Sulhan Yusuf
Salah seorang putri saya,
yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam
porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga
itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja,
anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya,
Exiurose adalah kependekan dari Experience
is Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman adalah tujuan
kami. Saya pikir, slogan ini jauh lebih berbobot dari jargon para caleg dan
cabub, yang sekadar memohon untuk memilihnya.
Dikarenakan kata experience yang berarti pengalaman
inilah, mengingatkan saya pada sebuah buku, Belajar dari Pengalaman, P3M
1986, yang merupakan buku panduan pelatihan untuk para aktifis gerakan,
terutama di kalangan aktifis Non-Govermen Organitation (NGO) atau
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Isi buku itu merupakan kumpulan pengalaman
pelatihan di berbagai tempat, lalu diakumulasi menjadi satu buku panduan, yang
digunakan untuk melatih para pelatih. Ada siklus pengetahuan yang ditawarkan
dalam buku ini, sebentuk lingkaran yang dimulai dengan merencanakan, lalu
mengorganisir, kemudian melaksanakan, selanjutnya mengendalikan lalu kembali
lagi merencanakan dan seterusnya. Dari situlah akumulasi pengalaman menjadi
pengetahuan yang dinamis.
Sesarinya, pengalaman merupakan salah satu sumber
pengetahuan. Waima subjektif sifatnya, tapi manakala setiap orang bisa punya
pengalaman yang sama atas suatu objek, maka pada saat itulah proses objektivikasi
memungkin dilakukan. Dalam sistem berfikir, sebagai rangkaian untuk mengambil
kesimpulan, dikenallah dengan istilah logika induksi, menarik kesimpulan
berdasarkan kesamaan pengalaman. Dan, pada tradisi keilmuan yang berbasis
spiritual, semisal para sufi, maka puncak tertinggi pengetahuan adalah
mengalami. Simpai sederhananya, pengalaman nyata atas kenyataan tak berbatas.
Pengalaman berarti proses mengalami. Makna terdalamnya
belajar pada alam. Alam sebagai objek untuk mengalaminya menjadi pengalaman,
maka tersedia bentuknya, yang merupakan ayatullah, tanda-tanda Tuhan.
Secara akademik sering dibagi menjadi tiga wujud – meminjam pembagian Emha
Ainun Najib – tanda Tuhan yang tertulis dalam kitab suci, yang memanifestasi
dalam semesta dan yang tersembunyi pada diri. Seluruh medium tanda Tuhan itu,
sedianya adalah tempat untuk belajar, menimba pengetahuan seluas mungkin. Makin
banyak mengalami persentuhan dengan ayatullah itu, maka makin dalam
pulalah hasil selaman pengetahuan.
Sebentuk diktum kepastian,
bahwa orang yang banyak mengalami alam dengan segala spektrumnya,
memungkinkan meraih tingkat kecerdasan yang tak terbatas. Otak sebagai basis
kecerdasan, cara paling jitu untuk merawatnya agar tetap sehat, adalah dengan cara
memperbanyak mengalami alam agar menjadi pengalaman. Pengalaman yang banyak
menyebabkan sambungan sinaptik pada otak lebih cepat, semakin rapat saraf-saraf otak . Orang yang berpengalaman,
berarti orang cerdas, bermakna pula orang yang rapat saraf-saraf otaknya.
Akumulasi pengalaman yang mengantarkan pada kecerdasan,
tentulah akan meninggikan derajat seseorang. Insan yang telah tinggi derajatnya
karena kaya akan pengalaman, pastilah tidak berkenan jatuh tersungkur menjadi
seekor binatang. Seekor binatang saja, dengan pengalaman yang sama, tidaklah
ingin mengulangi sebuah laku yang bakal merugikannya. Apatah lagi sebagai
manusia, bila saja ia terjatuh pada kenistaan, padahal sudah punya pengalaman
sebelumnya, maka benar-benarlah ia ternista. Bukankah sepenggal pameo cukup
mashur untuk diperpegangi, yang bunyinya: sebodoh-bodohnya keledai, tapi tak
mau jatuh pada lobang yang sama.
Dalam keisengan, saya lalu mencoba menyelami apa yang dimaksudkan oleh putri saya itu atas akronim di baju kaosnya itu. Melantunlah sepenggal asa, bahwa menurutnya, dan juga kawan-kawannya, semasa masih bersekolah sedapat mungkin menimba pengalaman sebanyak-banyaknya. Dan, porseni baginya adalah lahan yang subur untuk memetik pengalaman. Maksudnya, pengalaman menang sekaligus kalah. Bagaimana merasakan keriangan ketika menang dan keterpurukan kala kalah. Pengalaman itu akan memuncak pada sportivitas, dan objektvitas.
(Lembaran Kala, 10 April 2016)
0 komentar:
Posting Komentar