Oleh Gede Prama
Seorang sahabat Muslim mengirim buku indah berjudul “Nonviolent Soldier of Islam“. Ia ditulis oleh penulis buku terkenal Eknath Easwaran yang pernah menulis Bhagavad Gita sekaligus Dhammapada. Begitu melihat pembungkus depan dan belakang buku ini saja sudah terasa hawa sejuk dan lembut. Perhatikan salah satu kalimat indah yang ditulis di bungkus belakang: “Ia yang kuat, memilih bertindak tanpa kekerasan”. Sederhananya, kelembutan, kesejukan adalah sahabatnya manusia-manusia yang di dalamnya kuat. Ini sesungguhnya bukan pesan baru, karena sudah diwartakan para suci jauh sejak ribuan tahun yang lalu. Tapi ia terasa menyirami karena peradaban kekinian penuh dengan hawa panas kekerasan.
Bayangkan, tempat-tempat yang pernah melahirkan buku suci dan Guru suci (India, Pakistan, Palestina, Israel) semua panas oleh kekerasan. Bali yang pernah disebut the last paradise, angka bunuh dirinya menaik terus. Thailand yang lama disebut land of smile oleh majalah Time diganti menjadi land of coup. Di Barat sana bahkan ada yang tega menyebut agama sebagai sumber kekerasan dan kejahatan.
Holy water of compassion
Sehingga di tengah percikan-percikan panas api ini, bahkan setetes air pun sangat menyejukkan. Dan buku otobiografi tokoh Islam bernama Badshah Kahn (sahabat seperjuangan Mahatma Gandhi di India) ini, adalah salah satu air suci sejuk yang pernah dipercikkan di taman bunga agama-agama. Sejenis air suci (tirtha) kasih sayang. Sehingga komentar Christian Science Monitor yang dicantumkan di bungkus depan buku ini sangat mewakili isi buku sejuk ini: “Intisari kisah Khan…bahwa hakikat Islam yang sejati adalah antikekerasan”.
Seperti menemukan intisari kenabian di zaman ini, di halaman 103 buku ini berpesan sederhana sekaligus mendalam: “Manusia memetik banyak pelajaran di sekolah penderitaan”. Di zaman ini, jangankan manusia biasa, bahkan Nabi pun dihaluskan oleh amplas keras bernama penderitaan. Sulit membayangkan ada perjalanan spiritual mendalam tanpa melalui lorong-lorong gelap penderitaan Bagi orang biasa, penderitaan adalah hukuman. Bagi penggali ke dalam diri yang mengagumkan, penderitaan adalah kilatan cahaya bahwa jiwa mulai melihat arah jalan pulang. Saat menderita, di dalam sini terasa ada yang takut dan ragu.
Keadaannya serupa dengan anak balita yang bermain terlalu jauh dari rumah, kemudian takut dan ragu. Dengan demikian, makna lain penderitaan, penderitaan menjadi masukan kalau jiwa bermain terlalu jauh dari rumah. Sekaligus menjadi panggilan terang bagi sang Jiwa: “pulang, pulang, pulang”.
Senjata tidak terkalahkan
Jangankan setelah pulang, bahkan tatkala jiwa baru melangkah pulang pun kehidupan sudah menyediakan kilatan-kilatan cahaya kedamaian. Perhatikan apa yang ditulis buku lembut ini di halaman 149: “Aku akan memberikan senjata yang tidak akan dilawan tentara dan polisi. Senjata Sang Nabi ini bernama kesabaran dan kebenaran”. Hanya jiwa yang dibimbing Cahaya yang berani mengambil “senjata” jenis ini. Dalam terang Cahaya, kegelapan kekerasan tidak dilawan dengan kegelapan kemarahan, tapi diterangi secara lembut menggunakan lentera kesabaran. Dengan penggalian sedalam ini. bisa dimaklumi jika Khan yang lahir di keluarga Islam sangat dekat luar dan dalam dengan Mahatma Gandhi yang lahir di keluarga Hindu.
Berkali-kali Khan mengakui di buku ini: “Tatkala Gandhiji mau memutuskan hal-hal penting, tercium jelas sekali kalau saya sedang berjumpa dengan seorang hamba Allah yang sedang memasrahkan dirinya secara total kepada Allah”.
Pandangan terang seperti ini, tidak mungkin bisa dicapai oleh sembarang jiwa. Ia hanya mungkin didaki oleh jiwa yang sudah melewati banyak penderitaan, tunduk sujud di depan penderitaan, menggunakan penderitaan sebagai kekuatan yang menghaluskan. Ini terlihat terang di halaman 129: “Bagi seorang Muslim, mengikuti jalan hidup tanpa kekerasan bukanlah hal yang mengejutkan. Jalan ini sudah dilalui empat belas abad silam di Mekah oleh Sang Nabi”. Pernyataan ini mengingatkan pada ungkapan tua di dunia Sufi: “Perilaku buku suci seperti calon penganten wanita. Ia hanya membuka baju pada calon suaminya”.
Suami buku suci
Seluruh isi buku ini bercerita terang kalau Khan sudah menjadi “suami” buku suci. Buktinya, buku suci sudah membuka bajunya. Kemudian memancarkan cahaya kelembutan, kesabaran, kesantunan. Dan tiba-tiba Sang Nabi yang memancarkan cahaya tauladan sempurna berabad-abad lalu menjadi teramat dekat di hati. Ini salah satu ciri manusia yang sudah menyembah rumah Tuhan yang dibikin tangan Tuhan. Dalam totalitas, buku indah yang diterbitkan oleh kelompok penerbit Bentang (2013) ini sangat layak dibaca, tidak saja layak untuk sahabat Muslim tapi juga bagi setiap penekun spiritual mendalam.
Tidak semua bagian agama-agama itu sama, tidak semua unsur agama-agama boleh disamakan, tapi bagian yang tidak sama itu bukanlah bahan bakar kekerasan, melainkan warna-warni yang sebaiknya dilukis menjadi pelangi keindahan. Dalam konteks inilah, umat manusia memerlukan lebih banyak orang seperti Eknath Easwaran, yang menulis buku Nonviolent Soldier of Islam yang indah, ia sama indahnya tatkala beliau menulis buku Hindu berjudul Bhagavad Gita serta buku Buddha berjudul Dhammapada. Kita membutuhkan lebih banyak Guru serupa Karen Armstrong yang menulis autobiografi Nabi Muhammad yang sama indahnya dengan autobiografi Buddha. Kita juga merindukan lebih banyak penulis mirip Deepak Chopra yang menulis buku The Third Jesus sama indahnya dengan novelnya berjudul Buddha.
Melalui karya-karya tokoh seperti ini, agama-agama kemudian berhenti masuk ke dalam kotak kekerasan, sebaliknya menjadi sumber air sejuk kelembutan dan kedamaian. Inilah yang dilakukan tokoh Islam bernama Badshah Kahn. Ini juga yang dilakukan Mahatma Gandhi, Bunda Teresa serta YM Dalai Lama.
0 komentar:
Posting Komentar