Selasa, 05 April 2016

Sinergi Gerakan Literasi




Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali mengundang saya untuk ikut Focus Group Discussion (FGD), pada hari Kamis, 31 Maret 2016 bertempat di LPMP Sul-Sel. Ini kali kedua saya diajak selaku pegiat literasi yang berbasis komunitas. Dalam persamuhan yang dihadiri oleh kisaran 50 orang dari berbagai latar aktivitas, namun jika dikelompokkan hanya menjadi dua besarannya: unsur pemerintah dan masyarakat.

Unsur pemerintah direpresentasikan lewat aparatus yang berada di bawah jajaran Kemendikbud, semisal: LPMP, Lembaga Bahasa, Badan Pelestarian Cagar Budaya dan beberapa lagi unsur lainnya. Sementara dari unsur masyarakat, diwakili oleh komunitas, ormas dan lembaga pendidikan, diantaranya: Komunitas Literasi, Ikatan Guru Indonesia, Pemuda Muhammadiyah, HMI, dan beberapa komunitas yang bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan mempertemukan unsur-unsur tersebut, yang dikawal langsung oleh tim staf khusus Kemendikbud, tujuan utamanya adalah membangun sinergitas antara unsur pemerintah dan masyarakat. Sebab, masalah-masalah yang dihadapai oleh bangsa kita, khususnya di bidang pendidikan tidaklah mungkin hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. Saya termasuk orang yang punya pandangan yang sama, masyarakat harus terlibat dalam upaya menyelesaikan persoalan pendidikan.

Ketika forum diskusi berlangsung, yang sebelumnya didahului oleh presentasi program dari jajaran Kemendikbud, khususnya pihak LPMP, nampaklah satu program yang sangat seksis bagi saya: gerakan literasi. Rupanya, pemerintah cukup serius melihat problem tradisi literasi guna mewujudkan budaya literasi sebagai penopang dari kualitas sumberdaya manusia.

Selaku pegiat literasi yang berbasis komunitas, saya menjadi jemawa. Pasalnya, mengapa di lapangan nyaris tidak bersinggungan? Saya mulai meraba, mungkin karena setiap pihak sibuk dengan domainnya masing-masing. Birokrasi pemerintah berasyik masuk dengan kejar realisasi program. Pada konteks ini, kelihatannya pemerintah lebih mengutamakan program sementara di kalangan komunitas, khususnya yang saya kawal tenggelam pula dalam keindahan obsesi, yang dimungkinkan karena komunitas lebih mengedepankan dimensi gerakan.

Sebagai ilustrasi, tepatlah bila saya mengibaratkan dua jenis oto angkutan literasi. Pemerintah memakai sejenis bis kota yang besar, lengkap dengan tata tertib halte, dan tarif yang resmi. Sementara, bagi komunitas literasi, jenis mobilnya adalah pete-pete, yang relatif kecil, bisa menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya, dan tarifnya sesuai persepakatan. Akibatnya, dapat diduga, bus lambat jalannya, lalu pete-pete lincah menyerobot, zig zag dalam melaju.

Dua perwajahan demikian, oleh forum yang digagas oleh staf khusus Kemendikbud dimaksudkan untuk saling membuka diri. Pertanyaan utamanya, apa yang telah dilakukan dan apa yang direncanakan? Dengan begitu, ada kemungkinan kesamaan program yang bisa disinergikan. Tentulah dalam forum ini tidak bisa dihindari perdebatan dan umpatan kritik, maupun masukan yang didesakkan.

Walhasil, forum diskusi ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok multipihak. Maksudnya, di kelompok ini disinergikan gagasan, gerakan dan program yang memungkinkan dikerjasamakan dengan berbagai pihak, sehingga lahirlah aksi bersama. Kedua, kelompok mitratunggal. Diharapkan dari kelompok ini, lahir kerjasama antar unsur, yang disinergikan secara head to head. Dari dua kesimpulan yang ditawarkan kelompok ini, oleh staf khusus Kemendikbud akan dijadikan acuan untuk tindakan lebih lanjut oleh sang Mendikbud.

Pascadiskusi kelompok, lalu sharing hasil diskusi secara bersama, sebelum acara ditutup, jam menunjukkan pukul 15.00 Wita, diadakanlah pemilihan koordinator forum, yang tugasnya untuk senantiasa mengkonsolidasikan apa yang perlu dilakukan, sejenis follow up atas kegiatan ini. Terpilihlah bung Kasman McTutu secara aklamasi selaku koordinator. Dan, tepat pukul 15.30 Wita, acara FGD ditutup secara resmi, dengan ketukan palu, yang disambut dengan tepuk tangan dan derai hujan yang mengguyur lokasi persamuhan.

 Sembari menunggu hujan reda, saya terlibat bincang-bincang ringan dengan beberapa kawan peserta FGD, yang sebenarnya telah cukup lama saya kenal sebelumnya. Salah seorangnya adalah sohib saya, Herman Pabau, yang mengantar pasangannya ikut diskusi, waima ia juga ikut nimbrung. Adalah bung Kasman McTutu yang memulai perkara, dikeluarkanlah sebuah buku yang berjudul, Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda, karangan Ernst H. Gombrich, terbitan Marjin Kiri, November 2015.
 
Kasman McTutu dengan segenap dayanya mendedahkan akan kedahsyatan buku tersebut. Saya ikut menyimak, namun yang lebih terpengaruh adalah Herman Pabau. Sampai-sampai ia menanyakan berapa harga buku itu, dan Kasman McTutu pun menyahut bahwa “harganya sewaktu ia beli sekitar sembilan puluh ribuan”. Oleh Herman Pabau dieksekusi dengan selembar uang merah, seratus ribu sebagai pengganti. Biar Kasman McTutu beli lagi.
 
Namun apa lacur, buku itu saya sudah pegang. Dan, dengan enteng saya tabalkan ucapan terimakasih pada sang sohib atas budi baiknya membayarkan buku itu buat saya. Beberapa kawan yang melihat peristiwa itu sebagai kejadian yang di luar kebiasaan. Ada yang terperangah, sebegitu mudahnya saya menyalib ulah guna mendapatkan buku itu. Banyak yang tidak menduga sebegitu jauh persohiban saya dengan Herman Pabau, bahwa sesungguhnya, ulah-ulah seperti itu, antara saya dengannya, ibarat tembang kenangan yang diputar kembali, “milikmu milikku jua”.

0 komentar:

Posting Komentar