Ahad malam ini, belumlah larut. Semangatku untuk menuntaskan editan
kumpulan tulisan untuk sebuah buku lagi menggebu. Usai isyaku kutunaikan
bersiaplah kembali di depan komputer. Seperti kebiasaanku, sore hari
telah menghabiskan segelas kopi. Lantaran malam ini ingin menuntaskan
editan, maka kuminta segelas lagi kopi buat doping, agar lebih khusyuk
dalam mengeja huruf-huruf. Kutawarkanlah permintaanku pada seisi rumah,
siapa gerangan yang bersedia membuatkan doping? Segelas kopi pahit?
Dari
uminya Javid terlontar jawaban, prihal persediaan kopi yang makin
menipis. Pada toples kopi yang sempat kuintip, memang sudah hampir
mendekati dasar pantat toples. Berarti, besok kopi mungkin akan habis.
Bagiku, dan juga beberapa orang di rumah, ini sejenis "gempa" manakala
persediaan kopi habis dan belum ada pasokan dari kampung. Memang
sedianya akhir pekan ini aku mau ke Bantaeng, menuntaskan beberapa
urusan, tapi urusan yang paling penting untuk kubawa ke sana belum
tuntas, maka kusurutkan hajat dan entah berapa hari ke depan baru bisa
terwujud.
Memang ada masalah sedikit sebulan
terakhir ini di rumah. Pasalnya, berjebah waktu yang lalu, aku hanya
peminum tunggal kopi. Belakangan, mulai ada saingan. Uminya Javid mulai
ikut menikmati kopi, nyaris sama denganku. Yang lebih dahsyat lagi,
putri pertamaku pun sudah mulai menikmati kopi, bahkan nyaris lebih
kental dari kopiku. Ini benar-benar ancaman serius bagiku selaku peminum
tunggal. Dan, benar saja, jatah yang seharusnya kusiapkan untuk
sebulan, dalam dua pekan terancam habis. Yang lebih menylitkan lagi,
sebab kopiku ini, harus saya beli di kampung, namanya kopi Ereng-Ereng.
Dalam petualangan minum kopiku, sisa jenis kopi inilah yang masih ramah
dengan lambungku, yang lainnya sudah menimbulkan efek samping, mual.
Akhirnya,
solusi yang terpikirkan malam ini adalah segelas teh, agar esok hari
dan sehari setelahnya masih bisa minum kopi, sambil menunggu pasokan
dari kampung. Pada alternatif minum teh inilah yang tak terduga bagiku.
Ternyata, yang membuatkanku segelas teh adalah Javid, putraku yang
sementara masih duduk di kelas 3 SD. Dimasaknyalah air dan kemudian
tehnya dimasukkan dan tentu pelengkapnya seiris jeruk nipis sebagai
penyedap seperti permintaanku. Walhasil, setelah Javid tuangkan dalam
gelas, rupanya gelas itu tidak penuh. Taksirannya meleset antara air
yang dimasak dengan besaran gelas yang mendekati jumbo.
Berkatalah
Javid kemudian, " wah gelasnya tidak penuh". Aku kemudian mendekatinya,
mungkin Javid merasa bersalah, atau paling tidak kurang sreg dengan
buatannya. lalu ia sambung lagi tuturnya, sebagai usulan jalan keluar,
"abi, kita pakai gelas yang lebih kecil saja, biar penuh." Sebuah jalan
keluar yang cukup lantip bagi seorang anak seusia dia. Berhasil
memenuhkan gelas, artinya tersedia segelas teh, dan pada saat yang sama
berarti telah memenuhi harapanku, segelas teh harum rasa kecut manis.
Editan tulisanku pun meluncur, lancar selancar peselancar yang berburu
angin, secepat seruput tegukan teh yang mengalir ditenggorokanku. Javid
dan segelas tehmu ini, menunjukkan dirimu sebagai anak lantip dalam
mencari jalan keluar.
Minggu, 19 April 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar