Setiap keluarga, mestinya punya ritus. Ritual yang bakal menjadi tali
pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan
tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis
ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas
keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana
spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas.
Demikian juga dengan peristiwa rutin di keluarga saya, saban
pagi, selalu ada acara minum “air panas”, maksudnya minum kopi, teh atau susu,
sesuai selera masing-masing. Sekadar mendetailkan rutinitas ini, saya minum
kopi hitam nirmanis, pasangan saya minum kopi susu, anak sulung sudah mulai
ikutan nenggak kopi. Sementara anak kedua, ketiga dan yang bungsu, masih setia
dengan teh. Apa pasal sehingga acara minum-minum ini begitu penting
didedahkan? Jawaban sederhananya, karena
di sini ada cangkir-cangkir yang menginspirasi, senantiasa terisi, lalu kosong,
dan diisi lagi.
Cangkir yang terisi penuh, sulitlah diisi. Sebab pasti
meluap dan bisa saja isi yang sebelumnya sudah basi, yang tentunya bila diisi
akan bercampur baur, membusukkan bakal isi yang akan dituang. Artinya, jika
ingin mendapatkan minuman baru, maka kosongkanlah cangkir, entah dengan jalan
meminum isinya hingga habis, atawa bila ada sisa segeralah buang, lalu cuci.
Dengan begitu, kita akan selalu mendapatkan tuangan minuman segar.
Jika saja illustrasi cangkir di atas, saya jadikan tumpuan,
maka bolehlah saya berasumsi, mengumpamakan cangkir itu bak otak yang di dalamnya berisi pikiran. Artinya, manakala
otak ingin selalu segar pikiran yang diusungnya, sangat jelas maksudnya,
senantiasalah mengosongkan otak dari pikiran-pikiran lama, lalu mengisinya
dengan pikiran-pikiran baru, agar otak senantiasa memoncerkan kebaruan gagasan.
Tentang apa yang dimaksud dengan pikiran, cukup elok saya
ajukan penabalan ujar dari Ibnu
Atha’illah as-Sakandari, seorang sufi yang lahir di Iskandariah (Mesir) pada
648 H/1250 M, wafat di Kairo pada tahun
708 H / 1309 M, dalam kitabnya yang monumental, Al-Hikam, bahwa
“pemikiran adalah perjalanan hati dalam
medan ciptaan Allah.” Dan selanjutnya, “ pemikiran merupakan cahaya
hati. Jikalau itu hilang maka tidak akan ada lagi cahayanya.”
Jadi, pikiran yang bertebaran di jagat ciptaan, begitu luas
adanya. Ini berkorelasi langsung dengan kapasitas otak yang unlimited,
tak berbatas jangkauannya, amat bergantung pada sejauh mana si empunya otak
menggunakannya. Olehnya, selayaknya merupakan keharusan, agar senantiasa
memperbarui pikiran. Sebab, tergolonglah kesia-sian, tatkala objek pikiran yang
berlaksa, tidak didaurkan dalam otak, untuk mewujudkan kegunaan. Pada konteks
inilah, nilai guna sebentuk pikiran, menjadi cahaya hati. Dengan begitu, hati
yang bercahaya, secara otomatis selalu melahirkan pikiran yang baru.
Kelihatannya, makin menarik tatkala saya petikkan kembali,
tuturan Ibnu Atha’illah, tentang jenis-jenis pikiran. Menurutnya, ada dua jenis
pikiran: Pertama, pikiran yang berasal dari pembenaran dan keimanan.
Pikiran jenis ini berlaku bagi orang-orang yang bisa mengambil pelajaran. Kedua,
pikiran yang lahir dari penyaksian dan penampakan. Pikiran jenis ini,
bertengger pada insan-insan yang bisa melihat dan menyaksikan dengan mata hati.
Kedua jenis pikiran tersebut, boleh jadi saya sepadankan
dengan istilah lain, pikiran yang didapatkan lewat pembelajaran ilmu ushuli dan
ilmu hudhuri. Hal mana, kedua jenis ilmu ini, mempersyaratkan pentingnya
mengosongkan diri dari rasa telah memiliki ilmu. Diri haruslah menjadi bodoh,
tidak tahu, sehingga pengetahuan akan datang secara sukarela mengisi kekosongan
diri. Diri yang sudah merasa terisi, apatah lagi penuh, tidaklah mungkin
mendapatkan hal baru. Sebab, secara alamiah isi yang lama menolak yang baru. Hanya
cangkir kosong yang layak diisi minuman, hanya otak kelompang yang laik disuguhi pikiran. Kosongkan cangkirmu
agar segar minumanmu, kelompangkan otakmu, biar kebaruan pikiran menyapamu. (17/04/16).
0 komentar:
Posting Komentar