Ketidakpercayaan
Sosial
Candra Malik, peminat
tasawuf
Kolom/Artikel :
Tempo.co, 23 Agustus 2014
Kehilangan
terbesar adalah kehilangan rasa percaya diri. Namun, kehilangan yang lebih
besar lagi adalah kehilangan kepercayaan dari orang lain, apalagi jika disusul
dengan sanksi sosial. Yang kurang-lebih sama besarnya adalah kehilangan
kepercayaan kepada orang lain, yang bisa menyebabkan sikap antisosial. Satu dan
lainnya sama-sama berpotensi mencerabut kodrat kita sebagai makhluk sosial.
Kita menjadi penyendiri. Kita menyendiri.
Saat ini, kita hidup
dalam suasana batin yang mengarah ke sana ketika gotong-royong semakin
mahal.Siskamling mulai digantikan oleh portal-portal di mulut gang, baik di
kampung-kampung maupun kompleks-kompleks perumahan, terutama di kota-kota.Ketidakbersediaan
sebagian warga untuk begadang di gardu ronda memicu kesepakatan untuk membuka
peluang kerja jasa keamanan, dan kita cukup membayar kompensasi
ketidakbersediaan untuk meronda malam.
Padahal, sesungguhnya
kita sedang mengalami kehilangan; kehilangan rasa percaya diri,
kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan kehilangan kepercayaan dari orang
lain. Kita tidak lagi saling percaya.Pagar-pagar rumah semakin
tinggi, pintu-pintu rumah siang-malam dikunci, dan penghuni rumah tidak serta-merta
membukakan pintu jika diketuk. Jangankan pengamen, tamu pun kesulitan mendapat
akses untuk ditemui oleh tuan rumah.
Di sebagian rumah,
penghuninya masih menyambut ucapan salam dari luar rumah. Sebagian lainnya
telah menutup pintu rapat-rapat dan hanya memberi lonceng mesin suara. Semakin
sulit menemukan rumah dengan keakraban penghuninya, bahkan kepada orang-orang
yang lalu-lalang, melalui bahasa pelepas dahaga, yaitu ketersediaan kendi air
minum di pagar. Rukun tetangga dan rukun warga menjadi alat sosial belaka untuk
mengurus surat-surat.
Musyawarah warga
menjadi barang mewah. Warga menjadi berkelompok berdasarkan selera sosial,
entah itu dalam kegiatan beragama, berkesenian, berolahraga, atau berekreasi.
Masih ada pemersatu itu yang, syukurlah, bisa bertahan meski batasannya makin
longgar. Bukan lagi melulu berdasarkan tempat tinggal, tapi lebih pada kesamaan
selera sosial. Dinamika ini meretas keberagaman sekaligus keseragaman sosial.
Menjadi beragam karena
memang aneka rupa selera sosial memunculkan warna-warni itu. Menjadi seragam
karena setiap komunitas kemudian melahirkan simbol-simbol identitas. Jika dalam
wilayah sosial yang melintas batas itu terus terjadi krisis kehilangan
kepercayaan, kondisinya bisa semakin runyam. Keberagaman justru bisa memicu
kecurigaan antarkomunitas dan kerukunan antarmanusia menjadi semakin jauh
panggang dari api.
Lahirnya tokoh-tokoh
sosial yang mendobrak kebekuan itu sungguh melegakan, dan kita butuh lebih
banyak dan lebih banyak lagi tokoh-tokoh itu. Mereka tidak harus aparatur
negara, tidak harus wakil rakyat. Apalagi kita sama-sama tahu betapa birokrasi
dan protokol begitu menyebalkan dan melelahkan. Masyarakat memerlukan terobosan
dan kepemimpinan untuk menjaga nyala api Bhinneka Tunggal Ika dan gotong-royong
agar tidak padam.
0 komentar:
Posting Komentar