LITERASI EKONOMI DALAM "AIRMATADARAH"
(catatan lagi bagi para pencari siapa dan dimana)
Literasi Perekonomian dimaknai sebagai keberaksaraan atas tindakan (aturan atau cara) berekonomi atau menjalankan suatu usaha sebagai bentuk aktifitas ekonomi. Untuk berekonomi maka sesungguhnya membutuhkan kemampuan “membaca dan menulis”.
Kata sebagai paduan aksara yang berhimpun menanda makna merupakan senjata gerak dalam dinamika sosial ekonomi dan sosial budaya. Kata yang merefleksikan keberaksaraan atas informasi, pengetahuan, dan kebudayaan ialah kata yang menghidupkan ataupun menggerakkan. Jejak kata tentang literasi perekonomian dalam buku AirMata Darah dapat ditemukenali, antara lain melalui puisi berjudul KATA. Puisi ini mengekspresi makna ke-literasi-an secara cerdas dan menggelorakan.
Dalam puisi KATA, perihal literasi ekonomi diuraikan secara puitis, dengan petikan berikut ini:
“ ...
Mereka butuh kata-kata // kata yang menghidupkan //
yang mempertahankan harkat //
yang memakai cangkul, rumput laut, biji jagung //
untuk menyatakan hidupnya // di depan dozer //
setia pada biji jagung // tidak dengan biji nikel “
Puisi di atas, sangat berpotensi untuk (ternyata) melahirkan pertanyaan “siapa dan dimana?”; puisi ini untuk dan tentang siapa, serta berada dimana? Apakah Sang Penulis Puisi termasuk orang yang “tidak dengan biji nikel”?; ataukah melalui puisinya, sedang memberi catatan kritis atas gerak dinamika sosial ekonomi yang ada dilingkungannya?; dan apakah Diri di dalam, di sini ataupun di sana, termasuk yang ikut menggerakkan laju negeri ini ke arah dinamika sosial ekonomi yang dituliskannya?
Jika kita memiliki keberaksaraan informasi, pengetahuan, dan kebudayaan yang cukup; maka sesungguhnya kita dapat memahami duduk perkara gerak ekonomi secara cukup pula, dan tidak hanya berhenti pada sikap setuju atau tidak setuju belaka. Jadi (mungkin) benarlah bahwa kita semestinya “terjun ke ranah mereka” untuk “ejakan huruf demi huruf dalam bingkai kata”. Francis Fukuyama —ekonom yang menulis pula tentang modal sosial dan penulis buku “The End of History and The Last Men”— dalam karyanya “Trust : Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran” menyatakan bahwa:
“...... ekonomi tidak pernah tumbuh di dalam ruang vakum. Ekonomi selalu mengakarkan dirinya dalam kehidupan sosial. Karena itu, adalah sebuah kemustahilan memahami ekonomi terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya.”
Saya, dan boleh jadi Sang Penulis Puisi, serta mungkin kita semua; sungguh sangat menyadari bahwa ketangguhan kinerja dan gerak ekonomi (setiap Diri dan/atau Daerah) sangatlah dibutuhkan, karena tata ekonomi yang tangguh akan menciptakan peluang penciptaan kemakmuran yang lebih besar. Meskipun demikian, gerak perekonomian dalam perikehidupan, serta ruang hidup bersama dan bersesama —dimanapun saja meruang— sudah sepatutnya dilajuarahkan secara seksama, terutama oleh para pemangku amanat atas kepentingan bersama. Dalam kaitan ini; sudahkah ada “terjun ke ranah mereka” untuk “ejakan huruf demi huruf dalam bingkai kata”, terutama guna menjelaskan tentang hasil tela’ah keseksamaan yang telah dilakukan? Hal ini penting, untuk menjembatani dan/atau membentengi perekonomian dengan akar diri kehidupan sosial ruang hadirnya. Bukankah literasi ekonomi telah menerangkan bahwa mustahil memahami ekonomi secara terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya?
Jadi “nama dan alamat” dari puisi yang berjudul KATA, sangat boleh jadi bukanlah sosok yang statis dan tunggal—perihal yang semestinya sangat berbeda keberlakuannya dalam NIK. Dalam sehimpunan puisi ini, sangat boleh jadi “nama dan alamat”nya bertempat di setiap ruang hidup yang akar sosialnya tak kongruen dengan gerak tumbuh ekonominya; atau bertempat pada setiap pribadi yang telah “melek perekonomian” yang mampu menunjuk diri dan lingkungannya secara seksama.
SALAM LITERASI
(catatan lagi bagi para pencari siapa dan dimana)
Literasi Perekonomian dimaknai sebagai keberaksaraan atas tindakan (aturan atau cara) berekonomi atau menjalankan suatu usaha sebagai bentuk aktifitas ekonomi. Untuk berekonomi maka sesungguhnya membutuhkan kemampuan “membaca dan menulis”.
Kata sebagai paduan aksara yang berhimpun menanda makna merupakan senjata gerak dalam dinamika sosial ekonomi dan sosial budaya. Kata yang merefleksikan keberaksaraan atas informasi, pengetahuan, dan kebudayaan ialah kata yang menghidupkan ataupun menggerakkan. Jejak kata tentang literasi perekonomian dalam buku AirMata Darah dapat ditemukenali, antara lain melalui puisi berjudul KATA. Puisi ini mengekspresi makna ke-literasi-an secara cerdas dan menggelorakan.
Dalam puisi KATA, perihal literasi ekonomi diuraikan secara puitis, dengan petikan berikut ini:
“ ...
Mereka butuh kata-kata // kata yang menghidupkan //
yang mempertahankan harkat //
yang memakai cangkul, rumput laut, biji jagung //
untuk menyatakan hidupnya // di depan dozer //
setia pada biji jagung // tidak dengan biji nikel “
Puisi di atas, sangat berpotensi untuk (ternyata) melahirkan pertanyaan “siapa dan dimana?”; puisi ini untuk dan tentang siapa, serta berada dimana? Apakah Sang Penulis Puisi termasuk orang yang “tidak dengan biji nikel”?; ataukah melalui puisinya, sedang memberi catatan kritis atas gerak dinamika sosial ekonomi yang ada dilingkungannya?; dan apakah Diri di dalam, di sini ataupun di sana, termasuk yang ikut menggerakkan laju negeri ini ke arah dinamika sosial ekonomi yang dituliskannya?
Jika kita memiliki keberaksaraan informasi, pengetahuan, dan kebudayaan yang cukup; maka sesungguhnya kita dapat memahami duduk perkara gerak ekonomi secara cukup pula, dan tidak hanya berhenti pada sikap setuju atau tidak setuju belaka. Jadi (mungkin) benarlah bahwa kita semestinya “terjun ke ranah mereka” untuk “ejakan huruf demi huruf dalam bingkai kata”. Francis Fukuyama —ekonom yang menulis pula tentang modal sosial dan penulis buku “The End of History and The Last Men”— dalam karyanya “Trust : Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran” menyatakan bahwa:
“...... ekonomi tidak pernah tumbuh di dalam ruang vakum. Ekonomi selalu mengakarkan dirinya dalam kehidupan sosial. Karena itu, adalah sebuah kemustahilan memahami ekonomi terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya.”
Saya, dan boleh jadi Sang Penulis Puisi, serta mungkin kita semua; sungguh sangat menyadari bahwa ketangguhan kinerja dan gerak ekonomi (setiap Diri dan/atau Daerah) sangatlah dibutuhkan, karena tata ekonomi yang tangguh akan menciptakan peluang penciptaan kemakmuran yang lebih besar. Meskipun demikian, gerak perekonomian dalam perikehidupan, serta ruang hidup bersama dan bersesama —dimanapun saja meruang— sudah sepatutnya dilajuarahkan secara seksama, terutama oleh para pemangku amanat atas kepentingan bersama. Dalam kaitan ini; sudahkah ada “terjun ke ranah mereka” untuk “ejakan huruf demi huruf dalam bingkai kata”, terutama guna menjelaskan tentang hasil tela’ah keseksamaan yang telah dilakukan? Hal ini penting, untuk menjembatani dan/atau membentengi perekonomian dengan akar diri kehidupan sosial ruang hadirnya. Bukankah literasi ekonomi telah menerangkan bahwa mustahil memahami ekonomi secara terpisah dari persoalan masyarakat dan nilai-nilai budaya?
Jadi “nama dan alamat” dari puisi yang berjudul KATA, sangat boleh jadi bukanlah sosok yang statis dan tunggal—perihal yang semestinya sangat berbeda keberlakuannya dalam NIK. Dalam sehimpunan puisi ini, sangat boleh jadi “nama dan alamat”nya bertempat di setiap ruang hidup yang akar sosialnya tak kongruen dengan gerak tumbuh ekonominya; atau bertempat pada setiap pribadi yang telah “melek perekonomian” yang mampu menunjuk diri dan lingkungannya secara seksama.
SALAM LITERASI