AirMataDarah dan Godaan Batu Akik
muhammad kasman | 10:17 PM |
[02.04.2015]
Sebenarnya --ini rahasia loh, aku
termasuk orang yang tak begitu paham dengan puisi. Jadi kalau ada yang merasa
pernah aku ajari bagaimana membuat puisi yang baik, maka itu hanya efek dari
kehendakku untuk dibilang hebat dalam dunia kepenulisan. Citra sok tahuku soal
puisi juga kubutuhkan untuk melegitimasi kebiasaanku menyusun-nyusun kata dalam
bait yang mirip puisi.
Bagiku,
semua puisi itu indah, apalagi bila dibaca bersama anak sambil menikmati
cemilan ringan yang dihidangkan istri tercinta. Aku memang mempunyai kebiasaan
buruk, sering berleha-leha di ruang tamu atau teras rumah bersama anak-anakku
sambil teriak-teriak mendeklamasikan puisi. Tak peduli apakah intonasi dan
volume suaraku sesuai dengan irama puisi yang kubaca, atau tidak.
Maka
ketika di sebuah siang, 10 Maret 2015 yang lalu, aku dihadiahi buku sehimpunan
puisi bersampul merah hijau dengan judul AirMataDarah oleh penulisnya, Sulhan
Yusuf, hatiku berbunga dan berguman riang, ada lagi tambahan bahan bacaan untuk
mengisi waktu soreku. Buku yang berisi puisi-puisi dengan bait yang ringkas dan
diksi yang pintas. Memang tepat dibaca di ruang tamu atau di teras rumah, tak
terlalu riuh.
Apalagi,
menurut Dul Abdul Rahman --novelis yang
sudah lama tak kutemui untuk sekedar berbual soal hal ikhwal kepenulisan,
buku ini mengajak kita untuk memasuki sebuah rumah: Rumah Kebahagiaan dan Rumah
Keabadian. Rumah yang ditumbuhi jejeran pohon rindang yang menciptakan
kesejukan. Tentu puisi semacam ini bisa menyejukkan rumahku yang tipe sangat
sederhana di sebuah perumahan padat di pinggiran kota yang sesak, dan tanpa
ruang terbuka hijau yang memadai.
Kehadiran
buku anggitan Bang SulYus --demikian aku
menyapa Sulhan Yusuf, juga makin membuatku bersemangat membacakan puisi
kepada Aditya Panrita Tenri Angka Daeng Sibali --anak keempatku yang besok akan berusia 4 bulan, saban malam. Aditya
punya kebiasaan untuk bermain di waktu malam, dia paling senang diajak
bercerita. Dia akan riang bergerak, nyaring bersuara, dan sering tersenyum bila
disapa di waktu-waktu itu.
Bila
Aditya terjaga, dan mamanya pulas terlelap, maka akan kuraih AirMataDarah dari
lemari buku, dan akan kubaca beberapa bait dengan gaya bertutur,
kutunggu wartamu di masa datang
joloklah bulan
genggamlah surya
lukislah pelangi
cungkillah gunung
barulah kau tergolong:
pemahat masa depan
(Tekad, hal.
161)
Mendengar itu, tangan Aditya menjangkau-jangkau, mungkin tengah memahat masa depan? Atau ingin segera mengabarkan warta masa depannya? Entahlah.
Atau
kudaraskan penggal terakhir dari puisi berjudul Penyair (hal. 125). Empat
kalimat singkat kubaca dengan suara berdesir, setengah berbisik,
Buah hatiku...
tataplah para penyair itu
dengar dan simak kata-kata mereka
kata yang menerangkan masa.
Mata Aditya tak berkedip, menatapku tajam, seperti bertanya, "Begitu pentingkah para penyair itu bagimu, Tetta? Atau haruskah aku jadi penyair, kelak?" Dan aku hanya tersenyum bahagia, melihat reaksimu.
Tapi
diantara 178 halaman yang ada di buku tersebut, aku paling suka memperlihatkan
halaman pertama pada Aditya dan para kakaknya. Halaman dimana tertera nama dan
tanda tangan, Sulhan Yusuf. Kujelaskan pada mereka bahwa penulis puisi yang
sering kubacakan pada mereka itu, adalah suhu yang karib, bukan sekedar
hubungan mekanik antara seorang penulis dan pembaca buku.
Oh
ya, selain kubaca untuk anak-anakku, AirMataDarah juga berkali-kali kubaca
untuk mencoba meresapi beberapa puisi tertentu. Sebab menurut Alto Makmuralto
--Direktur The Liblitera Institute,
penerbit buku ini, di dalam puisi-puisi lelaki berkepala plontos ini, akan
dijumpai kata-kata yang identik dengan dunia para pesuluk. Pernyataan Alto
memantik curigaku, jangan-jangan memang Bang SulYus ini adalah seorang pesuluk
yang sedang menyamar?
Aku
memberanikan diri mencoba mendaras, beberapa puisi yang penggalannya dikutip
oleh Alto dalam pengantarnya, selain karena penasaran, juga karena aku merasa
mirip dengan Bang SulYus dalam hal kesukaan bermain facebook, dan mendengar
nyanyian ngak ngik ngok Koes Ploes --meskipun
aku belum sampai pada maqam penggila. Yang jelas berbeda karena aku
penggemar Chelsea, bukan Arsenal, dan tak mencandu kopi pahit, lambungku tak tahan
kopi sejak beberapa tahun terakhir.
Coba
perhatikan yang ini,
ingin kujemur celana dalamku yang berjamur
janganlah sampai biji kehidupanku ikut berjamur
apalagi jika pohon hidupku turut berjamur
yang tak mungkin aku jemur
(Surya, 151)
Puisi
yang didaku Alto sebagai puisi mistik, membuatnya hanyut dan menikmati, serta
ikut mendesah-sedan karenanya, bagiku tak lebih dari hanya sepenggal kepornoan
dalam wajah yang malu-malu. Banalitas ekspresi, terungkap dalam diksi yang
dangkal.
Tapi
memang demikianlah kiranya seorang penganut suluk Malamatiyah --seperti dakwaan Alto, terkadang mereka
mengungkap kebenaran yang dikemas dalam balutan makna yang berlapis. Dan
disinilah masalahnya, hanya para pesuluklah yang bisa mengelupas lapis
maknanya. Maka aku sebagai seorang pembaca awam hanya bisa terkekeh
menertawakan kemesuman penggalan bait dari puisi Surya di atas.
Hal
lain yang membuat aku rajin membolak-balik AirMataDarah adalah hasratku untuk
menemukan sepenggal dua penggal bait yang bisa dipakai untuk maggombal, dan menebar jala asmara ala
generasi unyu-unyu. Ya, siapa tahu bisa dikutip oleh para hight quality jomblo
--semacam Fajar Al Ghifary, untuk
dijadikan status di facebook dan blackberry messenger, atau untuk bahan
musikalisasi puisi pada pentasnya di panggung-panggung cafe. Namun sayang, tak
ada bait-bait sedemikian.
Semoga
Bang Sulyus bisa memahami kegirangan saya menertawakan diksi celana dalam
berjamur, serta biji dan pohon kehidupannya. Maafkan juga kekecewaanku akan
ketiadaan kalimat-kalimat gombal ala drama korea dalam himpunan puisi ini. Aku
berharap agar Bang SulYus tak mengeluarkan kutukan padaku karena tulisan ini,
sebab seperti ungkap Alto, kata-kata yang dilontarkan oleh seorang pesuluk
musti selalu mengandung kesaktian.
Seperti ajaran Bang Sulyus, bila sebuah pembicaraan sudah menyerempet soal kelamin, dan gombal-gombalan, itu alamat pembicaraan harus segera dikhatamkan, sebab bila tidak, maka bisa saja kita semua terjebak pada kategori ahlul fitnah wal ghibah. Pun demikian dengan risalah singkat itu. Yang pasti, puisi-puisi dalam AirMataDarah bisa menjadi mantra pelindung dari godaan batu akik yang berkilau.
0 komentar:
Posting Komentar