Amnesia Buku
Oleh: Haidar Bagir
Hasil studi deskriptif yang dilaksanakan Central Connecticut State University, AS, yang diumumkan belum lama ini, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti dalam hal literasi para warganya.
Orang bisa saja memperdebatkan validitas penelitian ini. Namun, sesungguhnya hal ini tak terlalu mengagetkan kita. Sebelum ada penelitian ini pun kita sudah merasakan banyak indikasi yang mengarah ke sana. Misalnya, dalam angka proporsi jumlah judul buku yang terbit terhadap jumlah penduduk.
Belum lagi jika kita lihat fenomena “kutukan 3.000 eksemplar” -yakni jumlah rata-rata buku terjual untuk setiap judul buku yang terbit. Jangan bandingkan dengan Jepang yang penduduknya memang gila baca, apalagi negara-negara maju dan berbudaya baca tinggi, seperti Finlandia. Turki saja, yang jumlah penduduknya hanya sedikit di atas sepertiga penduduk negara kita, jumlah rata-rata cetak-pertama setiap judul buku bisa mencapai 10.000 eksemplar. Lebih parahnya lagi, seperti dengan tepat diungkapkan oleh Tajuk Rencana Kompas (21/4/2016), tantangan peningkatan minat baca kita lebih besar daripada yang dialami negara-negara maju.
Meningkatkan minat baca
Ketika kita belum lagi berhasil dalam mengembangkan budaya baca yang merata, dan negeri kita masih didominasi oleh budaya tutur, masyarakat kita sudah masuk ke budaya audio-visual (radio dan TV) yang lebih mudah menyedot perhatian masyarakat. Tambahan lagi, dalam pergulatan penuh susah payah dengan budaya audio-visual itu, kita sudah “terpaksa” larut dalam budaya digital. Sebenarnya, teknologi digital sampai batas tertentu juga mengembalikan budaya baca kepada masyarakat, baik lewat akses kepada berbagai tulisan di internet melalui search engine yang ada maupun melalui berbagai sarana media sosial, seperti situs web,blog, Facebook, dan Twitter.
Akan tetapi, di sisi lain, tantangannya justru menjadi makin besar. Di satu sisi, tantangan peningkatan minat baca secara umum masih menghantui. Di sisi lain, besarnya pasokan informasi yang menerpa serta sifat sebagian besar tulisan yang tersedia di media digital telah menyebabkan para pengguna internet mengakses lebih banyak tulisan-tulisan pendek yang kurang keluasan dan kedalaman.
Yang lebih mengkhawatirkan, alasan praktis pemilihan bahan bacaan ini dalam waktu panjang bisa mempermanenkan habit keengganan membaca buku, dalam makna bahan bacaan yang memiliki keluasan dan kedalaman yang memadai. Dengan kata lain, yang diminati para konsumen bahan-bahan bacaan digital hanyalah yang memiliki tingkat “ketuntasan” yang rendah, khususnya anggota generasi muda yang termasuk dalam golongan “digital natives” (penduduk pribumi dunia digital).
Bukan saja mereka kehilangan ketelatenan membaca buku yang memiliki keluasan dan kedalaman yang cukup akibat dimanjakan oleh teknologi komputer yang menawarkan kecepatan tinggi untuk mengakses banjir informasi yang ada di internet, gaya mereka mencari informasi yang bersifat multi-tasking juga telah memperparah gejala ini. Hal ini kiranya juga didorong sifat sarana digital yang belum sepenuhnya senyaman medium buku cetak sehingga lebih cepat mengakibatkan rasa capai (fatigue).
Hal yang terakhir ini lebih terasa khususnya bagi generasi “digital migrant” (penduduk imigran dunia digital) yang tak seterbiasa generasi yang lebih belakangan dalam menggunakan perangkat pembaca (reader) elektronik. Apalagi di waktu-waktu belakangan ini, ketika telepon pintar berlayar kecil telah mulai merampas fungsi PC/laptop ataupun tablet sebagai reader. Maka, faktor fatigue dan ketaktelatenan akibat kekurangnyamanan dalam membaca pun memberikan dampak lebih besar dalam hal penurunan daya baca masyarakat.
Lalu terciptalah suatu lingkaran setan yang makin memperburuk keadaan: produsen informasi mulai terdorong untuk menerbitkan bahan-bahan bacaan–mereka sebut buku juga–dengan panjang tulisan yang jauh lebih pendek demi memuaskan tuntutan gaya baru membaca buku (digital) ini. Sering kali bahkan hanya terdiri dari belasan halaman. Jika sebelumnya Neil Postman, melalui bukunya yang berjudul Amusing Yourself to Death, mengkhawatirkan generasi yang tak tahan kesusahpayahan belajar dan mencari ilmu akibat terpaan teknologi audio-visual, kini apa yang ditakutkan Nicholas G Carr tentang akan lahirnya generasi “orang-orang dangkal” (the shallows) makin tampak di depan mata.
Nasib industri penerbitan
Ada ancaman besar bahwa generasi muda kita, meski memiliki keragaman informasi, akan menderita kekurangan besar dalam hal kedalaman dan keluasan ilmu (bukan sekadar informasi). Dan hal ini membawa kita kepada diskusi tentang masa depan industri penerbitan di masa digital.
Akan tetapi, sebelum sampai ke sana, penting kita pahami sentralnya peran industri penerbitan dalam peningkatan literasi masyarakat. Industri penerbitan pada dasarnya menjalankan beberapa fungsi sekaligus. Pertama, fungsi kurasi, yakni penyeleksian bahan-bahan bacaan yang dipandang layak untuk dilempar ke pasar bebas gagasan. Dan di dunia digital masa depan, fungsi ini justru akan menjadi makin krusial mengingat besarnya pasokan bahan bacaan, meskipun itu hanya kita batasi dalam bentuk buku, yang akan membanjiri kita.
Seperti ditulis Michael Bhaskar dalam kolomnya yang berjudul “The Real Problem” (Publishers Weekly, 14 April, 2016), jumlah buku yang diterbitkan- dan ini hanya mencakup buku cetak, jadi tak termasuk buku yang khusus diterbitkan dalam bentuk digital, apalagi artikel-artikel yang bertebaran di internet -tak pernah sebesar sekarang.
Di Inggris diterbitkan tak kurang dari 200.000 judul buku per tahun. Di Tiongkok malah dua kali lipatnya, yakni 400.000 judul buku. Inilah benar-benar suatu masa yang di dalamnya terjadi apa yang seperti dinubuatkan Marshall Mc Luhan setengah abad lalu, disebut information spill-over (peluberan informasi), bahkan banjir informasi. Masih terkait dengan itu, industri penerbitan juga melakukan fungsi distribusi buku. Akan ada lubang besar jika industri penerbitan di suatu negara mengalami kolaps.
Self publishing, yang menjadi jauh lebih mudah oleh teknologi aplikasi digital, tak akan bisa melakukan tugas ini. Yang akan terjadi nantinya adalah konvergensi antara penerbit buku yang secara alami juga melakukan fungsi distribusi, seperti sekarang ini, dengan platform-platform digital penjualan buku yang sekaligus melakukan fungsi kurasi dengan cara memperkenalkan fasilitas rating produk dan display buku- buku dengan rating tertinggi di halaman muka (home) mereka. Bahkan, seperti yang dilakukan Amazon, platform-platform penjualan online malah masuk ke fungsi penerbitan.
Persoalannya, dengan adanya transformasi dari bentuk cetak ke bentuk digital ini–meski saat ini dampaknya baru amat terasa pada pengurangan kebutuhan (demand) terhadap media massa cetak, lebih khususnya majalah–banyak orang percaya bahwa industri buku pun tinggal menunggu waktu untuk mati. Kegairahan yang saat ini terkesan tetap terpelihara terhadap industri buku cetak terjadi berkat masih adanya lag antara konsumen buku cetak sekarang dan generasi pembaca buku digital yang saat ini masih berumur muda, khususnya para digital natives itu.
Namun, hal ini pun tak urung sudah menghantam banyak penerbit relatif kecil yang sudah mulai berguguran pada tahun-tahun terakhir ini. Toko-toko buku, dengan alasan yang masuk akal, juga sudah mulai mengurangi ruang display bagi buku dan memperbesar ruang bagi stationery dan produk-produk lain. Dan dengan transformasi industri penerbitan ke era digital, dalam persaingannya dengan artikel-artikel yang bertebaran di internet–buku dalam makna aslinya akan musnah.
Kolapsnya industri penerbitan buku ini akan menjadi kenyataan jika industri penerbitan tak mau berubah, lebih-lebih jika tak ada cukup dukungan dari pemerintah yang menyandang peran pengembangan strategi pendidikan dan budaya yang kondusif bagi peningkatan literasi-yakni literasi buku, dalam makna aslinya- di tengah masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan kurikulum baca-tulis-secara khusus, dan bukan hanya sebagai bagian (lebih sering tidak serius) dari pelajaran bahasa Indonesia-di sekolah-sekolah, mulai tingkat paling dasar hingga perguruan tinggi. Juga melalui kampanye-kampanye gencar dan besar-besaran melalui media massa ataupun pemanfaatan/pengembangan berbagai lembaga pendukung literasi di tengah masyarakat, seperti perpustakaan-perpustakaan, taman-taman bacaan, dan komunitas-komunitas baca-tulis. Gerakan literasi yang baru-baru ini dilancarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya bisa menjadi awal yang baik bagi upaya-upaya lebih strategis dan masif ke arah ini.
Sumber: Harian KOMPAS, 28 April 2016