Ahli Waris Budaya Dunia
Kompas,
Rabu, 2013 November 27 07:56
Oleh:
Yudi Latif*
INDONESIA
merdeka dengan percaya diri menempatkan bangsa ini sebagai ahli waris budaya
dunia. Kurang dua bulan setelah pengakuan internasional akan kedaulatan
Indonesia, pada 18 Februari 1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui
mingguan Siasat melansir Surat Kepercayaan Gelanggang.
Surat
pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang: "Kami adalah
ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan
dengan cara kami sendiri".
Pernyataan
tersebut memancangkan sejumlah tanda penting. Dengan memodifikasi tafsir
Jennifer Lindsay (2011), bisa kita sebut beberapa kandungan semangat yang
terpancar dari kalimat pembuka itu. Pertama, kelahiran Republik Indonesia
dihikmati kesadaran akan arti pentingnya kebudayaan bagi eksistensi suatu
bangsa. Bahkan, sebelum surat itu, di tengah kancah revolusi yang penuh porak
poranda, kuatnya kesadaran serupa itu mendorong penyelenggaraan Kongres
Kebudayaan Nasional I, yang diselenggarakan di Magelang (20-24 Desember 1948).
Mohammad
Hatta yang hadir dalam kongres itu sebagai wakil presiden menyatakan,
"Pemerintahan sesuatu negara dapat hidup subur apabila kebudayaan tinggi
tingkatnya, karena kebudayaan berpengaruh pula pada sifat pemerintahan negara.
Kebudayaan lambat laun mesti sangat kuat tumbuhnya, karena kebudayaan adalah
ciptaan hidup daripada sesuatu bangsa." Tentang pentingnya kreativitas
budaya, Bung Hatta menyatakan, "Kebudayaan tidak dapat dipertahankan saja,
kita harus berusaha merobah dan memajukan, oleh karena kebudayaan sebagai
kultuur, sebagai barang yang tumbuh, dapat hilang dan bisa maju."
Kedua,
kesadaran pentingnya kebudayaan itu bersifat lintas kecenderungan pemikiran dan
ideologis. Para seniman dan pemikir yang turut menandatangani surat itu tak
lama kemudian akan berpisah jalan mengikuti preferensi ideologi masing-masing:
Asrul Sani jadi pendiri Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi);
Sitor Situmorang menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN); Rivai Apin,
Basuki Resobowo, dan Pramoedya Ananta Toer menjadi motor Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra).
Ketiga,
surat itu secara sadar menempatkan proyek kebudayaan nasional dalam konteks
budaya global; dengan keyakinan diri yang tinggi bahwa "kami"
(bangsa Indonesia) adalah "ahli waris yang sah dari kebudayaan
dunia". Dalam arti bahwa bangsa Indonesia bukanlah anak haram dari budaya
dunia yang sekadar berfungsi sebagai penampung limbah budaya, obyek tindasan
dari kolonisasi budaya, atau konsumen pasif dalam kreasi budaya dunia.
Kesadaran
serupa itu juga terpancar dalam pokok pertanyaan Kongres Kebudayaan I:
"bagaimanakah caranya mendorong kebudayaan kita supaya dapat maju cepat;
dan bagaimana caranya agar kebudayaan kita jangan sampai terus bersifat
kebudayaan jajahan, akan tetapi supaya menjadi suatu kebudayaan yang menentang
tiap-tiap anasir cultureel imperialisme".
Keempat,
sebagai ahli waris budaya dunia, bangsa Indonesia memandang dirinya sebagai
taman sari dunia. Di taman sari itu, selain tumbuh aneka puspa indah dari
buminya, juga berkembang bunga elok dari luar yang ditumbuhkan
dengan cara-cara Indonesia sendiri sesuai dengan sifat-sifat tanah dan
lingkungannya. Dengan itu, Indonesia bukan hanya menerima, melainkan juga memberi
kepada dunia.
Basis
kebudayaan
Dalam
merumuskan kebudayaan nasional di taman sari itu, sejak 1930-an telah muncul
suatu polemik kebudayaan mengenai basis kebudayaan dari Indonesia merdeka, yang
mempersoalkan posisi kebudayaan lama (asli) dalam kaitan dengan konsep
kebudayaan Timur dan Barat serta kebudayaan Indonesia baru. Sutan Takdir
Alisjahbana dalam tulisannya berjudul "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan
Baru" menyatakan, "... kebudayaan Indonesia tiadalah mungkin
sambungan kebudayaan Jawa, Sunda, atau kebudayaan yang lain."
Sebagai
tandingan, Sanusi Pane dalam tulisannya berjudul "Jagat Besar dan
Kecil" membela eksistensi warisan budaya lama dengan mengatakan,
"Itulah sebabnya, saya berdiri di Timur yang silam yang keramat bagi saya
sendiri mewujudkan kebudayaan yang baru, ramuan zaman Timur yang silam
diperkaya dengan ramuan dari Barat."
Rumusan
konstitusi atas kebudayaan nasional itu mengambil jalan sintesis dari pelbagai
kutub pandangan yang berkembang. Hal ini terkandung dalam Pasal 32:
"Pemerintah memajukan kebudayaan nasional". Dalam penjelasan pasal
ini disebutkan: pertama, "Kebudayaan bangsa ialah yang timbul sebagai
usaha budinya rakyat Indonesia sendiri". Kedua, "Kebudayaan lama dan
asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa". Ketiga: "Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan
tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan
dan memperkaya kebudayaan sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan
Indonesia".
Dengan
kata lain, jalan bangsa Indonesia sebagai ahli waris dunia dalam mengembangkan
kebudayaan menurut caranya sendiri itu menempuh prinsip: mempertahankan tradisi
sendiri yang baik seraya mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hatta,
sebagai wakil presiden yang hadir di Kongres Kebudayaan I, menyatakan bahwa
sebagai bangsa yang memiliki sejarah yang panjang, Indonesia memiliki riwayat
kehidupan kebudayaan yang hebat, harum, dan tidak kalah dari kebudayaan
negeri-negeri lain.
Kekayaan
dan kekuatan khazanah kebudayaan lokal itu, lewat proses penyerbukan silang
budaya dengan berbagai unsur budaya luar, menjadikan bangsa Indonesia sebagai
taman sari dunia dengan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak
dari kawasan Asia mana pun (Oppenheimer, 2010). Mengingat benua Asia merupakan
kawasan yang menampung jumlah penduduk paling banyak di muka bumi, Indonesia
sebagai bangsa yang mengembangkan corak kebudayaan yang paling kaya di Asia
dapat dikatakan sebagai superpower kebudayaan dunia.
Tidak
berlebihan jika Indonesia berambisi menjadi kiblat kebudayaan dunia. Stimulus
ambisi seperti itu pula barangkali yang mendorong pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono memprakarsai penyelenggaraan Forum Kebudayaan Dunia, yang
dilaksanakan di Bali (25-28 November 2013). Forum yang akan dipimpin
langsung Presiden SBY itu akan dihadiri para pemimpin dunia dari 40 negara,
sejumlah penerima Nobel, serta pembicara lainnya dari dalam dan luar negeri.
Isu
pokok yang akan dibicarakan berkisar pada empat poin penting yang menyangkut
budaya dan pembangunan: budaya dan keberlangsungan sosial, budaya dan
keberlangsungan ekonomi, konvergensi budaya dalam konteks global, serta budaya
dan keberlangsungan lingkungan. Bagi Indonesia, perhelatan ini diharapkan dapat
menetapkannya sebagai Rumah Dunia bagi Agenda Budaya Internasional (Global Home
for the International Cultural Agenda).
Meskipun
hal itu merupakan ambisi yang terpuji, ambisi-ambisi internasional pemimpin
Indonesia saat ini sering kali tercerabut dari alam realitas, dengan
menggunakan "bahasa-bahasa" ala Vicky Prasetyo yang tidak begitu
jelas kandungan maknanya. Bagaimana Indonesia bisa menjadi tuan rumah yang baik
bagi agenda budaya dunia, sedangkan ekspresi pembangunan Indonesia sendiri
merupakan contoh buruk dari penistaan budaya.
Baik
pembangunan ekonomi, pembangunan politik, bahkan pembangunan
"kebudayaan" sendiri, tidak mempertimbangkan nilai-nilai budaya
sebagai sesuatu yang penting. Pembangunan ekonomi terus memacu
pertumbuhan berbasis pengurasan sumber daya alam tanpa memperhatikan
"nilai tambah" berbasis pengembangan "modal budaya"
(knowledge capital). Di seantero negeri, kekuatan modal dan korporasi mendikte
perumusan "bahasa" di ruang publik, mulai nama perumahan hingga nama
pemakaman.
Liberalisasi
dan Dekulturisasi
Pemerintahan
Indonesia yang terjerat korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan
penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam
soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut.
Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan global village (dusun dunia),
tetapi juga global pillage (perampasan dunia).
Dalam
lemahnya kepemimpinan negara, globalisasi juga menjadi kendaraan emas
bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan
investasi dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi
berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang
akan terjadi, yang akan memengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar
bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan
sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm,
2007).
Halangan
dalam promosi HAM pasca- Orde baru terutama datang dari hegemoni ideologi
neoliberalisme yang menyerang fondasi dasar sistem hak asasi manusia: kombinasi
hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa
kepedulian sosial, globalisasi pasar meningkatkan ketidaksetaraan dan
dekulturisasi kelompok marjinal dan bentrokan etnosentrisme di dalam negara,
dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.
Dengan
demokrasi padat modal, perangkat keras (prosedur kelembagaan) politik
mengalami proses demokratisasi; tetapi perangkat lunak (budaya politik) masih
tetap bersifat nepotis-feodalistis. Demokrasi permusyawaratan yang mengandung
cita-cita berkebudayaan terancam sekarat oleh serangan
"superkapitalisme", yang menggambarkan ekspansi persaingan
dunia bisnis yang merambah dunia politik. Dengan kata lain, "kapitalisme
telah menaklukkan demokrasi".
Pada
tingkat nasional, salah satu dampak utama penetrasi kapitalisme ke dalam
kehidupan berdemokrasi: meredupnya kekuatan kewargaan. Benjamin Barber (2007)
memperlihatkan bagaimana kapitalisme yang membentuk budaya konsumerisme
membahayakan demokrasi. Demokrasi tak lagi digerakkan oleh rasionalitas
produksi, tetapi oleh gaya hidup konsumeris, yang menukar kapasitas pemimpin
dengan impresi pencitraan.
Dalam
pembangunan kebudayaan sendiri, isu budaya cenderung didekati sekadar paket
turisme. Itu pun tidak direncanakan dan diusahakan secara sungguh-sungguh
sehingga capaiannya masih jauh di bawah Malaysia dengan khazanah budaya tidak
bisa dibandingkan dengan kekayaan budaya Indonesia. Klaim Malaysia sebagai
"The Truly Asia" sesungguhnya bisa dengan mudah dipatahkan dengan
mempromosikan Riau sebagai "The Truly Malay". Alih-alih, yang terjadi
justru naskah-naskah Melayu Kuno sebagai kekayaan budaya Riau (pusat dunia
Melayu) sudah banyak berpindah tangan menjadi koleksi Malaysia.
Elite
politik Indonesia telah begitu banyak bicara tentang globalisasi dengan begitu
sedikit usaha menghindarkan bangsa dari jebakan "pecundang".
Globalisasi mestinya tidak berjalan satu arah, karena dengan kreativitas dan
kerja keras, setiap bangsa punya peluang untuk membaliknya (reverse
globalization), seperti Gangnam style Korea Selatan yang bisa menembus jantung
Hollywood, demam budaya Latin di Los Angeles, serta penetrasi industri film
Bollywood dan film mandarin dalam industri perfilman dunia.
Tanpa
wawasan dan komitmen kebudayaan, Indonesia adalah raksasa budaya yang
pingsan, tercekik oleh kecenderungan untuk menjadikan ekonomi dan politik
sebagai panglima. Padahal, kebudayaan adalah kompas yang mengarahkan
pembangunan ekonomi dan politik ke arah kebaikan dan keagungan. Untuk
memulihkannya diperlukan lebih dari sekadar pepesan kosong pencitraan.
Perhelatan Forum Kebudayaan Dunia di Bali seyogianya menjadi wahana refleksi
diri, bagaimana memerankan Indonesia sebagai ahli waris budaya dunia; dengan
mengembangkan praktik pembangunan berwawasan kebudayaan. Tunjukan perbuatanmu
sesuai dengan kebesaran kebudayaanmu, maka seluruh dunia akan menyaksikan
Indonesia sebagai kiblat budaya dunia! (IRIB Indonesia/kompas)
*Yudi
Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
0 komentar:
Posting Komentar