Rabu, 27 Agustus 2014

Gede Prama - BERLIAN KASIH SAYANG



BERLIAN KASIH SAYANG
Gede Prama

Suatu hari di sebuah kawasan Afrika yang terpencil, ada seorang pria miskin yang tiap hari berdoa agar bisa memiliki berlian. Dan berapa kali pun ia berdoa, tetap tidak menemukan berlian di tanahnya yang kering. Frustrasi keinginannya tidak terpenuhi, ia kemudian menjual tanahnya, kemudian mencari berlian di negeri yang jauh.

Di negeri yang jauh pun nasib pria ini sama. Ia tidak bisa menemukan berlian yang ia cari. Kelelahan mencari, ia kemudian pulang ke kampung halamannya membawa rasa kecewa. Dan betapa terkejutnya ia sesampai di kampung halamannya menyaksikan, ternyata tanah yang ia jual sekarang sudah menjadi milik perusahaan tambang yang menambang berlian di sana.

Kisah ini adalah kisah tua. Ia setua pencarian manusia. Awalnya, banyak manusia tidak puas dengan apa yang ia miliki. Sebagai akibatnya, ia mencarinya di tempat yang sangat jauh. Dan di tempat yang sangat jauh, ia semakin tidak menemukan apa yang ia cari. Selalu ujungnya sama, di mana seseorang memulainya di sanalah sang rahasia disembunyikan.

Perjalanan spiritual banyak orang menemukan rumah (home) juga seperti ini. Tidak puas dengan tempat suci di negeri sendiri, banyak yang pergi ke India, Nepal, Tibet, Lourdes, Arab, Yerusalem, Peru, dll. Dengan sedih harus diungkapkan di sini, semua yang mencarinya di tempat jauh harus kecewa pada akhirnya.

Kesedihan, kemalangan, penderitaan datang lagi dan lagi sebagaimana pada awalnya.
Dan siapa saja yang tidak lari dari kesedihan, sujud hormat pada kesedihan seperti menghormati Guru suci, membaca rahasia yang disembunyikan di balik kesedihan, kemudian ada kemungkinan bisa menemukan berlian di dalam diri. Dan berlian itu bernama belas kasih (compassion).

Di zaman kita, dunia mengagumi Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran, Nelson Mandela, Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, YM Dalai Lama, Thich Nhat Hanh, Martin Luther King Jr., Lady Diana. Semuanya lahir di negeri berbeda, tumbuh dalam tradisi yang berbeda, tapi semuanya dibuka pintunya melalui kesedihan mendalam.

Ia seperti bercerita kisah yang sama, kebanyakan manusia lari dari kesedihan sebagai “tempat lahir” spiritualnya jiwa-jiwa di zaman ini. Setelah pergi jauh, mencarinya di tanah kesenangan, kebahagiaan, sukacita, kemudian jiwa-jiwa merasa terasing dalam tubuhnya sendiri. Keadaan terasing inilah yang membuat mereka kemudian pulang.

Dan di tempat asal, lagi-lagi jiwa disambut oleh kesedihan. Bukan karena dihukum, bukan karena banyak dosa, bukan karena punya banyak kesalahan. Sekali lagi bukan. Tapi karena kesedihan adalah bab penting dalam buku di dalam. Tanpa membaca bab kesedihan, semua bab lain dalam buku kehidupan tidak akan bisa dimengerti.

Rasa sakit, demikian cerita jiwa-jiwa yang sudah pulang, serupa pisau tajam yang menghaluskan jiwa dari berbagai bentuk baju palsu. Dari baju badan, pikiran, perasaan hingga kecerdasan. Tatkala semua baju palsu ini dikuliti oleh pisau tajam kesedihan, di sana ada kemungkinan jiwa bisa menemukan rumahnya.

Dan sesampai rumah, banyak yang terkejut, ternyata apa yang dicari juga mencari, apa yang dicari semuanya sudah tersedia di dalam. Makanya ada yang berpesan, berhenti mencari kemudian Anda langsung sampai. Sesampai di rumah, tidak ada apa-apa yang tersisa, terkecuali belas kasih (compassion) agar semua makhluk bisa menemukan berliannya di dalam.
Penulis: Gede Prama

0 komentar:

Posting Komentar