutuhkan waktu yang memadai untuk menguji konsistensi kesederhanaannya, sebagaimana yang dibabarkan oleh sejawatnya, Arum Spink.

Selaku pegiat literasi, saya melihat hadirnya buku ini sebagai bagian dari upaya menitipkan heroisme gerakan literasi kepada para politisi. Sebab, jujur untuk saya katakan, kepercayaan publik terhadap para politisi dan partai politik di negeri ini teramat rendah. Survey harian Kompas, edisi 2 November 2015, di halaman 5 dengan judul “Merunut Dinamika Elektabilitas Parpol”, menyimpulkan bahwa penurunan elektabilitas parpol, menyiratkan bahwa para pemilih mulai berpikir ulang terhadap partai pilihannya setelah melihat sepak terjang para politisi di parlemen dalam tiga bulan terakhir. Beberapa pernyataan dan perilaku sejumlah politisi mengundang polemik di masyarakat sehingga memengaruhi citra mereka di hadapan publik.

Sehingga, dalam bidikan pendapat saya, hadirnya buku ini, yang ditulis oleh seorang politisi, sepertinya memberi harapan baru, akan adanya wajah lain dari sosok politisi, yang ikut mendorong semangat gerakan literasi. Ibaratnya, sebatang lilin telah dinyalakan, atas kutukan pada aura kegelapan, yang serig dikencani para politisi. Dan, lebih dari itu, buku ini diterbitkan bukan dalam rangka jelang pemilihan anggota legislatif, atau perhelatan politik lainnya. Sehingga, tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa momentum kelahiran buku ini kurang tepat. Itu bilamana pikiran politis, sebagai upaya pencitraan yang mengemuka.

Sisi lain yang menarik dari buku politisi ini, karena memang ditulis olehnya. Sebab, tidak sedikit buku yang ditulis, seolah-olah ditulis oleh seorang politisi, padahal orang lain yang melakukannya. Keabsahan buku Dasi Sang Presiden, bahwa memang ditulis oleh Muhammad Rajab tidak dapat diragukan orisinalitasnya. Sebab, awal mula buku ini adalah sebaran tulisannya di berbagai media, yang kemudian disatukan sebagai bunga rampai pemikiran. Baik yang sifatnya esai maupun yang berwarna sajian tulisan opini, atau karya ilmiah populer.

Di atas segalanya, makna terpenting dari kelahiran buku ini, sebagai anak ruhani dari penulisnya, harus dicatat sebagai remout control bagi sang politisi. Tatkala sepak terjangnya bertolak belakang dengan nilai-nilai yang disajikan dalam bukunya, maka buku ini akan menginterupsinya. Bilamana abai akan hal itu, maka buku ini akan membunuh karir politiknya. Senjata makan tuan, cukup tepat untuk menggambarkan kondisi demikian. Tetapi, kalau saja apa yang dituliskannya, secara berkesinambungan dijalani, maka buku ini akan selalu menjadi pupuk untuk menumbuh suburkan keidealan sosoknya selaku politisi.

( Edunews, 5 Juni 2016 )

0 komentar:

Posting Komentar