Minggu, 10 April 2016

Exiurose




Sulhan Yusuf

Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose  adalah kependekan dari Experience is Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman adalah tujuan kami. Saya pikir, slogan ini jauh lebih berbobot dari jargon para caleg dan cabub, yang sekadar memohon untuk memilihnya.

Dikarenakan kata experience yang berarti pengalaman inilah, mengingatkan saya pada sebuah buku, Belajar dari Pengalaman, P3M 1986, yang merupakan buku panduan pelatihan untuk para aktifis gerakan, terutama di kalangan aktifis Non-Govermen Organitation (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Isi buku itu merupakan kumpulan pengalaman pelatihan di berbagai tempat, lalu diakumulasi menjadi satu buku panduan, yang digunakan untuk melatih para pelatih. Ada siklus pengetahuan yang ditawarkan dalam buku ini, sebentuk lingkaran yang dimulai dengan merencanakan, lalu mengorganisir, kemudian melaksanakan, selanjutnya mengendalikan lalu kembali lagi merencanakan dan seterusnya. Dari situlah akumulasi pengalaman menjadi pengetahuan yang dinamis.

Sesarinya, pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan. Waima subjektif sifatnya, tapi manakala setiap orang bisa punya pengalaman yang sama atas suatu objek, maka pada saat itulah proses objektivikasi memungkin dilakukan. Dalam sistem berfikir, sebagai rangkaian untuk mengambil kesimpulan, dikenallah dengan istilah logika induksi, menarik kesimpulan berdasarkan kesamaan pengalaman. Dan, pada tradisi keilmuan yang berbasis spiritual, semisal para sufi, maka puncak tertinggi pengetahuan adalah mengalami. Simpai sederhananya, pengalaman nyata atas kenyataan tak berbatas.

Pengalaman berarti proses mengalami. Makna terdalamnya belajar pada alam. Alam sebagai objek untuk mengalaminya menjadi pengalaman, maka tersedia bentuknya, yang merupakan ayatullah, tanda-tanda Tuhan. Secara akademik sering dibagi menjadi tiga wujud – meminjam pembagian Emha Ainun Najib – tanda Tuhan yang tertulis dalam kitab suci, yang memanifestasi dalam semesta dan yang tersembunyi pada diri. Seluruh medium tanda Tuhan itu, sedianya adalah tempat untuk belajar, menimba pengetahuan seluas mungkin. Makin banyak mengalami persentuhan dengan ayatullah itu, maka makin dalam pulalah hasil selaman pengetahuan.

Sebentuk diktum kepastian,  bahwa orang yang banyak mengalami alam dengan segala spektrumnya, memungkinkan meraih tingkat kecerdasan yang tak terbatas. Otak sebagai basis kecerdasan, cara paling jitu untuk merawatnya agar tetap sehat, adalah dengan cara memperbanyak mengalami alam agar menjadi pengalaman. Pengalaman yang banyak menyebabkan sambungan sinaptik pada otak lebih cepat, semakin rapat  saraf-saraf otak . Orang yang berpengalaman, berarti orang cerdas, bermakna pula orang yang rapat saraf-saraf otaknya.

Akumulasi pengalaman yang mengantarkan pada kecerdasan, tentulah akan meninggikan derajat seseorang. Insan yang telah tinggi derajatnya karena kaya akan pengalaman, pastilah tidak berkenan jatuh tersungkur menjadi seekor binatang. Seekor binatang saja, dengan pengalaman yang sama, tidaklah ingin mengulangi sebuah laku yang bakal merugikannya. Apatah lagi sebagai manusia, bila saja ia terjatuh pada kenistaan, padahal sudah punya pengalaman sebelumnya, maka benar-benarlah ia ternista. Bukankah sepenggal pameo cukup mashur untuk diperpegangi, yang bunyinya: sebodoh-bodohnya keledai, tapi tak mau jatuh pada lobang yang sama.
 
Dalam keisengan, saya lalu mencoba menyelami apa yang dimaksudkan oleh putri saya itu atas akronim di baju kaosnya itu. Melantunlah sepenggal asa, bahwa menurutnya, dan juga kawan-kawannya, semasa masih bersekolah sedapat mungkin menimba pengalaman sebanyak-banyaknya. Dan, porseni baginya adalah lahan yang subur untuk memetik pengalaman. Maksudnya, pengalaman  menang sekaligus kalah. Bagaimana merasakan keriangan ketika menang dan keterpurukan kala kalah. Pengalaman itu akan memuncak pada sportivitas, dan objektvitas. 

(Lembaran Kala, 10 April 2016)

0 komentar:

Posting Komentar