Selasa, 12 April 2016

Pustaka Kopi Boda


 
Sesungguhnya, saya tak merencanakan ke Bantaeng di akhir pekan pada pekan pertama bulan April 2016 ini. Soalnya, saya ingin menyambangi Kelas Literasi dan Kelas Epistemologi Paradigma Institute, yang berlangsung setiap hari Ahad. Kalau saja saya menghitungnya, sudah empat pekan saya alpa mengada di persamuhan ini. Perkara utama sehingga empat pekan terakhir ini, setiap akhir pekan saya ke Bantaeng, karena “terikat kontrak” dengan BKPRMI Bantaeng dengan program Sepuluh Ribu Kader, lewat perkaderan Program Studi Islam (PSI) , dimana saya salah seorang narasumbernya, untuk item Belajar Dahsyat.
 
Pada hari Ahad, 10 April 2016, bertempat di Mesjid Jami Rahmah Bungeng, Desa Pattaneteang, Tompobulu. Seperti galibnya, saya hadir untuk unjuk bicara tentang materi perkaderan yang diamanahkan ke saya. Ini kali keenamnya saya nimbrung mengisi acara. Dan, satu hal yang syukuri, sebab di arena ini, saya bertemu langsung dengan kepala desa Pattaneteang, Lukman Bungdung, yang memang sejak lama ingin sua. Bahkan, beberapa waktu lalu, sudah sering bikin janjian, tapi barulah kali ini tertunaikan. Beliau pun hadir untuk membuka acara pelatihan, sekaligus mensupport kegiatan ini.
 
Sebelum saya bicara di forum, ada telepon dari karib saya, Juju Nurfajri, yang memberi tahu, bila pulang dari pelatihan, kiranya singgah di Kampung Kacidu, Kelurahan Lembang Gantarang Keke, Tompobulu. Telepon Juju Nurfajri membuat saya penasaran. Soalnya, dia menyampaikan bahwa ada warung kopi yang baru dibuat oleh seorang kawan, Iccank Jalarambang, mantan Ketua Umum HPMB Raya, yang konsepnya agak menantang, sebab selain sebagai tempat minum kopi, juga dirancang sebagai tempat baca. Jadilah namanya: Pustaka Kopi Boda.
 
Kala sementara saya mengisi materi acara, Lukman Bungdung pamit, untuk keperluan yang tak bisa ditunda, masih terkait dengan urusan warga. Dari tempat saya bicara, saya memberi isyarat akan restu minta pamit itu. Saya pun mendedahkan ujar-ujar yang terkait dengan materi pelatihan, tentang otak, cara memelihara otak agar tetap sehat, cara kerja otak, hingga kecerdasan majemuk atau multiple intelegence. Saya usaikan peresentasi saya tepat pukul 12.00, selanjutnya tanya jawab. Dan, sebagaimana kebiasaan saya, yang bertanya selalu saya ganjar dengan hadiah, sebuah buku sebagai penguat akan pentingnya membaca. Sebuah buku novel, Titisan Cinta Leluhur, karya Atte Shernylia Maladevi, saya donasikan.
 
Usai shalat Dhuhur, bersantap siang di rumah seorang karib, yang juga pengurus BKPRMI Bantaeng, Sahar Addin. Setelah ramah-tamah dengan tuan rumah, saya pun pamit untuk pulang. Baru seperauh jalan, hujan mulai bergegas turun. Perlahan tapi pasti, butir demi butir menggelinding. Saya mulai ragu, apa melanjutkan perjalanan atau singgah berteduh. Pasalnya, motor yang dipinjamkan ke saya tak dilengkapi jas hujan. Namun, dengan tarikan nafas yang memelas iba, saya membujuk hujun agar berdamai. Benar saja, saya dan hujan berjalan beriring, berkejaran. Kadang-kadang saya di depan tancap gas yang lumayan kencang, karena di belakang saya, hujan memburu. Tempo-tempo pula, saya di belakang hujan membuntutinya. Kalau terpaksa beriringan, saya berhenti sejenak, menyilakan duluan hujan jalan. Bagi saya, ini pengalaman unik, bersahabat dengan hujan.
 
Akhirnya, sampai juga saya di lokasi, anehnya, saya tiba bersamaan dengan hujan. Ibarat perlombaan lari, saya finish bersama hujan. Tepat di dekat rumah kebun Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, nyaris berhadapan, rupanya di situlah letaknya warung kopi yang dimaksudkan Juju Nurfajri: Poros jalan Kacidu. Kampung Kacidu ini, menurut cerita, menyimpan kisah heroik -- nanti akan saya tuliskan -- tetapi yang paling melambungkan namanya, terkenal seantero Bantaeng, karena adanya rumah kebun itu, yang saban waktu ramai, jikalau ada tamu bupati yang diajak wisata kebun. Termasuk hari Ahad ini, ada sekaum orang yang beriang, bergembira dan bersenang-senang.
 
Saya langsung saja membaur bersama beberapa orang yang ada di warung kopi itu. Selain Juju Nurfajri, Iccank Jalarambang sang pemilik, juga ada anak-anak muda, yang semuanya saya sudah kenal, karena biasa jumpa di acaranya HPMB Raya, atau ketika Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan menggelar perhelatan, mereka juga kadang hadir. Tapi, saya tak menduga, bakal bertemu lagi dengan Lukman Bungdung, sang kepala desa Pattaneteang. Rupanya, beliau pamit ketika saya menyajikan materi di pelatihan, tujuannya adalah menghadap pada bupati, di rumah kebun Kacidu ini. Setelah menghadap, mampir pula di warung kopi Pustaka Kopi Boda ini.
 
Persamuhan sederhana pun digelar. Banyak yang dibincangkan, tapi saya simpaikan dalm dua ikatan simpul utama simpulan: kopi dan pustaka. Awalnya, Lukman Bungdung banyak mendedahkan beberapa masalah-masalah di desanya. Mulai dari APBD, program-program yang direncanakan, pertikain antar warga, dll. Namun, ujungnya adalah diskusi tentang kopi. Maklumlah, Desa Pattaneteang salah satu hasil komoditinya adalah kopi. Dari sinilah ditelisik permasalahan kopi dan segala yang terkait dengannya. Tentang harga, kualitas, pola pikir petani kopi, dan kopi Bantaeng yang butuh branding. Pada dasarnya, banyak yang bisa dilakukan atas produk kopi Bantaeng agar bisa bersaing dengan kopi Toraja misalnya. Saya sendiri ikut menghidu persamuhan itu dengan semangat berbagi pengetahuan akan kopi dan pengalaman berkebun kopi, sewaktu masih sering bantu orang tua. Hampir dua jam, bincang-bincang tentang kopi ini berlangsung. Nanti setelah Lukman Bungdung pamit, sesi omong kopi ini berakhir.
 
Saya dan Juju Nurfajri, beserta kawan lainnya masih bertahan, melanjutkan persamuhan. Temanya pun mulai merembet ke tema pustaka. Ini berarti sesi gerakan literasi akan dipercakapkan. Sambil saling bercakap, saya mulai melirik beberapa koleksi buku yang masih minim. Ada beberapa judul buku yang mencuri perhatian saya, antara lain: Islam Kiri, Dalam Diam Kita Tertindas dan beberapa lagi buku wacana pergerakan. Benderang sekali, bahwa warung kopi ini digawangi oleh kaum muda yang cukup kritis. Saya mulai gelisah untuk berbagi pandangan, tatkala mendapati kaum muda seperti ini. Makin bernafsulah saya, tenggelam dalam khusyuknya percakapan.
 
Di pucuk persamuhan, saya mengajukan sejumput tanya pada penggagas Pustaka Kopi Boda ini. Tentang peluang pasar, soalnya, letak warung kopi ini di pelosok, jauh dari keramaian. Pun, tentang dimensi pustakanya, siapa yang bakal disasar?. Mungkin terlalu dini saya mengajukan tanya ini, makanya saya endapkan dalam batin saya saja. Tapi, saya menabalkan ujar, bahwa yang perlu diapresiasi adalah latar belakang pemikiran yang mendasari penghadiran warung kopi ini. Bagi saya, bukan orang sembarangan yang membuat tempat persinggahan ini. Setidaknya, ada sebongkah keberanian untuk menyajikan sesuatu yang berbeda, unik dan istimewa. Dan, sesarinya memang, hanyalah yang keluar dari yang biasa bisa menjadi luar biasa, yang menjajikan harapan, seasa perubahan.
 
Waktu menunjukkan senja, sore ingin pamit, menyilakan malam bertahta. Saya dan Juju Nurfajri hendak pamit. Sebelum minta diri, saya tenggak kopi yang tersisa, seteguk lagi. Nikmatnya memuncak, ada sejenis orgasme dalam rasa di lidah, menjalar ketenggorokan. Mungkin karena kopinya memakai gula merah, dan inilah salah satu keunikan dan keistimewaannya, menyebabkan rasa berbeda dari secangkir kopi pada umumnya. Sebelum saya betul-betul pamit, saya tawarkan kepada kawan-kawan, agar segera melakukan perbincangan lagi di lain waktu, dengan seuntai topik: literasi kopi. Waima sebelumnya, saya sudah tawarkan agar menonton film atau membaca bukunya Dee, Filosofi Kopi. Mengadanya warung kopi ini, Pustaka Kopi Boda, sama saja telah memperpanjang tarikan nafas gerakan literasi.

0 komentar:

Posting Komentar