Rabu, 20 April 2016

Literasi untuk Petani Organik


 
Agaknya, cukup eloklah jikalau saya memohon agar mengingat kembali catatan saya yang berjudul Pustaka Kopi Boda. Soalnya, warung kopi yang saya sambangi beberapa waktu lalu, saya tandangi lagi sepekan kemudian, tepatnya di hari Ahad, 17 April 2016. Pada hari Ahad yang cerah itu, pagi masih semenjana teriknya, sekitar pukul 08.30, saya sudah meluncur ke Desa Labbo, guna menunaikan panggilan mengisi materi pelatihan Program Studi Islam (PSI) BKPRMI Bantaeng, hingga pukul 12.00. Setelahnya, shalat Dhuhur berjamaah, lalu lanjut santap siang bersama plus minum kopi rame-rame, di rumahnya Sirajuddin Siraj, sang Kepala Desa Labbo.
 
Kurang lebih sejam kami mengobrol tentang banyak hal, kisaran pukul 13.30 saya pamit, untuk menuju Kampung Kacidu, tempat warung kopi Pustaka Kopi Boda bermarkas. Namun apa lacur, dalam perjalanan itu, yang jalanannya lebih banyak penurunan, juga tikungan-tikungan, saya agak linglung, sehingga terkadang mau keluar ke bahu jalan. Awalnya, saya kira pengaruh jalanan atau motor plat merah pinjaman yang kurang cocok saya kendarai, rupanya saya agak ngantuk. Akhirnya, sampai di Ereng-Ereng, saya mampir di kebun milik keluarga saya, menyempatkan ziarah kubur di makam Abba (bapak) dan Amma (ibu) saya. Dan, selanjutnya tidur di dangau, pulas.
 
Kumandang adzan pertanda waktu shalat Ashar menggema. Sayup-sayup terdengar dari kejauhan, membangunkan saya. Berarti, cukup lama pulas saya. Ibarat ponsel yang baru di-charge, langsung nyala. Moncerlah saya, segera bergerak menuju Pustaka Kopi Boda. Saya sengaja tidak memberi warta kepada kawan-kawan di sana, bahwa saya mau mampir. Bak pejabat yang mau datang, ini sejenis sidak, apa benar-benar warung kopi ini melek adanya.
 
Setiba di warung kopi Pustaka Kopi Boda, tetap terbuka, tapi tidak ada orang yang bertengger di dalamnya. Saya sengaja melewatinya beberapa meter, seperti detektif yang menguntit, tapi ketahuan oleh Iccank Jalarambang dan dua orang karibnya. Segeralah mereka merapat ke warung, menyambut saya dengan hangat, sehangat dengan kopi hitam nirmanis yang disajikan. Rupanya, mereka lagi bikin pupuk organik, sehingga tidak berada di warung. Saya melihat ada kulit telur yang sementara mereka sortir untuk bahan pupuk. Dan, tak lupa pula mereka menyajikan beberapa tangkai buah langsat untuk dinikmati bersama. Sayangnya, hobbi makan langsat saya belakangan ini selalu dihalangi oleh karib yang numpang di tubuh saya, namanya Asam Urat. Tapi, saya tetap bersahabat dengannya, tetap memberi asupan, setidaknya tiga sampai lima biji. Sebab, manakala lewat dari itu, sang karib mendemo saya dengan tusukan-tusukan ngilu di persendian lutut dan keram-keram di kaki.
 
Lalu, saya pun menjelaskan maksud sehingga saya singgah. Saya sodorkan beberapa buah buku terbitan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan: Pikiran-Pikiran Berserak, Dari 12, Titisan Cinta Leluhur, AirMataDarah, Djarina, dan Ziarah Cinta. Buku-buku tersebut saya serahkan untuk menambah koleksi Pustaka Kopi Boda, sebagai warung kopi yang bernuansa literasi. Dan, kalau ada lagi yang menitipkan wakaf bukunya pada saya, maka akan saya jatahkan lagi. Wakaf buku ini saya serahkan, sebagai janji yang harus saya tunaikan ketika menyatakannya pada kunjungan saya yang pertama.
 
Ternyata, maksud awal hanya sekadar mampir menyerahkan buku, terterungku hingga jelang Maghrib. Soalnya, segelas kopi sudah disajikan. Nah, ini sama saja diajak bersilat pikiran. Tentulah sebagai seorang pesilat, tak elok kalau tidak bersilat dulu, manakala arenanya sudah siap. Maka persilatan ide pun mulai didedahkan. Saya mulai mancing dengan seonggok kulit telur. Dari kulit telur inilah, obrolan melebar kemana-kemana, yang simpai gagasannya terikat pada soal gerakan petani pupuk organik dan bagaimana perkara literasinya.
 
Oleh Iccank Jalarambang, saya disilati pikiran-pikiran membuat pupuk organik, yang berbahan kulit telur, jantung pisang, buah coklat muda, ikan cakalang hingga penggunaan gula merah sebagai unsur utama. Di depan saya sudah ada tiga toples berisi campuran-campuran itu, yang kesemuanya berguna untuk nutrisi tanaman dan perangsang buah. Saya pun sebenarnya tidak terlalu kaget dengan jurus-jurus itu, sebab sewaktu dulu masih sering bantu Abba di kebun, Abba saya juga sering membuat pupuk sendiri, cuma sayangnya saya tidak khusyuk berlatih padanya, sehingga satu-satunya jurus yang saya ingat hanyalah jurus lupa, bahwa saya sudah lupa semua ajaran cara membuat pupuk organiknya.
 
Kayaknya saya harus berguru pada kawan-kawan di padepokan Pustaka Kopi Boda ini, tentang jurus-jurus membuat pupuk organik, mumpung saya masih punya kebun yang berisi tanaman kopi, coklat dan cengkeh warisan Abba. Lalu, saya langsung bertanya, kira-kira berapa harga yang harus dibayarkan manakala ada yang berminat untuk membelinya. Dijawabnya dengan tangkas, bahwa; “produk ini tidak dijual, melainkan mau diajarkan kepada petani, agar bisa membuat sendiri pupuknya.” Wow dahsyat sekali penabalan ini, cobalah bayangkan jika semua petani bisa bikin pupuk sendiri, maka keoklah produsen pupuk kimiawi, yang telah membunuh petani berkali-kali itu. Saya lalu membatin, mungkinkah ini cara terbaik membunuh para kaum kapitalis pupuk itu?
 
Dari persilatan pikiran inilah, saya lalu menyodorkan sejumput gagasan tentang pentingnya bergandengan dengan gerakan literasi. Bahwasanya, tatacara membuat pupuk organik yang bakal dimassalkan perlu dinarasikan. Nah, dari narasi-narasi demikian para petani akan bersentuhan dengan tradisi literasi. Bukankah prilaku yang berualang-ulang dan terbukti keberhasilannya di berbagai tempat, perlu dikonseptualisasikan agar lebih mudah dievaluasi untuk mencanggihkan kapasitas daya dorongnya sebagai gerakan?
 
Pada pucuk persilatan ide, saya tak bosan-bosannya menyatakan, termasuk pada kawan-kawan di Pustaka Kopi Boda, bahwa kebutuhan akan literasi itu ibarat kebutuhan akan gula. Siapa saja yang membutuhkan rasa manis untuk memperenak makanan dan minuman maka sodorkanlah gula padanya. Dan, sebagai gerakan, maka gerakan literasi itu bak flashdisc yang bisa dicolokkan pada setiap perangkat gawai asal bisa membacanya. Dan, yang paling menggenapkan perbincangan adalah ketika Iccank Jalarambang mengatakan bahwa di sekitar areal Pustaka Kopi Boda ini akan dibuat tempat pelatihan membuat pupuk organik. Mungkin bagi banyak orang ini sejenis langkah kecil, tapi Schumacer telah bersabda dalam bukunya: Small is Beutifull, kecil itu indah, iya bukan?

0 komentar:

Posting Komentar