Minggu, 19 April 2015

Javid dan Segelas Teh

Ahad malam ini, belumlah larut. Semangatku untuk menuntaskan editan kumpulan tulisan untuk sebuah buku lagi menggebu. Usai isyaku kutunaikan bersiaplah kembali di depan komputer. Seperti kebiasaanku, sore hari telah menghabiskan segelas kopi. Lantaran malam ini ingin menuntaskan editan, maka kuminta  segelas lagi kopi buat doping, agar lebih khusyuk dalam mengeja huruf-huruf. Kutawarkanlah permintaanku pada seisi rumah, siapa gerangan yang bersedia membuatkan doping? Segelas kopi pahit?

Dari uminya Javid terlontar jawaban, prihal persediaan kopi yang makin menipis. Pada toples kopi yang sempat kuintip, memang sudah hampir mendekati dasar pantat toples. Berarti, besok kopi mungkin akan habis. Bagiku, dan juga beberapa orang di rumah, ini sejenis "gempa" manakala persediaan kopi habis dan belum ada pasokan dari kampung. Memang sedianya akhir pekan ini aku mau ke Bantaeng, menuntaskan beberapa urusan, tapi urusan yang paling penting untuk kubawa ke sana belum tuntas, maka kusurutkan hajat dan entah berapa hari ke depan baru bisa terwujud.

Memang ada masalah sedikit sebulan terakhir ini di rumah. Pasalnya, berjebah waktu yang lalu, aku hanya peminum tunggal kopi. Belakangan, mulai ada saingan. Uminya Javid mulai ikut menikmati kopi, nyaris sama denganku. Yang lebih dahsyat lagi, putri pertamaku pun sudah mulai menikmati kopi, bahkan nyaris lebih kental dari kopiku. Ini benar-benar ancaman serius bagiku selaku peminum tunggal. Dan, benar saja, jatah yang seharusnya kusiapkan untuk sebulan, dalam dua pekan terancam habis. Yang lebih menylitkan lagi, sebab kopiku ini, harus saya beli di kampung, namanya kopi Ereng-Ereng. Dalam petualangan minum kopiku, sisa jenis kopi inilah yang masih ramah dengan lambungku, yang lainnya sudah menimbulkan efek samping, mual.

Akhirnya, solusi yang terpikirkan malam ini adalah segelas teh, agar esok hari dan sehari setelahnya masih bisa minum kopi, sambil menunggu pasokan dari kampung. Pada alternatif minum teh inilah yang tak terduga bagiku. Ternyata, yang membuatkanku segelas teh adalah Javid, putraku yang sementara masih duduk di kelas 3 SD. Dimasaknyalah air dan kemudian tehnya dimasukkan dan tentu pelengkapnya seiris jeruk nipis sebagai penyedap seperti permintaanku. Walhasil, setelah Javid tuangkan dalam gelas, rupanya gelas itu tidak penuh. Taksirannya meleset antara air yang dimasak dengan besaran gelas yang mendekati jumbo.

Berkatalah Javid kemudian, " wah gelasnya tidak penuh". Aku kemudian mendekatinya, mungkin Javid merasa bersalah, atau paling tidak kurang sreg dengan buatannya. lalu ia sambung lagi tuturnya, sebagai usulan jalan keluar, "abi, kita pakai gelas yang lebih kecil saja, biar penuh." Sebuah jalan keluar yang cukup lantip bagi seorang anak seusia dia. Berhasil memenuhkan gelas, artinya tersedia segelas teh, dan pada saat yang sama berarti telah memenuhi harapanku, segelas teh harum rasa kecut manis. Editan tulisanku pun meluncur, lancar selancar peselancar yang berburu angin, secepat seruput tegukan teh yang mengalir ditenggorokanku. Javid dan segelas tehmu ini, menunjukkan dirimu sebagai anak lantip dalam mencari jalan keluar.

0 komentar:

Posting Komentar