Rabu, 27 Agustus 2014

Gede Prama - CINTA MEMPERCANTIK JIWA



CINTA MEMPERCANTIK JIWA
Gede Prama

Tatkala Nelson Mandela wafat beberapa tahun lalu, sulit membantah kalau dunia sedang kehilangan sebuah cahaya. Saat Lady Diana meninggal sekian tahun lalu, miliaran pasang mata di dunia meneteskan air mata. Tidak ada cerita lain di balik ini terkecuali cerita tentang jiwa yang indah.

Bagi setiap hati yang dihiasi bunga kepekaan, perjumpaan dengan jiwa-jiwa indah mudah membuat air mata menetes. Dalam bahasa Karen Armstrong, kapan saja hadir sesosok jiwa yang penuh dengan cinta, jiwa kita merasa terangkat. Dan salah satu tanda jiwa terangkat adalah air mata yang menetes.

Dari sini timbul pertanyaan, apa yang membuat segelintir jiwa jadi demikian bercahaya. Di Timur dikenal reinkarnasi roh-roh suci yang turun ke bumi untuk berbagi cahaya. Di Hindu dikenal Avatara alias Tuhan yang turun ke bumi. Di Buddha Mahayana dikenal Bodhisattva yang bersumpah untuk terus menerus lahir sampai alam samsara ini kosong. Di Barat orang mengenal malaikat.

Entah itu bawaan dari alam sana, atau dikembangkan di sini di muka bumi, terasa sekali kalau dekat dengan jiwa-jiwa indah di sana-sini tercium aroma cinta. Seorang sahabat dekat pernah berjumpa YM Dalai Lama, hanya dengan melihat mukanya saja, sahabat ini sudah menangis. Mencermati bahasa tubuh serta pancaran mata YM Dalai Lama, tidak ada cahaya lain selain cinta.

Bahan renungannya kemudian, bisakah orang-orang biasa memiliki jiwa yang bercahaya? Para sahabat di dunia spiritual yang menekuni energi mengerti, energi itu menular. Sedihnya, energi negatif itu menular secara sangat mudah dan cepat, sedangkan energi positif menularnya susah dan lambat. Kendati demikian, tidak ada pilihan lain bagi jiwa-jiwa yang mau pulang terkecuali menulari diri dengan energi positif.

Itu sebabnya di dunia psikologi sudah lama terdengar saran agar seseorang mengelilingi diri dengan sahabat-sahabat yang bisa mendukung pertumbuhan jiwa kita. Sekolah sebenarnya diniatkan untuk mengisi kebutuhan seperti ini, keluarga juga serupa, demikian juga dengan kelompok spiritual. Sayangnya, niat tetap niat, ia jarang menjadi kenyataan.

Itu sebabnya penekun-penekun spiritual yang serius kemudian lebih berpaling pada keluarga di dalam. Serupa keluarga di luar yang terkotori lingkungan, keluarga di dalam juga terkotori. Dan bila tekun, tulus, tidak mudah menyerah, keluarga di dalam bisa diajak bertumbuh menuju cahaya.

Kemarahan, ketersinggungan, dendam adalah bentuk-bentuk energi di dalam yang terkontaminasi. Dan kesadaran (awareness) serta perawatan (carefulness) adalah energi murni di dalam yang bisa dibangunkan sebagai kekuatan pengimbang. Kapan saja energi murni terakhir lebih kuat dari energi kemarahan, di sana matahari mulai terbit di dalam diri.

Memaafkan adalah tanda-tanda awal terbitnya matahari di dalam diri. Menerima kehidupan apa adanya adalah tanda kalau matahari mulai terbit di dalam. Cinta adalah cahaya terang yang lembut mendekap semuanya. Sesampai di sini, cahaya tidak saja menjadi miliki Avatara dan Bodhisattva, ia adalah milik semua jiwa.

Ia sama dengan matahari terbit di pagi hari. Ia bukan milik segelintir orang, ia adalah milik semua orang. Bedanya dengan orang kebanyakan yang lapar begini kurang begitu, jiwa-jiwa yang bercahaya hanya memiliki sebuah kerinduan yakni kerinduan untuk senantiasa mencintai.

Di kalangan jiwa-jiwa bercahaya kerap terdengar pesan seperti ini: “Sementara orang biasa menunggu untuk dicintai, jiwa yang bercahaya terus menerus menanam bibit-bibit cinta”. Anehnya, ia yang kerap menanam bibit-bibit cinta melalui memaafkan, menerima, menolong, dialah yang jiwanya pertama kali mekar. Inilah yang disebut sebagai cinta mempercantik jiwa.
Penulis: Gede Prama

0 komentar:

Posting Komentar