Kamis, 28 April 2016

Membincang Jejak Buku di Makassar


Ada banyak cara untuk merayakan Hari Buku Sedunia, yang jatuh setiap tanggal 23 April. Dan, pertama kalinya diadakan pada tanggal 23 April 1995, yang digagas oleh UNESCO. Tujuannya, mempromosikan budaya membaca, penerbitan, dan hak cipta. Menurut sejarahnya, asal mula perayaan ini, merujuk pada perayaan Hari Saint George di Katalonia pada abad pertengahan. Faktanya, sebuah tradisi dimana kaum pria memberikan bunga mawar kepada kekasihnya. Lalu, di tahun 1925, para perempuan membalas pemberian mawar itu dengan buku, sebagai balasannya. Kira-kira, pernyataan yang cukup padat untuk menyimpaikannya: nyatakan saja dengan buku.
Oleh Cafe Dialektika Makassar, pada perayaan tahun ini, membikin perhelatan berupa: Pameran Buku, pemutaran film yang berjudul The Words, dan Bincang Jejak Buku di Makassar, yang berlangsung 23-25 April 2016, bertempat di Teras Dialektika. Dari sekian mata acara yang menarik bagi saya, tatkala membincang dunia perbukuan Makassar, menghadirkan beberapa pemilik-CEO toko buku indie dan komunitas. Tercantumlah nama-nama, semisal toko buku: Intuisi, Alfarabi, Paradigma Ilmu-Papirus, Bengkel Buku Wedata, Kedai Buku Jeni, Taman Baca Anak Bangsa dan Kampung Buku. Waima yang hadir sebagai pembincang hanya dari Intuisi ( Ikrimah Intuisi, Wedata (Mubarak Idrus) dan Paradigma-Papirus (Sulhan Yusuf).
Menghampiri pukul 20.00, pada hari Senin, 25 April 2016, saya selaku representasi dari Paradigma Ilmu-Papirus, sudah tiba di Cafe Dialektika. Sambutan hangat dari pemilik, Hasbullah dan Ahmad Faqhruddin, segera menghidu keberadaan saya. Mengobrol sejenak, kemudian hadirlah Ikrimah Intuisi, dan tidak lama sesudahnya, muncul pula Mubarak Idrus. Rupanya, hanya kami bertiga yang bakal membincang tema persamuhan ini.
Acara pun dimulai, oleh moderator, Hasbullah, dijelaskannya maksud perhelatan ini. Dan, setelahnya, kami bertiga pun didapuk secara bergiliran untuk membincang topik, jejak buku di Makassar. Selaku pembincang pertama, saya menguraikan perspektif tentang situasi perbukuan di Makassar, yang rentang waktunya lebih dari 20 tahun. Seusia dengan mulainya saya terjun menjadi penjual buku. Pun, saya tak lupa menggambarkan situasi sebelumnya, yakni sejak tahun 1985, ketika saya memulai tahun pertama di Perguruan Tinggi.
Tentulah penjelesan saya tidak memadai, sebab hanya mengandalkan ingatan. Saya lalu menyodorkan klasifikasi para pemain buku, bahwa di tahun itu, yang berbisnis buku pada umumnya adalah orang Tionghoa, Arab dan Jawa. Seingat saya, hanya ada satu toko buku yang diawaki oleh orang Bugis-Makassar, yakni toko buku Pesantren yang beralamat di Jalan Tinumbu-Pannampu.
Sependek ingatan saya, tersebutlah nama-nama toko buku, semisal: Indah Jaya, Mawar, Hidayat, Rahman, Dunia Ilmu, Bina Ilmu, Arena Ilmu, Siswa, Pustaka Sarjana, Makassar Agung, Terbit Terang, Purnama Ilmu, Arjuda, Palopo Ilmu, Darul Ulum dan puluhan lagi yang berdomisili di Pasar Sentral maupun Pasar Butung. Belakangan, memasuki tahun 90-an, muncullah Toha Putra, Gramedia, Cordova dan Promedia. Dari sekian banyak toko buku itu, ada yang masih eksis hingga sekarang, tapi banyak pula yang sudah tutup.
Terkhusus pada toko buku yang saya gawangi, Paradigma Ilmu Toko Buku, saya mendirikannya pada tahun 1993 di Jalan Perintis Kemerdekaan, tepatnya dekat arah masuk ke kompleks perumahan BTN Hamzy dan Antara. Kurang lebih setahun di lokasi ini, tahun 1994, saya memindahkannya ke Gunung Sari, persisnya di Jalan Sultan Alauddin II/Jalan Pabbentengan no. 6, yang sekaligus tempat mukim saya. Lokasinya amat terpencil, masuk lorong. Dan, secara teoritik tidak strategis. Namun, saya tetap melanjutkannya, sebab amat sulit mendapatkan lokasi yang strategis dengan harga kontrakan yang terjangkau. Sepuluh tahun kemudian, saya mendirikan Papirus Tokobuku Dan Komunitas di Pusat Dakwah Mummadiyah Tamalanrea Makassar.
Dari fasilitas yang terbatas inilah, saya kemudian membangun konsep toko buku yang berbasis komunitas, dengan segmen utama kaum muda mahasiswa Makassar. Jadi, di samping ada toko bukunya, juga memiliki komunitas, yang lumayan aktif melakukan pengkajian-pengkajian pemikiran, baik yang bernuansa keagamaan, sosial, budaya, politik, ekonomi dan pendidikan. Bahkan, di tahun-tahun awal, komunitasnya lebih menonjol ketimbang toko bukunya. Demikian juga di Papirus Tokobuku Dan Komunitas, masih eksis hingga sekarang.
Ada titik tekan yang saya ajukan pada perbincangan kali ini, bahwa visi pemilik toko buku menentukan seperti apa pandangan dunianya terhadap industri perbukuan. Setidaknya, yang pertama, sekadar memandang buku sebagai komoditi dagang semata. Tidak ada bedanya antara komoditi dagang lainnya. Motif utamanya, karena bisnis buku memang menjanjikan laba. Tipe pebisnis buku yang demikian, sering saya istilahkan sebagai “penjual kertas” saja.
Kedua, motif pebisnis buku yang menceburkan dirinya karena dorongan yang lebih dari sekadar mencari keuntungan. Ada kesadaran yang terbangun bahwa berbisnis buku berarti terlibat dalam urusan maju mundurnya suatu peradaban. Sehingga, keterlibatan dalam bisnis ini sarat dengan idealisme, dan amat mementingkan buku-buku yang ditransaksikan bernuansa penggerak perubahan. Tumbuh sejenis keyakinan bahwa perubahan bisa terwujud, salah satunya karena adanya faktor wacana yang menuntut pentingnya suatu perubahan. Para pebisnis buku yang terlibat di sini, biasanya tumbuh di komunitas-komunitas atau istilah lainnya toko buku indie. Mereka inilah tidak sekadar “menjual kertas” melainkan memang benar-benar adalah “menjual buku”.
Dan, yang diundang oleh Cafe Dialektika adalah para “penjual buku”. Saya mencoba meraba maksud dari perhelatan ini, sebagai ajang konsolidasi dari berbagai latar pengalaman para “penjual buku” untuk mendedahkan pengalamannya, sekaligus membangun perspektif agar benar-benar ada vitalitas bersama untuk mengembalikan kaum muda mahasiswa untuk terlibat dalam diskursus wacana perubahan. Sebab, ada keresahan bersama di waktu kiwari ini, bahwa kaum muda mahasiswa kurang tertarik dalam pertikain pemikiran untuk membangun pemikiran-pemikiran baru untuk sebuah perubahan.
Sebagai pihak yang diundang untuk berbagi pengalaman, sekaligus selaku pegiat literasi, saya kemudian menegaskan bahwa terjunnya saya ke dunia perbukuan, dengan menjadi “penjual buku”, dilatari oleh tiga pilar semangat yang setimbang dalam keseimbangan. Pertama, sebagai sarana untuk mencari nafkah. Kedua, sebagai arena untuk melestarikan hobbi pada buku, dan ketiga, sebagai wadah untuk senantiasa memelihara idealisme. Tiga pilar inilah yang menjadi penyangga, sehingga sampai saat ini, sudah lebih dua puluh tahun, masih berkutat sebagai “penjual buku” dan bukan “penjual kertas” semata.
Pascabincang saya, secara berurut, berbicara pula Mubarak Idrus, dan dilanjutkan oleh Ikrimah Intuisi. Banyak hal yang menarik dari dua narasumber itu. Seabrek pengalaman bergumul selaku “penjual buku”, amat banyak yang bisa dituliskan. Namun, ruang tulisan saya ini amat terbatas untuk mendedahkannya. Saya berharap, mereka berdua, menuliskannya pula, sebab keduanya punya latar belakang kemahiran dalam menulis.
Yang pasti, bagi saya malam itu adalah malam curhat, karena untuk pertama kalinya selama saya bersetubuh dengan dunia perbukuan diberi ruang untuk berbicara seputar pergumulan dengan industri perbukuan, yang suka dan dukanya sudah melarut pada jiwa saya, selarut malam yang makin larut, mendekati pukul 23.00, sewaktu sang moderator, Hasbullah mengakhiri acara, dengan memberikan hadiah dua buah buku pada dua peserta yang berhasil menjawab pertanyaan yang diajukannya.

0 komentar:

Posting Komentar